Kamis, 28 Februari 2008

Ogha

BANJIR (OGHA)

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
NATTHI TANHÄSAMÄ NADÍ.
Tidak ada arus sungai yang dapat menyamai arusnya nafsu keinginan.
Khuddakanikäya Dhammapadagäthä.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita tadi membaca Paritta dan bermeditasi bersama-sama, maka marilah kita sekarang mengarahkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Banjir (Ogha)’. Sekali lagi Sdr/i, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yai-tu ‘Banjir (Ogha)’.
Sdr/i sekalian, kalau kita mendengar atau membaca berita-berita yang terjadi di nega-ra kita sendiri maupun di negara-negara lain, kita dapat mengetahui bahwa beberapa tempat di daerah-daerah tersebut sering terserang oleh bencana banjir. Beberapa contoh misalnya di daerah Jawa Timur, juga kemudian di sekitar daerah Bandung, Jawa Barat, dan sebagainya. Sdr/i yang berbahagia, berbagai tindakan sudah dilakukan masyarakat guna mengatasi masa-lah perbanjiran ini. Hal tersebut dilakukan untuk meringankan beban penderitaan bagi mere-ka yang sedang tertimpa musibah banjir ini.
Sdr/i seDhamma sekalian, berdasarkan adanya peristiwa banjir tersebut, maka pem-bahasan Dhamma hari ini juga berkenaan dengan kata ‘banjir’ tadi, mengapa? Karena de-ngan harapan supaya ajaran Dhamma ini lebih mudah teringat atau lebih dapat berkesan di dalam diri kita, sehingga akhirnya bisa menambah kemajuan dan kebahagiaan batin kita. Sdr/i sekalian, kalau kita membaca kitab Saçyuttanikäya Mahäväravagga bab 19 ayat 88, maka di sana kita bisa mengetahui tentang pembahasan Dhamma yang bertemakan mengenai banjir ini. Di dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa ‘banjir’ atau yang istilahnya dalam bahasa Pali disebut ‘Ogha’, mempunyai empat macam maksud yaitu:
1. Banjir kenafsuan atau yang disebut dengan ‘kama-ogha’.
2. Banjir perwujudan atau yang disebut dengan ‘bhava-ogha’.
3. Banjir pandangan-pandangan atau yang disebut dengan ‘ditthi-ogha’.
4. Banjir ketidaktahuan atau yang disebut dengan ‘avijja-ogha’.
Sdr/i sekalian, sekali lagi kami tegaskan tentang empat macam ‘banjir’ tersebut yaitu: 1. …. ; 2. …. ; 3. …. ; 4. …. . Sdr/i, jadi itulah tadi yang dimaksud dengan ‘banjir’ yang berkenaan dengan ajaran Dhamma yang terdapat di dalam Saçyuttanikäya Mahäväravagga. Keempat hal tadi disebut sebagai banjir, karena mereka memiliki kekuatan untuk mengha-nyutkan makhluk-makhluk yang telah jatuh menjadi korban kekuatan-kekuatan mereka. Sdr/i sekalian, selanjutnya marilah sekarang kita ikuti uraian pembahasan dari keempat hal terse-but tadi yang bisa disebut sebagai ‘banjir’.
Yang pertama Sdr/i, yaitu yang dimaksud dengan banjir kenafsuan atau ‘kama-ogha’. Sdr/i, menurut kitab Khuddakanikäya Mahävagga 29/1, yang dimaksud ‘käma’ atau nafsu-nafsu indera ini, ada dua bagian.
1. Yaitu nafsu inderanya itu sendiri atau yang disebut kilesa-kama, dan
2. Yaitu obyek dari nafsu indera tersebut, yang dalam hal ini disebut vatthu-kama.
Jadi, nafsu indera yang muncul dari keinginan untuk memuaskan hawa nafsu, atau dengan kata lain hawa nafsunya itu sendiri, disebut sebagai kilesa-kama. Misalnya keinginan memu-askan hawa nafsu itu sendiri, yang dalam hal ini disebut ‘raga’, kemudian ada lagi misalnya keserakahan (lobha), lalu kerinduan (icchä), iri hati (issä), keinginan jahat (byapada), dan ke-tidakpuasan (arati). Demikianlah yang dimaksud dengan nafsu indera atau kilesa-kama. Dan selanjutnya, marilah kita membahas tentang hal-hal yang dapat menimbulkan nafsu indera tersebut. Sekali lagi, hal-hal yang dapat menimbulkan adanya nafsu indera tersebut, inilah yang disebut sebagai vatthu-kama. Jadi, vatthu-kama adalah hal-hal yang menimbulkan ada-nya nafsu keinginan atau nafsu indera tadi. Contoh vatthu-kama ini misalnya bentuk-bentuk yang dapat dilihat, suara yang dapat didengar, bau-bauan, rasa, dan juga sentuhan-sentuhan yang menyenangkan. Dalam hubungannya dengan Pañcakkhandha atau lima kelompok kehi-dupan, maka kilesa-kama termasuk di dalam kelompok bentuk-bentuk batin (saékharakkhan-dha), sedangkan vatthu-kama termasuk dalam kelompok ‘rupa’ atau materi. Dan kalau ditin-jau dalam hubungannya dengan godaan, maka kilesa-kama ini diperbandingkan sebagai penggodanya yang dalam hal ini juga disebut sebagai ‘mara’, sedangkan vatthu-kama dapat dikatakan sebagai tali jeratnya si penggoda tadi, yang dapat mengikat makhluk-makhluk yang terjerat oleh mereka. Demikianlah Sdr/i sekalian, penjelasan tentang banjir kenafsua atau yang disebut kama-ogha ini.
Sdr/i sekalian, selanjutnya yang kedua yaitu yang disebut sebagai banjir perwujudan atau bhava-ogha. Sdr/i, yang dimaksud dengan banjir perwujudan ini yaitu perwujudan atau timbul di alam-alam kehidupan, yang dalam hal ini ada 31 (tigapuluh satu) alam kehidupan. Namun, hal ini dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Kamavacara-bhumi, yaitu alam-alam yang makhluk-makhluknya masih mempunyai atau masih dikuasai oleh kesenangan-kesenangan indera. Alam manusia dan enam alam dewa adalah kamavacara-bhumi ini, yaitu kamavacara-bhumi yang menyenangkan.
2. Rupavacara-bhumi, yaitu yang merupakan perkembangan selanjutnya, adalah alam-alam bagi mereka yang telah mencapai meditasi tingkat ‘rupa jhana’ atau jhana bermateri, yai-tu meditasi yang didasarkan pada suatu obyek yang bermateri atau memiliki bentuk. Pada tingkatan alam ini, makhluk-makhluknya sudah dapat mengatasi keinginan atau kese-nangan-kesenangan nafsu indera, dan sebaliknya terserap ke dalam kegiuran dan kebaha-giaan yang timbul dari meditasi tadi.
3. Arupavacara-bhumi, yaitu juga merupakan perkembangan selanjutnya lagi, adalah alam-alam bagi mereka yang telah mencapai atau telah memasuki meditasi tingkat arupa jhana atau jhana tidak bermateri, yaitu meditasi yang didasarkan pada suatu obyek yang tidak bermateri atau obyek tanpa bentuk.
4. Lokuttara-bhumi, merupakan tingkat tertinggi dari semua alam-alam pikiran tadi, yaitu alam-alam pikiran dari mereka yang telah menyadari ‘keadaan di atas keduniawian’. Ba-tin yang sudah demikian ini, tidak dapat mengalami kemunduran apapun juga, dan batin yang demikian ini dimiliki oleh para siswa mulia atau makhluk-makhluk ‘ariya’ (suci).
Sdr/i, itulah tadi yang dimaksud dengan bhava-ogha atau banjir perwujudan, hanya saja per-lu kami jelaskan bahwa yang dimaksud dengan alam-alam kehidupan di sini yaitu merupa-kan tingkat-tingkat atau tahap-tahap dari perkembangan batin.
Sdr/i, selanjutnya yaitu pembahasan yang ketiga, yang disebut banjir pandangan-pan-dangan atau ditthi-ogha. Yang dimaksud dalam hal ini yaitu pandangan-pandangan salah, yang dalam hal ini ada tiga macam pandangan salah yaitu sebagai berikut:
1. Akiriya Ditthi atau ajaran yang menolak akibat kamma. Ajaran ini beranggapan bahwa-sanya tidak ada akibat nyata dari hal-hal yang disebut baik atau buruk. Jadi, apabila ada seseorang melakukan perbuatan baik atau buruk yang tidak dilihat atau diketahui oleh orang lain, maka secara mutlak tidak ada akibat baik atau buruk yang diharapkan dari perbuatan itu. Perbuatan baik atau buruk akan ada hasilnya bila ada orang lain yang tahu atau melihatnya. Contoh, misalnya ada seseorang menerima hadiah, itu karena ada orang lain yang melihat perbuatan baiknya tersebut; demikian pula halnya dengan seseorang yang menerima hukuman. Tetapi bila perbuatan baik atau buruknya itu tidak diketahui oleh orang lain, maka akibatnya tidak ada. Jadi, keyakinan semacam ini menolak akibat (vipaka) dari kamma atau perbuatan. Inilah yang disebut dengan pandangan ‘Akiriya Ditthi’.
2. Ahetuka Ditthi atau ajaran yang menolak adanya sebab-sebab dari kamma. Ajaran ini mengajarkan tentang faham nasib atau takdir. Jadi, dengan demikian dapat disebut seba-gai ‘determinisme’. Seseorang yang menganut ajaran ini beranggapan bahwasanya orang -orang mengalami kebahagiaan atau penderitaan itu, adalah sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan bagi mereka. Selama saat-saat beruntung, maka apapun yang mereka lakukan pasti akan memberikan hasil-hasil baik, seperti kenaikan pangkat, kekayaan, nama harum dan sebagainya. Sedangkan pada saat tidak beruntung, mereka dapat dipecat, gagal, dan putus asa, tidak perduli bagaimana bersemangatnya mereka telah berjuang untuk berbuat baik. Jadi, ajaran ini menolak adanya kekuatan kamma sebagai sebab yang mendasari ke-bahagiaan dan penderitaan itu. Inilah yang dimaksud dengan pandangan ‘Ahetuka Dit-thi’.
3. Natthika Ditthi atau ajaran yang menolak semuanya, atau ajaran tentang ketiadaan. Pan-dangan ini mengajarkan bahwasanya tidak ada apapun juga dari apa yang disebut manu-sia atau binatang. Wujud-wujud ini adalah hasil-hasil pengelompokan dari apa yang dise-but unsur-unsur, yang kadang-kadang saling membantu satu dengan yang lain tetapi ka-dang-kadang juga berlawanan satu dengan yang lain. Demikianlah keadaan ini, yaitu ka-rena sifat dasar dari masing-masing, maka tidak ada apapun juga yang dapat dianggap sebagai perbuatan baik atau buruk itu sendiri. Apabila, misalnya, setelah turun hujan pohon-pohon berbunga dan menghasilkan buah, adalah tidak masuk akal untuk berpikir bahwasanya terdapat suatu perbuatan berjasa pada pihak sang hujan. Selanjutnya, apabila suatu api di dalam hutan membakar seluruh pohon-pohon di dalamnya, maka tak ada seorang pun yang berpikiran waras akan pernah beranggapan bahwasanya terdapat suatu perbuatan jahat yang dilakukan oleh api. Jadi, demikianlah juga keadaannya, tidak ada yang dapat dianggap sebagai perbuatan berjasa ataupun perbuatan jahat apapun bilamana seseorang melukai atau membantu orang lain. Inilah yang dimaksud dengan pandangan ‘Natthika Ditthi’.
Sdr/i, selanjutnya sekarang marilah kita lihat pembahasan yang keempat, yaitu ten-tang banjir ketidaktahuan atau yang disebut dengan avijja-ogha. Yang dimaksud dengan ban-jir ketidaktahuan ini adalah tidak tahu terhadap ‘Empat Kebenaran Mulia’, yaitu tidak tahu mengenai penderitaan, tidak tahu mengenai sebab penderitaan, tidak tahu mengenai terhenti-nya penderitaan, dan tidak tahu mengenai jalan yang membawa pada pengikisan penderitaan.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah renungan dan pembahasan Dhamma kita pada hari ini, yang berkenaan dengan kata ‘banjir’ atau ‘ogha’, dan bila di antara Sdr/i ada yang ingin bertanya tentang makalah ini, maka kami persilahkan untuk membahasnya nanti setelah selesainya kebaktian ini.
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk berbahagia!
Säddhu! Säddhu! Säddhu!
____________________

Buku Acuan:
Disalin dengan gubahan seperlunya dari buku ‘Dhamma Vibhaéga, Penggolongan Dhamma’ disusun oleh Prince Vajirananavarorasa, alih bahasa oleh Bhikkhu Jeto.

Dibacakan pada tanggal:
- 17 April 1994.
-
-
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: