Kamis, 28 Februari 2008

Berbohong

BERBOHONG

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
NATTHI AKARIYAM PAPAM MUSAVADISSA JANTUNO.
Seorang pembohong tak pernah akan ragu-ragu berbuat jahat.
Khuddakanikaya Itivuttaka.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita tadi membaca Paritta dan bermeditasi, maka marilah sekarang kita pusatkan perhatian dan konsentrasi kita untuk bersama-sama pula mengisi kebaktian ini dengan mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini mengetengahkan tema tentang ‘Berbohong’ atau ‘Berdusta’. Jadi, tema pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Berbohong’ atau ‘Berdusta’.
Sdr/i seDhamma, sebagai seorang umat Buddha yang sudah sering ke vihara dan su-dah sering mendengarkan Dhamma, maka pasti kita semua yang berada di vihara ini sudah mengetahui dengan benar tentang arti berbohong atau berdusta itu. Apalagi, bagi mereka yang benar-benar atau berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan dan menjaga Pabca Sila Buddhis yang sedang dilatihnya, tentu masalah mengatasi berbohong atau berdusta ini pasti sudah menjadi bagian dari hidupnya. Memang Sdr/i sekalian, masalah berbohong atau berdusta ini sedapat mungkin harus kita atasi karena perbuatan ini dapat menimbulkan pende-ritaan bagi pihak lain maupun bagi diri sendiri. Kecuali itu, dengan berusaha menghindari ber-dusta, berarti kita sudah satu langkah maju dalam usaha kita untuk mengikis kekotoran batin yang paling kasar, sehingga nanti dengan seringnya melakukan latihan ini, maka kita akhirnya dapat juga mengikis kekotoran batin yang paling halus, yang paling sukar dicapai. Dan, apabi-la kita sudah berhasil dalam hal ini, yaitu pengikisan kekotoran batin yang paling halus, maka tercapailah cita-cita kita yaitu terbebas dari penderitaan untuk selama-lamanya.
Tetapi Sdr/i sekalian, usaha kita untuk mengurangi atau mengikis perbuatan berdusta ini memang tidak mudah. Sebab-sebabnya mungkin sudah mulai sejak kecil kita sudah terbia-sa dengan lingkungan yang demikian itu, yaitu selalu disuruh tidak boleh ini, atau tidak boleh itu dan harus begini, atau harus begitu, tetapi contoh-contoh yang konsekuen dengan hal-hal tersebut tidak dilakukan oleh yang menyuruh atau yang memberikan nasehat. Untuk lebih mu-dahnya dalam memahami permasalahan ini, maka akan kami berikan beberapa contoh seperti berikut ini. Dahulu waktu kita ini masih kecil, di rumah, ibu kita selalu mengajarkan bahwa kita semua tidak boleh berbohong, karena katanya berbohong itu tidak baik. Selain itu, di ru-mah, ibu kita juga sering melarang banyak hal yang tidak boleh untuk kita lakukan, tetapi ada juga hal-hal yang harus kita lakukan seperti misalnya sebelum tidur harus menggosok gigi, se-belum makan harus cuci tangan, dan masih banyak lagi jumlahnya. Tetapi Sdr/i sekalian, apa-kah dalam hal ini ibu kita tadi juga konsekuen dengan pernyataannya sendiri tersebut? Arti-nya, apakah beliau juga melaksanakan hal-hal yang dinasehatkan kepada kita itu? Bagaimana reaksi kita pada waktu itu ketika melihat hal-hal ini? Inilah salah satu sebab mengapa kita su-dah terbiasa dengan enak sekali untuk cenderung melakukan perbuatan berdusta. Tapi ini ha-nya salah satu kondisi saja bagi kita, sebab yang namanya Lobha, Dosa, dan Moha itu tidak semata-matta disebabkan oleh peristiwa tersebut saja. Ini hanya salah satu contoh waktu kita masih kecil.
Sekarang, demikian pula yang terjadi ketika kita sudah boleh masuk sekolah karena sudah cukup umur. Di sekolah, guru kita juga mengajarkan tidak boleh berbohong, karena berbohong itu tidak baik. Selain itu, guru kita tersebut juga melarang banyak hal yang tidak boleh kita lakukan, misalnya membolos sekolah, menyontek pada saat ulangan, tidak boleh terlambat, kalau ke sekolah harus pakai seragam, pakai sepatu, tidak boleh merokok, dan ma-sih banyak lagi yang lainnya. Tetapi Sdr/i sekalian, apakah guru kita itu juga melakukan hal-hal tersebut sebagai contoh dan teladan bagi murid-muridnya?
Sdr/i sekalian, hal demikian itu juga terjadi setelah kita remaja. Mungkin di antara kita sudah ada yang punya pacar, dan biasanya pacar kita tadi juga mengatakan bahwa kita jangan berbohong, karena berbohong itu tidak baik, tidak jujur, dan berarti tidak setia. Pacar kita tadi sering melarang kita dalam banyak hal dan juga menghendaki kita agar melakukan banyak hal. Tetapi, apakah dia sendiri juga bersikap demikian?
Selanjutnya Sdr/i, demikian pula ketika kita sudah mulai aktif di vihara. Para peng-khotbah biasanya juga mengajarkan kita untuk tidak berbohong, karena berbohong itu me-langgar Sila, dan masih banyak lagi yang dapat menyatakan bahwa kita ini bisa melanggar Sila. Tetapi, apakah dia sendiri juga bertindak demikian?
Dan yang paling celaka Sdr/i, yaitu kalau pada suatu hari kita sendiri yang diminta oleh teman-teman untuk memberikan khotbah di vihara, karena menurut mereka kita sanggup dan memenuhi syarat. Akhirnya, secara otomatis kita sendiripun juga memberikan wejangan-wejangan dan juga mengatakan jangan berbohong karena berbohong itu tidak baik, tidak ter-puji, dan sebagainya. Tetapi, apakah kita sendiri ini juga sudah berbuat demikian itu?
Sdr/i sekalian, seandainya penceramah tersebut mengatakan bahwa dia sudah tidak berbohong lagi, maka mungkin kita akan merenungkan dengan berkata dalam hati ‘Apakah dia juga tidak berbohong dengan berkata demikian itu?’ Sdr/i sekalian, memang demikianlah kondisi-kondisi yang terjadi di dunia ini. Banyak sekali kondisi yang terjadi di dunia ini yang dapat membuat kita menjadi terpancing untuk melakukan tindakan berbohong, di antaranya yaitu kita tidak konsekuen terhadap apa yang kita nyatakan sendiri, atau istilahnya kita masih sering melanggar janji yang kita buat sendiri, kita masih sering tidak menepati kata-kata kita sendiri. Sdr/i sekalian, memang menepati janji kadang-kadang bukan merupakan suatu peker-jaan yang gampang. Karena, bila kondisi tidak baik, mungkin kita terpaksa tidak menepati janji walaupun dalam kondisi yang baik kita selalu berusaha menepatinya. Dan, biasanya apa-bila kita sering tidak menepati janji atau sering tidak konsekuen dengan pernyataan yang kita buat sendiri, maka oleh masyarakat di sekitar kita, kita dikatakan sebagai orang yang suka berbohong. Lain di mulut, lain praktiknya.
Sdr/i seDhamma, kalau kita teliti lebih dalam tentang ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha kepada kita, maka kita dapat melihat bahwa memang untuk umat awam suatu janji yang diucapkan pada umumnya tidak mengikat, tetapi kita hendaknya menyadari dan dapat menilai bahwa janji yang kita ucapkan di dalam ajaran Sang Buddha itu, misalnya Pabca Sila Buddhis, adalah suatu cara untuk bertekad melatih diri, yang hasilnya nanti sebenarnya juga untuk kebahagiaan kita sendiri. Kita menyadari bahwa apa yang telah diberikan oleh Sang Buddha adalah suatu petunjuk yang maha bijaksana, yang dapat mengarahkan kita kepada pembebasan dari derita. Memang, pada dasarnya sangat sulit untuk melatih diri menjalankan Sila. Pelaksanaannya tidak semudah yang diduga, dan itupun harus bertahap serta harus di-ikuti dengan kedisiplinan. Jadi, kalau kita tidak bisa menepati janji dalam berlatih Pabca Sila Buddhis, itu bukan lalu berarti bahwa kita ini berdusta. Hal ini berbeda kasusnya dengan con-toh-contoh yang telah dikemukakan tadi. Oleh sebab itu, supaya lebih jelas lagi, maka kita ha-rus tahu terlebih dahulu apa syarat-syarat bahwa suatu perbuatan itu dikatakan perbuatan ber-dusta. Yang pertama yaitu, ada sesuatu atau hal yang memang tidak benar; kemudian yang kedua yaitu, mempunyai pikiran atau kehendak untuk berdusta; yang ketiga berusaha berdus-ta; dan yang keempat yaitu ada orang atau pihak lain yang mempercayainya sehingga pihak lain tersebut tertipu. Nah, apabila keempat faktor tersebut ada semua, maka perbuatan kita ta-di dapat dikatakan sebagai perbuatan berdusta dan melanggar Sila ke 4 dalam Pabca Sila Buddhis. Tetapi, apabila syarat-syarat keempat hal itu tidak terpenuhi, maka perbuatan kita ta-di belum dapat dikatakan sebagai perbuatan berdusta. Selanjutnya Sdr/i sekalian, setelah kita mengetahui keempat faktor dalam berdusta ini, yaitu (1. …..; 2. …..; 3. …..; 4. ….. ) maka se-karang kita dapat mengetahui apakah dari contoh-contoh peristiwa yang telah kita dengar tadi juga dapat digolongkan dalam berdusta? Untuk itu bisa kita jawab dalam diskusi Dhamma se-telah selesainya kebaktian ini.
Sdr/i sekalian, perbuatan berdusta ini menurut ajaran dalam agama Buddha dapat dibe-dakan dalam dua macam yaitu: 1) yang dapat menyeret pelakunya masuk ke dalam alam-alam rendah, dan 2) ada yang tidak dapat menyeret ke alam rendah. Suatu pendustaa tidak menye-ret pelakunya masuk ke alam rendah apabila tidak menimbulkan kerugian pada pihak yang dibohongi; misalnya ada seorang dokter yang memberikan keterangan palsu kepada pasiennya dengan tujuan mulia supaya tidak menyebabkan kecemasan atau goncangan batin yang dapat memperparah kesehatannya. Juga bagi orang yang berdusta dengan misalnya mengatakan ti-dak punya uang atau makanan tertentu padahal dia punya, dengan tujuan tidak kehilangan mi-likknya apabila ada yang minta, atau dengan kata lain dia adalah seorang yang pelit, maka perbuatannya itu juga hanya menimbulkan akibat yang ringan. Tetapi Sdr/i, apabila pendusta-annya itu mengakibatkan kerugian besar pada pihak lain, misalnya bersaksi palsu dalam suatu sidang perkara, maka hal ini akan berakibat berat. Bagi para bhikkhu, berdusta dengan me-ngatakan bahwa dia sudah berhasil mencapai kemampuan tertentu yang sesungguhnya tidak dimilikinya, akan membawa akibat yang sangat berat. Akibat-akibat dari pendustaan ini me-mang banyak sekali di antaranya menimbulkan akibat pada pelakunya sebagai berikut: bicara-nya tidak jelas, giginya jelek dan tidak rapi, mulutnya berbau busuk, perawakannya tidak nor-mal, yaitu terlalu gemuk atau terlalu kurus, terlalu tinggi atau terlalu pendek, sorot matanya tidak wajar, perkataannya tidak dipercayai walaupun oleh orang-orang terdekatnya atau ba-wahannya sekalipun.
Sdr/i sekalian, perlu juga ditambahkan di sini bahwa berdusta ini adalah suatu perbuat-an buruk yang tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang telah bertekad untuk mencapai Pencerahan Agung atau seorang Bodhisatta. Tidak berdusta atau bersikap jujur adalah salah satu ciri utama seorang Bodhisatta, karena ia bukan pengingkar perkataannya sendiri. Ia ber-tindak seperti yang ia ucapkan dan ia mengucapkan seperti yang ia lakukan (yathavadi tatha-kari yathakari tathavadi). Menurut Harita Jataka (No. 431) seorang Bohdisatta dalam rentang pengembaraan kehidupannya, ia tidak pernah berbohong walaupun suatu ketika ia mungkin melanggar empat peraturan yang lainnya. Dan bahkan di dalam Maha Sutasoma Jataka (No. 537) dikatakan bahwa untuk memenuhi sebuah janji, sang Bodhisatta bersedia untukmengor-bankan hidupnya. Seorang Bodhisatta dapat dipercaya, tulus dan jujur. Apa yang ia pikirkan, ia ucapkan. Terdapat keselarasan yang sempurna dalam pikiran, ucapan, dan perbuatannya. Ia teguh dan berterus terang dalam semua perbuatannya. Ia bukan seorang munafik karena ber-pegang teguh pada prinsip-prinsipnya yang luhur. Tidak ada perbedaan antara batin dan pe-nampilannya. Kehidupan pribadinya sesuai dengan kehidupannya dalam masyarakat.
Sdr/i seDhamma, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yang bertemakan tentang ‘Berdusta’, dan semoga dengan bertambahnya pengertian kita terhadap hal ini, maka kita akan semakin giat untuk selalu berusaha mengikisnya.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
-------------------

Daftar Kepustakaan:
1. Tanpa Nama, “Bias Kotbah, Nasehat dan …”, HIKMAHBUDHI, No. 1/XX/ Tahun 1991, hal. 45 – 46.
2. Yantoli E, “Janji”, HIKMAHBUDHI, No. 4/XIX/Juni 1990, hal. 16 dan 27.
3. Jan Sanjivaputta, MANGALA BERKAH UTAMA, Lembaga Pelestari Dhamma, 1990. hal. IX – 28.
4. Narada, Mahathera, SANG BUDDHA DAN AJARAN-AJARANNYA II, Yayasan Dhammadipa Arama 1992. hal. 265 – 266.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-

Tidak ada komentar: