Kamis, 28 Februari 2008

Belajar Dhamma

BELAJAR DHAMMA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
YONISO VICINE DHAMMAÇ
Periksalah Dhamma dengan amat teliti dan cermat.
Majjhimanikäya Uparipannäsaka.

Saudara/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita membaca Paritta dan bermeditasi, maka marilah sekarang kita pusatkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Belajar Dhamma’. Sekali lagi, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Belajar Dhamma’ atau ‘Memeriksa Dhamma’.
Saudara/i sekalian, tentu kita semua telah mengetahui bahwa agama Buddha merupakan agama yang cukup tua bila dibandingkan dengan agama-agama yang lain. Lebih dari duaribulimaratus ta-hun yang lampau ketika semua masih primitif, Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma-Nya yang memang luar biasa. Namun, walaupun demikian, walaupun telah lebih dari duaribulimaratus tahun yang lalu, bukanlah berarti agama Buddha telah usang, telah ketinggalan jaman, sehingga perlu di-perbaiki, perlu direvisi. Tidak, Saudara! Justru sebaliknya, ajaran Sang Buddha untuk sekarang ini lebih kelihatan relevan dan cocok dengan ilmu pengetahuan. Dan, ini adalah suatu bukti bahwa Dhamma tidak akan pernah usang oleh waktu, dan orang-orang besar di dunia ini pun mengakui hal ini.
Saudara/i sekalian, jika kita mau belajar, mau meneliti dan memeriksa lebih dalam serta lebih seksama tentang ajaran-ajaran Sang Buddha, kita akan memperoleh manfaat yang besar bagi kehi-dupan kita. Tetapi, kalau kita hanya sekedar mengenal agama Buddha, kalau kita hanya sekedar menganut agama Buddha, kalau kemudian hanya sekedar melakukan sembahyang, kebaktian, dan tidak berusaha untuk mencari tahu dan tidak berusaha untuk mengerti dari apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Sang Buddha, kita tidak akan mungkin mendapatkan manfaat yang lebih maju.
Banyak manfaat dari ajaran Sang Buddha yang masih tersembunyi, yang belum pernah kita kenal. Karena itu, semakin banyak kita belajar, semakin banyak kita mengenal, mendalami, dan meneliti apa yang diajarkan oleh Sang Buddha serta semakin menghayati, maka akan semakin ba-nyak manfaat yang dapat kita petik dari ajaran Sang Buddha.
Saudara/i sekalian, lebih dari duaribulimaratus tahun yang lampau hingga sekarang ini, ajaran Sang Buddha telah berkembang mulai dari India sebelah barat sampai ke Jepang sebelah timur, dari Srilanka sebelah selatan sampai ke Tibet sebelah utara, dari Eropa sampai ke Australia dan Amerika. Dalam perjalanan sejarah, selama duaribulimaratus tahun, ajaran Sang Buddha dapat diterima dengan damai oleh bangsa-bangsa di dunia ini tanpa menggunakan kekerasan dan tanpa mendapat-kan perlawanan-perlawanan dari bangsa yang mengenal agama Buddha. Jadi, dari mulai dikenal sampai saat ini, semangat agama Buddha adalah semangat lemah lembut, semangat cinta kedamaian, semangat yang penuh toleransi, tetapi tetap mempertahankan ajaran-ajaran yang mendasar dari ajar-an Sang Buddha itu sendiri.
Sampai saat ini, kalau masyarakat melihat agama Buddha, mereka tidak mudah bersimpati apa-lagi jatuh cinta pada agama Buddha. Apa sebabnya demikian? Karena Saudara/i, kesan pertama yang dilihat oleh mereka adalah kurang menarik. Misalnya saja, dalam hal berpakaian waktu pergi ke vihara, masih kurang mendapat perhatian dari saudara/i kita yang bertindak selaku umat Buddha. Saudara/i kita tersebut akan seenaknya saja memakai kaos atau bahkan ada yang bercelana pendek, atau duduknya yang tidak rapi, gaduh pada saat kebaktian, dan lain-lain. Hal-hal ini Saudara/i, akan memberikan kesan yang kurang baik, sehingga mereka menjadi segan untuk ikut dengan Saudara/i; ditambah lagi masih ada saudara/i kita yang melakukan kebaktian dengan altar penuh dengan patung patung yang kadang kala patung itu besar sekali. Hal ini menyebabkan mereka akan berpikir, tentu agama Buddha mengajarkan orang untuk menggantungkan diri pada patung-patung, memohon-mohon kepada patung, dan seterusnya dan mereka akan berpikir bahwa agama Buddha adalah agama yang sudah ketinggalan jaman, agama yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, agama yang tidak mempunyai daya tarik, dan sebagainya.
Saudara/i, inilah kesan-kesan pandangan pertama masyarakat pada saudara/i kita tersebut dan juga kepada agama kita, yaitu agama Buddha, yang menimbulkan kesan tidak simpatik dan tentunya sulit untuk jatuh cinta kepada Saudara/i, kepada agama Buddha.
Sesungguhnya tidak menjadi soal. Memang, sepintas lalu agama Buddha tidak bisa mengun-dang orang untuk dapat cinta, apalagi bila altarnya banyak patungnya serta bermacam-macam sajian seperti: pisang, jambu, mangga, roti, dan sebagainya sehingga mereka akan berpikir apakah ini suatu agama yang masih dapat kita pakai di jaman sekarang?
Saudara/i seDhamma, memang bukanlah persoalan apabila ada pandangan demikian terhadap kita, terhadap agama Buddha, memang ada yang mengatakan demikian, tetapi satu hal yang penting; hati yang baik. Tak ada gunanya mempunyai wajah yang cantik tetapi hatinya tidak baik. Sebalik-nya, meskipun berwajah jelek, tetapi berhati mulia tentu akan dicari orang, hanya saja tidak mudah untuk menarik simpati orang.
Saudara/i, kalau saja mereka-mereka itu yang mempunyai salah pengertian terhadap agama Buddha tersebut, terhadap agama kita, mau sedikit membuka telinga, mau sedikit mendengar dan mengerti apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Sang Buddha, mau tidak mau mereka akan membe-rikan hormat yang setinggi-tingginya terhadap Sang Buddha, terhadap ajaran-Nya.
Saudara/i seDhamma, kalau Saudara/i membaca buku-buku tentang orang-orang besar dan orang-orang pintar di dunia ini, akan kita ketahui bahwa begitu tingginya mereka menghargai Sang Buddha, menghargai ajaran-Nya. Mengapa demikian? Sebab, ajaran Sang Buddha bukan suatu ajar-an yang membawa kita pada diskriminasi tapi suatu ajaran yang berusaha mengangkat derajat manu-sia dengan usahanya sendiri; suatu ajaran yang mengajak kita untuk berpikir dewasa, suatu ajaran agar kita tidak suka menggantungkan diri pada orang lain, suatu ajaran agar kita mempunyai suatu pegangan yang universal.
Pada kenyataannya, memang sulit untuk melaksanakannya, sulit untuk melaksanakan ajaran yang membangun kita, yang membuat kita sadar dan bertanggung-jawab atas kehidupan kita masing masing. Yang paling mudah adalah, kalau orang lain mau menanggung persoalan kita. Yang paling mudah adalah, memohon sesuatu apabila kita mengalami kesulitan sehingga kita terbebas dari kesu-litan itu. Menggantungkan diri pada sesuatu, mengharapkan sesuatu, merupakan hal yang paling di-sukai oleh manusia, karena merupakan sesuatu yang paling mudah untuk dilaksanakan.
Andaikata Saudara/i, ajaran Sang Buddha ini disulap menjadi demikian, ini andaikata, dan andaikata ajaran Sang Buddha diperbaharui, direvisi, karena dianggap sudah usang, sudah kuno. Dan, ajaran Sang Buddha yang baru itu berbunyi demikian:”Kalau saudara/i mempunyai kesulitan dan persoalan, saudara/i cukup menyebut satu doa, satu mantera, atau satu jampi, dijamin beres dan pasti semua kesulitan teratasi, cita-cita tercapai”.
Nah Saudara/i, siapa yang tidak senang? Siapa yang tidak tertarik? Tetapi ingat, ajaran yang demikian itu sesungguhnya …. Seperti Saudara/i diberi racun yang rasanya madu. Enak memang, tetapi Saudara/i sebentar lagi mati. Maksudnya yang mati bukan Saudara/i melainkan pengertian Saudara/i. Ajaran yang seperti itu, seperti racun yang rasanya madu; seperti baygon yang rasanya jeruk.
Saudara/i, kalau kita mau meneliti apa yang diajarkan oleh Sang Buddha, maka ajaran Sang Buddha sesungguhnya merupakan suatu ajaran yang berusaha menguraikan, menganalisa, menjelas-kan dengan jelas sekali tentang kehidupan kita. Belajar agama Buddha berarti belajar agama kehidup an, karena tidak ada satu kalimat pun dalam ajaran Sang Buddha yang tidak berhubungan dengan ke hidupan. Kalau kita meneliti kehidupan kita dengan jujur, maka akan kita ketahui apa yang menjadi kebutuhan kita, yaitu sandang, pangan, rumah, obat-obatan, pendidikan, uang, nama harum, kekua-saan dan kedudukan yang tinggi serta kehormatan. Tetapi Saudara/i, sebenarnya ada satu lagi yang diperlukan manusia yang justru lebih penting dari semua itu. Tanpa yang satu ini, kehidupan Sauda-ra/i tidak akan mempunyai arah. Memang Saudara/i, makan itu perlu, uang perlu, rumah perlu, perlu Saudara/i, tetapi ada yang lebih perlu yang kadang-kadang kita lupakan, kita abaikan. Nah, apakah yang satu ini? Yang satu ini tidak lain adalah keyakinan.
Orang yang hidup tanpa keyakinan, hidupnya tidak mempunyai arah dan arti. Mengapa demi-kian? Misalnya saja kalau Saudara/i tidak yakin bahwa membaca buku itu membawa manfaat, maka tidak mungkin Saudara/i membacanya. Kalau Saudara/i tidak yakin bahwa sekolah itu ada manfaat-nya, tidak mungkin Saudara/i akan bersemangat untuk bersekolah. Segala sesuatu yang dikerjakan tanpa keyakinan, tidak akan membawa hasil walaupun Saudara/i dipaksa mengerjakannya. Saudara/i akan mengerjakannya dengan terpaksa, tanpa perasaan gembira, tanpa perasaan bahagia, tertekan, dan lain-lain.
Saudara/i seDhamma sekalian, tidak hanya dalam hal-hal tertentu melainkan dalam sepanjang hidup ini, kita harus mempunyai keyakinan. Saudara/i harus mempunyai sesuatu yang benar-benar ‘benar’, yaitu benar yang sesungguhnya benar; dalam hal ini keyakinan itu sebagai penunjuk arah, sebagai kompas, sebagai pemberi semangat dalam hidup ini. Lalu, apakah yang harus kita yakini se-bagai sesuatu yang sungguh-sungguh benar itu? Saudara/i, hal tersebut ada empat dan tidak sulit.
1. Setiap umat Buddha sudah seharusnya yakin bahwa di dunia ini ada dua macam perbuatan. Perbuatan baik dan perbuatan tidak baik. Kedua perbuatan ini berbeda bentuknya dan berbeda akibat yang dihasilkannya. Ada yang mengatakan bahwa antara perbuatan baik dan perbuatan tidak baik adalah relatif. Tergantung kepada yang memberikan pandangan. Oleh karena itu perbuatan baik dan perbuatan tidak baik tergantung pada yang menamakannya. Ini samasekali tidak benar, Saudara/i!
Perbuatan baik dan perbuatan tidak baik tidak dapat dikawinkan, tidak dapat diutak-utik, tidak dapat dikompromikan, menjadi setengah baik dan setengah tidak baik. Tidak dapat demikian! Lalu, apakah yang disebut baik itu, Saudara/i? Ialah semua yang kalau kita kerjakan akan mengakibatkan, akan berakibat berkurangnya penderitaan, yaitu berkurangnya keserakahan, berkurangnya kebenci-an, dan berkurangnya kegelapan batin. Siapapun yang mengajarkan, siapapun yang menamakan dan agama apapun, itu namanya tetap perbuatan baik dan harganya tetap sama yaitu BAIK.
Sekarang, apa yang disebut tidak baik, Saudara/i? Ialah perbuatan apapun juga yang bila diker-jakan akan mengakibatkan bertambahnya keserakahan, bertambahnya kebencian, bertambahnya ke-gelapan batin dan berarti bertambahnya penderitaan. Siapapun juga yang mengajarkan ini, perbuatan itu adalah perbuatan tidak baik. Andaikata Saudara/i berbuat jahat dan dengan segala kepintaran Saudara/i sehingga orang yang mendengarnya akan membenarkan perbuatan Saudara/i tersebut, itu juga tetap perbuatan tidak baik dan hukum kamma akan tetap berjalan sesuai dengan hukumnya. Saudara/i akan tetap merasakan akibatnya, yaitu PENDERITAAN.
2. Setiap perbuatan akan menghasilkan akibat, inilah keyakinan yang kedua yang harus kita miliki. Perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan dan perbuatan tidak baik akan menghasilkan penderitaan. Ini adalah hukum kamma, Saudara/i, yang sudah ada sebelum adanya Sang Buddha. Sang Buddha bukan pembuat hukum, Sang Buddha bukan perangkai hukum. Dalam hal ini, tidak mungkin dan tidak akan pernah terjadi bahwa perbuatan jahat akan menghasilkan kebahagiaan. Ini tidak pernah terjadi. Yang ada yaitu perbuatan baik akan membuahkan kebahagiaan dan perbuatan jahat pasti membuahkan penderitaan.
3. Setiap orang yang melakukan perbuatan, baik atau tidak baik, akan mendapatkan akibatnya. Bukan orang lain. Saudara/i gagal, Saudara/i kecewa, Saudara/i jatuh, penuh kesulitan dalam kehi-dupan Saudara/i, itu adalah akibat dari perbuatan Saudara/i sendiri. Demikian juga sebaliknya, jika kehidupan Saudara/i penuh dengan kebahagiaan, itu adalah hasil dari perbuatan Saudara/i sendiri.
Saudara/i, berdoa itu perlu, sembahyang itu perlu, semua ini hanya untuk menambah keyakin-an kita, memperkuat iman dan keyakinan kita (ini menurut istilah umum), tetapi bukan berarti bah-wa dengan berdoa atau bersembahyang lalu segala sesuatu akan selesai, akan beres. Bukan berarti bahwa dengan berdoa atau bersembahyang lalu kekayaan akan jatuh dari langit begitu saja. Ini tidak mungkin, Saudara/i. Tanpa usaha jangan harap Saudara/i akan berhasil mencapai sesuatu, dan ja-ngan harap hanya dengan meminta (ketika berdoa atau bersembahyang tersebut) lalu segala-galanya dapat terkabul.
Saudara/i yang berbahagia, pada jaman Sang Buddha, masyarakat India waktu itu menganut agama Brahma dengan memuja bermacam-macam dewa. Nah, apakah Sang Buddha menentang de-wa-dewa itu? Tidak! Sang Buddha mengatakan bahwa dewa-dewa itu memang ada, hanya saja dewa-dewa itu juga seperti kita, makhluk hidup, tidak kekal. Mereka terlahir sebagai dewa, suatu saat mereka akan mati, sebab tidak ada kelahiran tanpa kematian. Justru Sang Buddha mengajarkan hukukm kamma, siapa yang berusaha ia akan mencapainya, demikian juga sebaliknya.
Saudara/i, ini adalah suatu ajaran yang masih asing, yang sulit diterima oleh masyarakat pada waktu itu, suatu ajaran yang keras, suatu ajaran yang tidak bisa meninabobokkan manusia, suatu ajaran yang tidak bisa memberikan janji-janji tapi tidak pernah menjadi suatu kenyataan. Memang, bagi banyak orang susah untuk menerima ajaran ini karena ajaran tentang hukum kamma ini meng-ajak kita untuk berpikir dewasa. Jadi, jangan mengharapkan dapat memetik buah tanpa menanam pohon terlebih dahulu. Karenanya, jangan sekali-kali menyalahkan Tuhan bila Saudara/i dicela, dicaci maki, gagal dalam usaha, dan lain-lain. Orang yang mengerti hukum kamma tidak akan me-nyalahkan Tuhan, karena mereka mengerti bahwa suka dan duka, jatuh dan bangun, semuanya ada-lah akibat dari perbuatan sendiri. Karena itu, buatlah banyak kebajikan. hanya perbuatan baiklah yang akan menolong kita, hanya perbuatan baiklah yang akan menghibur kita bila saat kematian datang. Tidak ada yang lain lagi yang dapat menghibur kita menjelang kematian; tidak isteri, tidak anak, maupun cucu-cucu kita. Tidak juga kekayaan, kedudukan, atau nama harum. “Hanya perbuat-an baiklah sesungguhnya pelindung kita”.
4. Keyakinan yang keempat adalah yakin bahwa Sang Buddha Gotama benar-benar telah men-capai penerangan sempurna. Yakin terhadap apa yang diajarkan Sang Buddha bukanlah suatu ajaran hasil peniruan, bukanlah seperti ajaran seorang filosofi, bukan ajaran yang dicocok-cocokkan. Apa yang Sang Buddha ajarkan adalah suatu ajaran yang benar-benar telah Beliau ‘lihat’ sendiri pada saat Beliau mencapai penerangan sempurna, dengan kemampuan-Nya sendiri (dengan kesempurna-an Parami Beliau sendiri pada kehidupan Beliau di masa yang lampau) sehingga Beliau mencapai penerangan sempurna dan ‘melihat’ kebenaran mutlak dan mengajarkannya kepada kita.
Demikianlah Saudara/i tentang empat keyakinan yang harus kita yakini sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh benar.
Saudara/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini, dan semoga bisa bermanfaat untuk kebahagiaan kita sendiri maupun kebahagiaan makhluk-makhluk lain. Terima kasih atas perhatian Saudara/i!
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk berbahagia!
Sädhu! Sädhu! Sädhu!
_____________________

Dipetik dari ceramah Bhikkhu Paññavaro di Vihara Padumuttara, Tangerang.
Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: