Rabu, 09 April 2008

UCCHANGA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 67

UCCHANGA-JATAKA

"Seorang anak lelaki satu yang mudah didapat."-... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika di Jetavana, tentang seorang perempuan negeri tertentu. Untuk suatu kejadian di kosala tiga orang laki-laki sedang berjalan dengan susah payah di bagian luar dari sebuah hutan tertentu, dan perampok-perampok itu menjarah di dalam hutan itu dan mereka mengadakan pelariannya. [307] Korban-korban datang, dalam arah tujuan dari suatu pencarian bajingan-bajingan itu yang sia-sia, kemana ketiga orang laki-laki itu sedang berjalan. "Disinilah perampok-perampok hutan itu, menyamar sebagai petani-petani," mereka berteriak, dan menarik ketiganya sebagai tawanan dari raja Kosala. Sekarang dari waktu ke waktu di sana seorang perempuan datang ke istana raja yang dengan ratapan yang keras meminta untuk "Dengan mana untuk dilindungi." Mendengar tangisannya, raja memerintahkan memberikan sebuah pakaian untuk diberikan kepadanya, tapi ia menolak itu, berkata ini adalah bukan yang dimaksudnya. Maka pembantu raja kembali kepada yang mulia dan berkata bahwa apa yang perempuan itu inginkan bukanlah pakaian-pakaian tetapi seorang suami [1] Kemudian raja telah membawa perempuan itu ke hadapannya dan menanyakan ia apakah yang ia betul-betul maksudkan seorang suami.

"Ya, tuanku," ia menjawab, "Karena seorang suami adalah betul-betul seorang pelindung perempuan, dan ia yang kehilangan seorang suami, malah walaupun perempuan itu memakai dalam pakaian berharga seribu keping pergi tanpa apa-apa dan betul-betul telanjang." Dan untuk menyakinkan kebenaran ini, sutta berikut ini akan dinyanyikan disini:-

Bagai kerajaan tanpa raja, bagai sebuah sungai kering,
Begitu tanpa apa-apa dan telanjang seorang perempuan tampaknya,
Yang, mempunyai sepuluh saudara-saudara, namun kehilangan seorang pasangan.

Mereka senang dengan jawaban perempuan itu, raja menanyakan hubungan ketiga tawanan itu denganya. Dan ia menjawab bahwa satu adalah suaminya, satu saudaranya, dan satu anaknya. "Kalau begitu, untuk menandakan anugerah Saya," berkata raja, "Saya berikan kamu satu dari tiga, yang mana akan kau ambil?" "Tuanku," jawabnya, "Kalau Saya hidup, Saya bisa mendapat suami yang lain dan anak lelaki yang lain, tetapi karena orang tuaku sudah mati, Saya tidak akan pernah mendapatkan saudara yang lain. Jadi berikan saja saudara Saya, tuanku." Merasa senang dengan perempuan itu, raja memerdekakan ke tiganya, dan itulah seorang perempuan ini adalah alat untuk menyelamtakan kejadian ini diketahui oleh persaudaraan, mereka sedang memuji perempuan itu di dalam Dhammasala, ketika Sang Guru masuk. Mendengar pada apa yang menjadi pokok pembicaraan mereka, Beliau berkata, "Ini bukan pertama kali, saudara-saudara, bahwa perempuan ini telah menyelamatkan ketiganya dari bahaya, ia melakukan yang sama pada waktu yang lalu." Dan demikian katanya, Beliau menceritakan masa lalu ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, tiga orang laki-laki sedang berjalan dengan susah payah pada bagian luar dari sebuah hutan, dan segala sesuatunya berjalan seperti di atas. Ketika ditanya oleh raja yang mana dari ketiganya itu yang ia akan ambil, perempuan itu berkata, "Tidak bisakah yang mulia memberi saya semua ketiganya?" "Tidak," berkata raja, "Saya tidak bisa." [308] "Yah, kalau Saya tidak bisa mendapat semua ketiganya, berikan Saya saudaraku." "Ambillah suamimu atau anakmu," kata raja. "Seperti halnya seorang saudara?" "Dua yang terdahulu Saya bisa siap menggantinya." menjawab perempuan itu, "Tetapi seorang saudara tidak pernah!" Dan demikian katanya, ia mengulangi pantun ini:-

Seorang anak sesuatu yang mudah didapat, suami juga.
Sebuah pilihan yang luas mengerumuni cara-cara umum.
Tapi dimana akan semua usaha-usahaku mendapatkan saudara yang lain?

"Ia betul sekali," berkata raja itu, sangat senang. Dan ia memerintahkan semua ketiga orang itu diambil dari penjara dan diberikan kepada perempuan itu. Ia mengambil mereka semua ketiganya dan berlalu pergi.

"Demikianlah, kamu lihat, saudara-saudara," berkata Sang Guru, "Bahwa perempuan yang sama ini satu kali sebelumnya menyelamatkan ketiga orang yang sama dari bahaya." Pelajarannya berakhir, Beliau membuat hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Perempuan itu dan tiga laki-laki itu sekarang adalah juga permpuan dan orang-orang dari waktu yang lampau, dan saya adalah raja itu."

Catatan Cf. Untuk ide dari sajak Herodotus III-118-120, Sophocles Antigone 902-912, dan lihat karangan ini didiskusikan dalam India Antiquary, untuk Desember 1881.
[1] Cf. ‘femme couverte.’

TAYODHAMMA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra
Diedit oleh a.c. untuk pertama kali.

No. 58

TAYODHAMMA-JATAKA

Barangsiapa seperti kamu ..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veluvana (Hutan Bambu) juga atas pokok pembicaraan tentang maksud untuk membunuh.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, Devadatta terlahir lagi sebagai seekor kera, dan berdiam di dekat pegunungan Himalaya sebagai penguasa suku kera yang semuanya keturunannya sendiri. Di pengaruhi oleh ramalan buruk bahwa keturunan laki-lakinya yang menjadi dewasa akan menyingkirkannya dari kepimpinannya, ia biasa mengebiri [281] mereka dengan gigitannya. Sekarang sang Bodhisatta telah diperanakkan oleh kera yang sama ini, dan ibunya, dalam usaha menyelamatkan keturunannya, minggat ke hutan di kaki gunung, di mana pada waktu yang sesuai ia melahirkan sang Bodhisatta. Dan ketika ia sudah dewasa dan tiba pada tahun-tahun pengertian, ia di anugerahkan dengan kekuatan yang luar biasa.

"Di mana ayah saya ?", suatu hari ia bertanya kepada ibunya. "Ia bertempat di kaki gunung tertentu, anakku," ibunya menjawab, "Dan ia adalah raja dari suku kera.". "Bawalah saya untuk melihat ia, Ibu.". "Jangan begitu, anakku, karena ayahmu begitu takutnya digantikan oleh anak-anaknya maka ia mengebiri mereka semua dengan giginya.". "Tidak apa-apa, bawalah saya ke sana, ibu," kata Sang Bodhisatta. "Saya akan mengetahui apa yang akan di kerjakan.". Kemudian ibunya membawanya kepada kera tua. Pada saat ia melihat anaknya, kera tua itu merasa yakin bahwa sang Bodhisatta akan menjadi dewasa dan memecatnya. Ia memutuskan, dengan sebuah pelukan pura-pura untuk menghancurkan kehidupan Sang Bodhisatta, “Ah Anakku!” dia berteriak, “Kemana kamu sepanjang Waktu ini?” Dan, melakukan sebuah gerakan untuk memeluk Sang Bodhisatta, ia mendekapnya seperti sebuah catok.Tetapi sang Bodhisatta, yang sekuat seekor gajah, membalas pelukan itu dengan kuat sampai tulang rusuk ayahnya seolah-olah mau patah.

Kemudian kera tua itu berpikir, "Anak lelaki saya ini bila dewasa akan betul-betul membunuh saya.". Memikirkan bagaimana ia membunuh Sang Bodhisatta terlebih dahulu, ia terpikir tentang sebuah danau yang dekat, di mana tinggal seorang raksasa yang bisa memakannya. Demikianlah ia berkata kepada sang Bodhisatta, "Saya sudah tua sekarang, anakku, dan akan menyerahkan pimpinan suku kepadamu, hari ini kamu akan di jadikan raja. Di dalam sebuah danau yang dekat, tumbuh dua macam bunga lily air, tiga macam bunga teratai biru, dan lima macam bunga teratai putih. Pergilah dan petik beberapa untuk saya."

"Baik, ayah," jawab Sang Bodhisatta, dan ia berangkat pergi. Mendekati danau itu dengan hati-hati, ia mempelajari jejak kaki pada pinggirannya dan menandai bagaimana semuanya menuju ke dalam air, tapi tidak ada jejak yang kembali. Menyadari bahwa danau itu dihuni oleh seorang raksasa, ia menduga ayahnya tidak sanggup untuk membunuhnya sendiri, berharap ia dibunuh [282] oleh raksasa itu. "Tetapi saya akan mendapatkan bunga-bunga teratai itu," katanya, "tanpa sama sekali masuk ke dalam air." Maka ia pergi ke tempat yang kering, dan berlari melompat dari pinggir danau. Dalam lompatannya, ia berada di atas air, ia memetik dua bunga yang tumbuh di atas air, dan turun bersama bunga-bunga itu di tepi yang lain. Pada jalan kembalinya, ia memetik dua lagi dengan cara yang sama, sebagaimana dia melompat, dan dengan demikian membuat sebuah timbunan pada ke dua sisi dari danau itu. Tapi selalu menjaga di luar air tempat tinggal raksasa itu. Ketika ia telah mengumpulkan itu semua di atas pinggir danau, raksasa itu berteriak kagum, "Saya telah hidup lama di danau ini, tapi saya tidak pernah melihat walaupun seorang manusia begitu pintar ! Inilah kera yang telah memetik semua bunga-bunga yang ia kehendaki, namun tetap selamat di luar jangkauan kekuasaan saya."Dan memisahkan air terbelah, Raksasa itu ke luar dari danau menuju tempat sang Bodhisatta berdiri, dan mengarahkan ini kepadanya, "Oh raja kera, ia yang memiliki tiga persyaratan akan mengungguli lawan-lawannya, dan kamu, saya pikir mempunyai ketiga-tiganya." dan demikian katanya, ia mengulangi syair ini yang memuji Sang Bodhisatta:
Barang siapa seperti anda, Oh raja Kera, digabungkan
Ketangkasan dan keberanian dan akal.
Akan melihat jalan musuhnya berbalik dan lenyap.
Pujiannya berakhir, raksasa itu menanyakan sang Bodhisatta kenapa ia mengumpulkan bunga-bunga. "Ayahku bermaksud untuk menjadikan saya raja dari sukunya," kata Sang Bodhisatta, "dan itulah mengapa saya mengumpulkannya." "Tetapi seorang yang tak ada taranya seperti anda tidak harus membawa bunga-bunga," kata raksasa itu, "saya akan bawakan bunga-bunga itu untuk anda." dan demikian katanya, ia memetik bunga-bunga itu dan mengikuti di belakang Sang Bodhisatta.

Melihat kejadian ini dari kejauhan, ayah Sang Bodhisatta mengetahui rencana jahatnya telah gagal. "Saya kirimkan anak lelaki saya untuk mangsa raksasa, dan di sini ia kembali selamat dan sehat, bersama raksasa itu yang dengan rendah hati membawakan bunga-bunga itu untuknya ! Saya gagal !" teriak kera tua itu, dan hatinya merekah pecah [283] menjadi tujuh keping, dengan demikian ia mati di sana. Dan semua kera-kera yang lain berkumpul bersama dan memilih Sang Bodhisatta menjadi raja mereka.

Pelajaran berakhir, Sang Guru memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Devadatta adalah raja dari kera-kera itu, dan saya anaknya."

VANARINDA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra
Diedit oleh a.c. untuk pertama kali.

No. 57

VANARINDA-JATAKA

"Barangsiapa, Oh Raja Kera ..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika Beliau berdiam di Veluvana, tentang maksud Devadatta untuk membunuhnya. Mengetahui keinginan Devadatta untuk membunuhnya, Sang Guru berkata, "Ini bukan pertama kali, para bhikkhu bahwa Devadatta telah berusaha untuk membunuh saya, ia melakukan hal yang sama pada waktu yang lampau, tapi maksud jahatnya gagal." dan demikian katanya, Beliau menceritakan kisah masa lampau ini. Pada suatu waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Sang Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera. Ketika dewasa, ia sebesar seekor anak kuda dan kuat luar biasa. Ia hidup sendiri di tepi sungai, di tengah sungai ada pulau, di sana tumbuh mangga dan sukun, dan pohon buah-buahan lainnya. Dan di tengah aliran air di separuh jarak antara pulau dan tepi sungai sebuah batu karang tunggal mencuat keluar dari dalam air. Kuat bagaikan seekor gajah, sang Bodhisatta biasa untuk meloncat dari tepi sungai ke atas batu karang ini dan dari sini ke pulau itu. Di sini ia makan buah-buahan yang tumbuh di pulau itu sampai kenyang, pada sore hari kembali lagi dengan cara sebagaimana ia datang. Dan beginilah penghidupannya sehari-hari.

Pada waktu itu di sungai itu hidup seekor buaya dan pasangannya yang sedang hamil, yang melihat sang Bodhisatta bepergian bolak balik, berangan-angan [279] untuk makan hati kera. Maka ia memohon suaminya untuk menangkap kera itu untuknya. Berjanji bahwa ia akan memenuhi angan-angannya, buaya itu pergi dan berdiam di atas batu itu, maksudnya untuk menangkap kera itu pada perjalanan pulang sore harinya. Setelah menjelajahi sekeliling pulau itu sepanjang hari, sang Bodhisatta pada sore harinya melihat ke arah batu itu dan merasa heran mengapa batu itu begitu tinggi keluar dari air. Menurut cerita, sang Bodhisatta selalu menandai tinggi yang pasti dari muka air sungai itu, dan dari batu ke dalam air. Ia memperkirakan bahwa seekor buaya mungkin sedang mengintai untuk menangkapnya. Dan dengan maksud untuk mendapatkan kenyataan dari kejadian ini, ia berteriak, yang ditujukan kepada batu itu, "Hey ! Batu !" Dan tidak ada jawaban kembali. Ia berteriak tiga kali, "Hey ! Batu !" dan karena batu itu diam saja, kera itu mengatakan, "Bagaimana ini, kawan batu, bahwa kamu tidak mau menjawab saya hari ini ?"

"Oh !" pikir buaya itu, "Kalau begitu batu ini mempunyai kebiasaan untuk menjawab kera itu. Saya harus menjawab untuk batu itu hari ini."Sehubungan dengan itu, ia menyahuti, "Ya, kera, ada apa ?". "Siapakah kamu ?" tanya Sang Bodhisatta. "Saya seekor buaya.". "Untuk apa kamu duduk di atas batu itu ?". "Untuk menangkap dan memakan hatimu.". Karena tidak ada jalan kembali yang lain, hanya satu yang harus di lakukan, yaitu mengakali buaya itu. Kemudian sang Bodhisatta berteriak, "Karena tidak ada pertolongan untuk itu kecuali saya menyerahkan diri saya padamu. Bukalah mulutmu dan tangkap saya ketika saya melompat."

Kita ketahui bahwa waktu buaya membuka mulut mereka mata mereka terhalang [1] . Kemudian, ketika buaya ini membuka mulutnya tanpa curiga, matanya terhalang. Dan di sana ia menunggu dengan mata terhalang dan rahang terbuka ! Melihat ini, kera yang banyak muslihatnya ini melakukan lompatan ke atas kepala buaya, dan dari sana dengan sebuah lompatan seperti kilat mencapai tepi sungai. Ketika kecerdikan perbuatan ini menjadi jelas bagi si buaya, ia berkata, "Kera, dalam dunia ini [280] memiliki empat kebajikan mengalahkan musuh-musuhnya. Dan kamu saya pikir, memiliki keempat-empatnya." Dan demikian katanya, ia mengulangi syair ini.

Barangsiapa, Oh raja kera, seperti kamu, digabung
Kebenaran, pandangan ke depan, keputusan pasti, dan keberanian,
akan melihat jalan musuhnya berbalik dan lenyap.

Dan dengan pujian ini pada sang Bodhisatta, buaya itu balik kembali ke tempatnya sendiri.

Berkata Sang Guru, "Ini bukanlah pertama kali, ia telah mencoba untuk membunuh saya, ia melakukan hal yang sama juga pada masa lalu." Dan, setelah mengakhiri pelajarannya, Sang Guru memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Devadatta adalah buaya pada waktu itu, anak perempuan brahmana itu Cinca [2] adalah isteri buaya, dan saya sendiri raja kera."

[Catatan: Cf. No. 224 (Kumpulan jataka). Sebuah versi Tionghoa diberikan oleh Beal dalam 'Romantic legend' Hal. 231 dan sebuah versi Jepang dalam 'Fairy Tales from Japan' nya Grifffin]
[1] Pernyataan ini tidaklah sesuai dengan kenyataan dari sejarah alam.
[2] Jati dirinya di sini sebagai isteri buaya jahat sesuai dengan kenyataan bahwa Cinca, yang adalah seorang "Pertapa perempuan dari kecantikan yang langka," di suap oleh musuh-musuh Gotama untuk pura-pura hamil dan menuntut tanggung jawabnya sebagai ayah. Bagaimana penipuan ini di jalankan, di katakan dalam Dhammapada, hl. 338-340

KABCANAKKHANDA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra
Diedit oleh a.c. untuk pertama kali.

No. 56

KABCANAKKHANDA-JATAKA

"Bila kegembiraan ..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Savatthi, mengenai seorang bhikkhu tertentu. Tradisi mengatakan melalui mendengar Sang Guru berkotbah tentang seorang anak muda dari Savathi jatuh hati pada kebenaran yang sangat berharga [1] dan menjadi seorang bhikkhu. Pembimbingnya dan guru-gurunya mulai mengajarnya dalam sepuluh sila, berturut-turut, menguraikan kepadanya, yang singkat, sedang, dan sila yang panjang [2] memberitahukan sila yang tertinggal di dalam pertahanan diri menurut Patumokkha [3] sila yang tinggal di dalam pertahanan diri sebagai pikiran, sila yang tinggal pada sebuah ketidaksalahan perjalanan hidup, sila yang berhubungan pada jalan seorang bhikkhu bisa menggunakan keperluan itu. Berpikir si pemula yang muda itu, "Banyak sekali sila ini, dan saya tak ragu lagi akan gagal untuk memenuhi semua yang telah saya ikrarkan. Kalau begitu apa bagusnya untuk menjadi bhikkhu kalau seseorang tidak dapat menjaga sila ? Arah saya yang terbaik adalah kembali kepada keduniawian, mengambil seorang isteri dan mendidik anak-anak, hidup dalam suatu penghidupan dengan menderma dan lain-lain pekerjaan baik."

Maka ia mengatakan kepada atasannya apa yang dipikirkannya, berkata bahwa ia mengusulkan untuk kembali pada keadaan yang lebih rendah sebagai umat biasa, dan bermaksud untuk mengembalikan mangkok dan jubahnya. "Yah, kalau kamu mau begitu," kata mereka, "Setidaknya permisilah kepada sang Buddha sebelum kamu pergi," dan mereka membawa orang muda itu ke hadapan Sang Guru, "Kenapa kamu membawa saudara ini bertentangan dengan kehendaknya ?" "Guru, ia berkata bahwa ada sila yang lebih banyak daripada apa yang ia bisa perhatikan, dan bermaksud untuk mengembalikan jubah dan mangkoknya. Jadi kami ajak ia dan membawanya kepada Guru." "Tetapi kenapa, para bhikkhu," tanya Sang Guru, "Apakah kamu membebankan ia sedemikian banyak sila ? Ia dapat kerjakan apa yang ia sanggup, tidak lebih dari itu. Jangan melakukan kesalahan lagi, dan tinggalkan saya untuk memutuskan apa yang akan dilakukan dalam kasus ini."

Kemudian, kembali kepada saudara yang muda ini, Sang Guru berkata, "Marilah, bhikkhu, kekuatiran apa yang kamu dapat dengan sila secara keseluruhan ? Apakah kamu pikir kamu dapat mengikuti hanya tiga peraturan sila ?" "Oh, ya Guru." "Nah sekarang, perhatikan dan juga tiga garis besar, dari perkataan, pikiran, dan badan, jangan berbuat kejahatan, baik dalam kata-kata, pikiran, atau perbuatan. Jangan berhenti menjadi seorang bhikkhu, tapi teruslah dari sekarang dan ikuti hanya tiga peraturan ini."

"Ya, tentu saja, Guru, saya akan menjaga mereka," ucap anak muda yang gembira itu, dan ia kembali dengan gurunya lagi. Dan sebagaimana ia terus menjaga tiga peraturannya, ia berpikir pada dirinya sendiri, "Saya telah diberitahu semua sila oleh pembimbing saya, yapi karena mereka bukan Buddha, mereka malah tidak dapat membuat saya memegang sedemikian banyak. Sebagaimana (277) Yang Maha Sadar, dengan akal budi Kebuddhaanya, dan karena ia penguasa kebenaran, telah mengemukakan begitu banyak sila hanya dalam tiga aturan berhubungan dengan garis besar, dan telah menjadikan saya mengerti dengan jelas. Sesungguhnyalah Sang Guru telah memberikan suatu pertolongan yang segera kepada saya." Dan ia memenangkan pengertian, dan dalam beberapa hari mencapai kearahatan. Ketika berita ini sampai ke telinga para bhikkhu, mereka membicarakan hal ini pada waktu berkumpul di dalam Dhammasala (Gedung Kebenaran), mengatakan bagaimana bhikkhu itu, yang akan balik kembali ke kehidupan duniawi karena ia tidak berharap untuk dapat memenuhi sila, telah dilengkapi oleh Sang Guru dengan tiga aturan yang mengandung semua sila, dan telah membantunya memegang tiga aturan itu, dan kemudian telah dibuat sanggup oleh Sang Guru untuk memenangkan kearahatan. Alangkah luar biasa, kata mereka tentang Sang Buddha itu. Memasuki gedung pada saat ini, dan mendengar pertanyaan dari pokok pembicaraan mereka, Sang Guru berkata, "Para bhikkhu, biarpun sebuah beban yang berat, akan menjadi ringan, bila dibawa sedikit demi sedikit, dan seperti itu 'Yang bijaksana dan baik' pada waktu yang lampau, sewaktu mendapatkan sebongkah besar emas, terlalu berat untuk diangkat, pertama-tama memecahkan dan kemudian memungkinkan mereka untuk membawa harta sepotong demi sepotong." Demikian kata-nya, Beliau menceritakan kisah masa lampau ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, sang Bodhisatta terlahir sebagai seorang petani dalam sebuah kampung, dan suatu hari sedang membajak di ladang yang dulunya berdiri sebuah kampung. Pada waktu yang lalu, seorang saudagar kaya yang telah meninggal meninggalkan timbunan dalam lubang ini sebongkah besar emas, setebal lingkaran paha rang dan empat 'cubit' panjangnya. Dan bajak sang Bodhisatta membentur bongkahan itu, dan menempel dengan kuat. Mengira itu sebagai akar pohon yang menyebar, ia menggalinya, tapi mendapatkan benda yang sebenarnya, ia membersihkan kotoran penutup emas itu. Pekerjaan hari itu telah di kerjakan, pada waktu matahari terbenam ia meletakkan disamping bajak dan alat-alatnya, dan mencoba untuk memikul hartanya dan berjalan dengan itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak untuk mengangkatnya, ia duduk di depannya dan mendapat sebuah pikiran. Untuk apa saya gunakan emas ini. Saya akan punya begitu banyak untuk hidup, begitu banyak untuk ditimbun sebagai harta, begitu banyak untuk berdagang. "Saya akan punya begitu banyak untuk hidup, begitu banyak untuk ditimbun sebagai harta, begitu banyak untuk berdagang, dan begitu banyak untuk kedermawanan dan pekerjaan-pekerjaan baik," ia berpikir pada dirinya, dan sehubungan dengan itu ia memotong emas itu menjadi empat. Pembagian itu menjadikan bebannya mudah dibawa, dan ia membawa pulang bongkahan-bongkahan emas. Setelah penghidupan dari kedermawanan dan pekerjaan-pekerjaan baik lainnya, ia meninggal dunia dengan apa yang ditinggalkannya.

Pelajarannya berakhir, Sang Guru, sebagai Buddha, mengucapkan syair ini: [278]

Bila kegembiraan mengisi hati dan mengisi pikiran,
Bila keadilan dilaksanakan memenangkan keduniawian,
Siapa yang menjalankannya menghasilkan kemenangan.
Dan semua belenggu sungguh-sungguh dihancurkan.

Ketika Sang Guru telah mengarahkan ajarannya untuk mencapai kearahatan sebagai puncaknya, Beliau memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Pada waktu itu saya sendiri adalah orang yang mendapatkan bongkah emas itu."
[1] Atau barangkali ratanasasanam artinya ‘Kepercayaan dihubungkan dengan tiga permata’ yaitu, Buddha, Dhamma dan Sangha.
[2] Ini semua diterjemahkan dalam Rhys Davids “Buddhist Suttas.” Hal. 189 - 200
[3] Patimokkha diterjemahkan dan dibahas dalam Pt.I dari terjemahan dari vinaya oleh Rhys Davids dan Oldenberg (S.B.E.Vol.13)

PHALA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra
Diedit oleh a.c. untuk pertama kali.

No. 54

PHALA-JATAKA

"Ketika dekat sebuah kampung ..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai seorang bhikkhu yang akhli dalam pengetahuan tentang buah-buahan. Hal ini terjadi karena seorang tuan tanah dari Savatthi telah mengundang persaudaraan sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya, dan telah mempersilakan mereka duduk dalam kebun peristirahatannya, di mana mereka dijamu dengan bubur beras dan kue-kue. Setelah itu ia minta tukang kebunnya pergi berkeliling dengan para bhikkhu dan memberikan mangga dan buah-buahan lainnya kepada yang mereka hormati. Dalam mematuhi permintaan itu, orang itu berjalan sekitar lapangan bersama para bhikkhu dan dapat mengatakan dengan tengokkan sekilas ke atas pohon, apakah buah-buah itu masih hijau, mana yang hampir masak, dan mana yang sudah masak, dan seterusnya. Dan apa yang ia katakan selalu benar. Maka para bhikkhu datang pada sang Buddha, dan mengatakan bagaimana mahirnya si tukang kebun itu, dan bagaimana selagi ia berdiri di atas tanah, ia dapat mengatakan dengan tepat keadaan buah-buahan yang tergantung di atas. "Saudara-saudara," kata sang Guru, "Tukang kebun ini bukanlah satu-satunya yang mempunyai pengetahuan dari buah-buahan. Pengetahuan yang sama diperlihatkan oleh yang bijaksana dan baik pada waktu dulu juga." Dan demikian katanya, Beliau menceritakan kisah masa lampau ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, sang Bodhisatta di lahirkan sebagai seorang saudagar. Ketika ia dewasa dan sedang berdagang dengan lima ratus kereta, suatu hari ia sampai pada jalan menuju ... melalui sebuah hutan yang besar [271]. Berhenti pada bagian luar hutan, ia mengumpulkan kafilah dan mengarahkan mereka sebagai berikut :" Pohon-pohon beracun tumbuh dalam hutan ini. Perhatikanlah bahwa kamu jangan mencicipi daun-daun yang tidak dikenal, bunga-bunga, atau buah-buahan tanpa terlebih dahulu menanyakannya kepada saya." Semua dipesan supaya dilakukan dengan sangat hati-hati, dan perjalanan ke dalam hutan itu dimulai. Sekarang, tepat di batas hutan terdapat sebuah kampung, dan di sebelah luar kampung itu tumbuh sebatang pohon buah 'apa'. Pohon buah 'apa' persis menyerupai pohon mangga, batangnya, cabang, daun, bunga dan buah. dan tidak hanya bagian luarnya, tapi juga dalam rasa dan bau, buah itu masak atau belum masak meniru buah mangga. Bila dimakan, ia menjadi racun mematikan dan menyebabkan kematian dengan segera.

Sekarang, beberapa kawan yang tamak, yang pergi mendahului kafilah tiba pada pohon ini, mengambil itu sebagai sebuah mangga, makan buahnya. Tetapi yang lainnya berkata, "Marilah kita tanya pemimpin kita sebelum kita memakannya," dan sehubungan dengan itu mereka berhenti dekat pohon itu, buah dalam tangan, sampai sang pemimpin datang. Mengetahui bahwa itu bukan mangga, dia berkata: "Pohon ini adalah sebatang pohon buah 'Apa', jangan sentuh buahnya." Menyuruh mereka berhenti makan, sang Bodhisattta mengalihkan perhatiannya kepada yang telah memakannya, pertama ia memberi sejumlah tertentu obat yang membuat mereka muntah dan kemudian ia memberi mereka empat makanan manis untuk di makan, dan akhirnya mereka baik kembali.

Pada kejadian-kejadian sebelumnya, kafilah-kafilah telah berhenti di bawah pohon yang sama ini, dan telah mati karena memakan buah beracun itu yang mereka sudah ambil sebagai mangga. Keesokannya orang-orang kampung akan datang, dan melihat mereka terbaring mati di sana, akan melempar mereka dengan menyeret tumitnya ke dalam sebuah tempat yang dirahasiakan, menjarah semua yang dimiliki kafilah itu, kereta-kereta dan semuanya. Dan juga pada hari cerita kita, orang-orang kampung ini tergesa-gesa pada pagi harinya menuju ke pohon itu untuk yang mereka harapkan kehancuran kafilah itu. "Sapi-sapinya menjadi milik kita," kata beberapa dari mereka. "Dan kita akan memiliki kereta-kereta," kata yang lainnya. Sewaktu yang lainnya lagi menuntut barang-barang sebagai bagian mereka. Tapi ketika mereka tiba terengah-engah ke pohon itu, di sana seluruh kafilah hidup dan tidak kurang suatu apa.




"Bagaimana sampai kamu mengetahui ini bukan sebuah pohon mangga ?" tuntut orang-orang kampung yang kecewa itu. "Kami tidak tahu," berkata orang-orang kafilah, "Pemimpin kamilah yang mengetahui.". Maka orang-orang kampung datang kepada sang Bodhisatta dan berkata, "Orang bijaksana, apa yang anda lakukan untuk mendapatkan bahwa pohon ini bukan mangga ?"

"Dua hal mengatakan saya," jawab sang Bodhisatta, dan ia mengulangi syair ini. [272]
Bilamana dekat sebuah kampung tumbuh pohon
Tidak sukar untuk dipanjat, jelas bagi saya
Tidak juga perlu, saya membuktian lebih jauh untuk mengetahui,
Tak ada buah menyehatkan di atas sana dapat tumbuh.

Dan setelah mengajarkan kebenaran pada banyak orang-orang yang berkumpul, dia menyelesaikan Perjalanan dengan selamat. "Itulah saudara-saudara," berkata sang guru, "Dalam waktu lampau, yang bijaksana dan baik ahli dalam buah-buahan.” Pelajaran berakhir, beliau menunjukan hubungan dan mengakurkan kelahiran dengan berkata, “Pengikut-pengikut buddha adalah orang-orang dari kafilah, dan saya sendiri adalah pemimpin mereka.”

DURAJANA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 64

DURAJANA-JATAKA

"Kamu pikir..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai seorang upasaka. Tradisi mengatakan bahwa di Savatthi tinggal seorang umat biasa, yang telah di kukuhkan dalam Tisarana dan Pancasila, seorang berbakti yang mencintai Buddha, Dhamma dan Sangha. Tetapi istrinya adalah seorang yang berdosa dan perempuan yang jahat. Pada hari-hari istri itu berbuat salah, dia patuh seperti seorang budak perempuan yang dibeli dengan seratus keping, sedangkan pada hari-hari dia tidak berbuat salah, dia berlaku seperti nyonyaku, menggairahkan dan lalim. Suaminya tidak bisa merubahnya. Suaminya sangat mengkawatirkannya sampai dia tidak bisa melayani Buddha.

Suatu hari dia pergi dengan wewangian dan bunga-bunga, dan telah mengambil tempat duduknya setelah memberi hormat, ketika Sang Guru berkata kepadanya:- "Mohon bagaimana datang, Saudara biasa, bahwa tujuh atau delapan hari telah berlalu tanpa kedatanganmu untuk melayani Buddha?" "Istri Saya, Tuan, hari seperti seorang budak perempuan yang dibeli seharga seratus keping, sementara itu hari yang lain mendapatkan dia sebagai seorang yang menggairahkan dan nyonya yang lalim. Saya tidak bisa merubahnya, dan itulah karena ia Saya kawatir sampai Saya tidak melayani Sang Buddha."

Sekarang, ketika beliau mendengar kata-kata ini, Sang guru berkata, "Kenapa, umat biasa, kamu telah diberitahukan oleh yang bijaksana pada waktu yang lalu bahwa adalah sukar untuk mengerti keadaan alam perempuan-perempuan." Dan beliau terus menambahkan, "Tetapi keberadaannya yang lebih dulu telah membingungkan pikirannya, jadi dia tidak mengingatnya." Dan demikian katanya, beliau menceritakan masa lampau itu.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, Sang Bodhisatta datang sebagai seorang Guru yang terkenal di Dunia, dengan lima ratus Brahmana muda belajar kepadanya. [300] Satu dari murid-muridnya ini seorang Brahmana muda dari Negeri Asing, yang jatuh cinta dengan seorang perempuan dan menjadikan ia sebagai istrinya. Meskipun dia terus tinggal di Benares, dia gagal dua atau tiga kali dalam kehadirannya kepada Sang Guru. Karena kamu harus ketahui, istrinya adalah seorang yang berdosa dan perempuan jahat, yang penurut sebagai seorang budak pada hari-hari bila dia berbuat salah, tapi pada hari-hari ketika ia tidak berbuat salah, memainkan seperti nyonyaku, menggairahkan dan kejam. Suaminya sama sekali tidak dapat merubahnya, sangat kawatir dan diganggu olehnya karena istrinyalah dia tidak bisa hadir untuk melayani Sang Guru, setelah tujuh atau delapan hari kemudian ia hadir kembali, dan ditanya oleh Sang Bodhisatta kenapa ia telah kelihatan begitu lama.

"Guru, istriku penyebabnya," berkata dia. Dan ia menceritakan Sang Bodhisatta bagaimana dia patuh suatu hari seperti seorang budak perempuan, dan kejam hari lainnya, bagaimana ia tidak bisa merubahnya, dan bagaimana ia telah kawatir dan diganggu oleh perasaan hatinya yang berganti-ganti yang membuatnya dia pergi.

"Tepat demikian, Brahmana muda," berkata Sang Bodhisatta, "Pada hari-hari ketika mereka berbuat salah, perempuan-perempuan merendahkan hati mereka didepan suami-suaminya dan menjadi penurut dan lembut sebagai seorang budak perempuan, tapi pada hari-hari ketika mereka tidak berbuat salah, kemudian mereka menjadi bersitegang leher dan mendurhakai tuannya, setelah kejadian-kejadian ini perempuan-perempuan adalah berdosa dan jahat, dan alam mereka sukar untuk diketahui. Tak ada perhatian yang akan dilakukan baik pada kesukaan atau ketidaksukaan mereka." Dan untuk memperbaiki moral murid-muridnya Sang Bodhisatta mengulangi pantun ini :-

Kamu pikir seorang perempuan mencintaimu?" jangan gembira.
Kamu pikir ia tidak mencintaimu? bersabarlah pada kesedihan.
Tidak diketahui, tak tentu bagai jalan
Dari ikan-ikan dalam air, perempuan membuktikannya.

[301] Seperti itu perintah Sang Bodhisatta kepada murid-muridnya, yang sejak itu tidak menaruh perhatian kepada tingkah istrinya. Dan perempuan itu, mendengar bahwa kelakukan buruknya telah didengar oleh Sang Bodhisatta, berhenti dari waktu itu seterusnya dari kenakalannya. Begitu juga istri umat biasa itu berkata pada dirinya sendiri, "Sang Buddha yang sempurna dengan sendirinya mengetahui, mereka mengatakannya pada Saya, dari pada kelakuan burukku," dan sejak itu dia tidak lagi melakukan dosa. Pelajarannya berakhir, Sang Guru mengkotbahkan kebenaran, pada penutupan di mana upasika memenangkan buah dari jalan pertama. Kemudian Sang Guru memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata. "Suami istri, ini adalah juga suami istri pada waktu lalu, dan Saya sendiri Guru sebagai Brahmana itu."

ANABHIRATI JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 65

ANAHBHIRATI-JATAKA

"Seperti jalan raya."- ... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang upasaka lainnya lagi seperti itu sebagai yang terakhir. Orang ini ketika bertanya ia yakin pada dirinya dari kelakuan buruk istrinya, bertengkar dengannya, dan hasilanya kacau balau dan bingung hingga untuk tujuh atau delapan hari gagal dalam kehadirannya. Suatu hari ia datang ke Biara membungkuk pada yang suci dan menempati tempat duduknya. Ketika ditanyakan kenapa ia telah tidak hadir untuk tujuh atau delapan hari, ia menjawab, "tuan, istri Saya telah berkelakukan buruk, dan Saya telah menjadi sangat kesal mengenai ia, itulah Saya tidak datang." "Upasika," kata Sang Guru, "Dahulu kala yang bijaksana dan baik memberitahukan kamu jangan marah pada kenakalan yang didapat pada perempuan-perempuan, tapi untuk melindungi ketetapan hati ini, bagaimanapun juga, kamu telah melupakannya, disebabkan kelahiran kembali telah menyembunyikan itu dari kamu." Dan demikian katanya, Beliau mengatakan atas permintaan upasika itu cerita pada masa lalu ini.-

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintahkan di Benares, Sang Bodhisatta adalah seorang Guru dengan reputasi yang melebar Dunia, sebagaimana kisah sebelumnya. Dan seorang muridnya, mendapatkan istrinya tidak setia, sangat sedih dengan pertemuan ini yang menyebabkan ia berdiam untuk beberapa hari, tapi suatu hari ditanya oleh gurunya apa sebabnya dari ketidak hadirannya, ia membuat suatu cerita kesalahannya yang jelas, kemudian berkata kepada gurunya, "Anakku, tdak ada milik pribadi dalam perempuan, mereka adalah umum bagi semua. [302] Dan pada saat itu orang-orang bijaksana mengetahui kelamahan mereka, tidak bergairah untuk marah menentang mereka." Dan untuk memperbaiki moral muridnya ia mengulangi pantun ini:-

Seperti jalan-jalan raya, sungai-sungai, lapangan-lapangan, penginapan-penginapan.
Atau kedai minuman, yang meluas seperti itu.
Adalah keperempuanan, dan laki-laki bijaksana tidak akan tunduk
Pada kemarahan dari kelemahan dalam sebuah perkelaminan yang begitu tersesat.

Seperti itulah perintah yang diberikan oleh Sang Bodhisatta kepada murid-muridnya pada saat itu, dan selanjutnya menjadi tidak acuh kepada apa yang dilakukan oleh perempuan-perempuan itu. Dan sebagaimana pada istrinya ia begitu berubah karena mendengar bahwa Guru itu mengetahui bagaimana keadaan mereka, bahwa ia telah menghentikan kenakalannya sejak saat itu. Demikian juga istri upasika itu, ketika ia mendengar bahwa Sang Guru mengetahui seperti apa ia, menghentikan kenakalannya sejak itu buah Pelajaran berachir, sang guru mengkotbahkan kebenaran, pada penutupan dimana upasika itu memenangkan buah dari jalan pertama. Dan Sang Guru memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Suami istri ini adalah suami istri pada kehidupan masa yang lampau dan Saya Guru Brahmana itu."

SAKETA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 68

SAKETA-JATAKA

"Orang yang mempercayai pikirannya."-... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru, ketika di Anjanavana, mengenai seorang Brahmana tertentu. Tradisi mengatakan bahwa ketika yang suci dengan pengikut-pengikutnya memasuki kota Saketa, seorang Brahmana tua dari tempat itu, yang sedang berpergian keluar, menjumpai Beliau di pintu gerbang. Menjatuhkan diri pada kaki Sang Buddha, dan memeluk Beliau pada pergelangan kaki Sang Buddha, orang tua itu menangis, "Nak, apakah bukan tugas dari anak-anak untuk menghargai umur lanjut dari orang-orang tua mereka?. [309] Kenapa kamu tidak membiarkan kami melihatmu selama waktu yang panjang? Akhirnya Saya telah melihatmu, marilah, biarkan juga Ibumu melihatmu." Demikian katanya, ia membawa Sang Guru bersamanya ke rumahnya, dan di sana Sang Guru duduk di atas tempat duduk yang disediakan untuk Beliau, dengan pengikutnya-pengikutnya sekeliling Beliau. Kemudian datang istrinya Brahmana, dan ia juga menjatuhkan diri di kaki yang suci, menangis, "anak lelakiku, kemana kamu selama waktu ini? Apakah bukan tugas dari anak-anak untuk menyenangkan orang tua mereka pada usia lanjutnya?" Di sini, perempuan itu memanggil anak-anak lelaki dan anak-anak perempuannya bahwa saudaranya datang, dan membuat mereka menghormati Buddha. Dan dalam kegembiraan mereka pasangan usia lanjut itu memperlihatkan keramahan yang besar kepada tamu-tamu mereka. Setelah Beliau makan, Sang Guru menceritakan kepada orang-orang tua Sutta mengenai usia lanjut, [1] dan, ketika Beliau telah mengakhirinya, keduanya suami dan istri memenangkan hasil dari jalan kedua. Kemudian bangkit dari tempat duduk beliau, Sang Guru pergi kembali ke Abjanavana.

Berkumpul bersama di dalam Dhammasala, saudara-saudara membicarakan tentang hal ini adalah gerak hati bahwa Brahmana itu harusnya telah sangat menyadari bahwa Suddhodana adalah Ayah, dan Mahamaya Ibu dari Sang Buddha, namun tidak satupun, ia dan istrinya telah mengakui Sang Buddha sebagai anak lelaki mereka,. Dan itu dengan kerelaannya Sang Guru. Apa itu artinya semua? Mendengar pembicaraan mereka, Sang Guru berkata, "Saudara-saudara, pasangan tua itu adalah benar mengakui Saya sebagai anak lelaki mereka." Dan demikian katanya, Beliau menceritakan masa lampau ini;-

Saudara-saudara, dalam waktu lampau Brahmana ini adalah Ayah Saya dalam 500 kelahiran berturut-turut, pamanku dalam angka yang sama, dan dalam 500 lebih kakekku. Dan dalam 1500 kelahiran berturut-turut istrinya adalah masing-masing Ibuku, Bibiku, dan Nenekku. Demikian Saya membawa dalam 1500 kelahiran dengan Brahmana ini, dan dalam 1500 dengan istrinya.

Dan lagipula, setelah mengatakan 3000 kelahiran ini, Sang Guru sebagai Buddha, mengungkapkan pantun ini :-
Orang mempunyai pikirannya, dengan siapa hatinya
Merasa senang pada pandangan pertama, meletakkan kepercayaannya terhadap ia.

[310] Pelajarannya berakhir, Sang Guru memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Brahmana ini dan istrinya adalah suami dan istri dalam semua keberadaan itu, dan Saya sebagai anak." (Catatan : lihat juga No.237)
[1] Jara-sutta dari sutta-nipata, hal.152 dari terbitan Fausboll untuk Pali Text Society.

VISAVANTA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 69

VISAVANTA-JATAKA

"Menjadi malu."- ... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika di Jetavana mengenai Sariputta, kapten dari kebenaran. Tradisi mengatakan bahwa pada hari-hari ketika Thera itu biasa memakan kue-kue, orang-orang datang ke Biara dengan sejumlah kue-kue itu untuk persaudaraan. Setelah para saudara makan sampai kenyang, masih banyak yang tersisa, dan para pemberi mengatakan, "Tuan-tuan, ambilkan beberapa juga untuk siapa yang pergi ke luar kampung." Kebetulan seorang pemuda yang menjadi kawan tinggalnya Thera itu, sedang pergi dari kampung. Untuk ia sebuah bagaian telah diambilkan, tetapi, karena ia tidak kembali, dan rasanya hari telah menjadi siang, [1] Bagian ini diberikan kepada Thera itu. Ketika bagian ini telah dimakan oleh Sang Thera, pemuda itu masuk. Sehubungan itu, Thera menjelaskan kejadian ini kepadanya, "Tuan, Saya telah memakan kue yang disediakan untukmu." "Ah!" adalah jawabannya, "Kita semua mempunyai sebuah gigi yang manis." Thera yang Agung itu banyak mendapatkan kesulitan.

"Mulai dari hari ini selanjutnya," ia berkata, "Saya ikarkan tidak akan memakan kue lagi." Dan dari hari itu selanjutnya, maka tradisi mengatakan, Thera Sariputta tidak pernah menyentuh kue lagi! Pantangan ini menjadi hal pengetahuan yang umum dalam persaudaraan, dan para saudara-saudara duduk membicarakan tentang itu di dalam Dhammasala. Berkata Sang Guru, "Apa yang kamu bicarakan, saudara-saudara, selagi kamu duduk di sini?" Ketika mereka telah menceritakan Beliau, dan Beliau berkata, "Saudara-saudara, bilamana Sariputta sekali telah memberikan apa-apa, ia tidak pernah kembali lagi untuk itu, malah walaupun kehidupannya menjadi taruhannya." Dan demikian katanya, Beliau mengatakan cerita dari masa lalu ini.

Pada suatu waktu Brahmadatta sedang memerintah di Benares, Sang Bodhisatta dilahirkan di dalam sebuah keluarga Tabib yang ahli dalam pengobatan dari gigitan ular-ular dan ketika ia dewasa, ia berpraktek untuk kehidupannya. Sekarang itu terjadi bahwa seorang warga kota digigit oleh seekor ular, dan tanpa ayal keluarganya cepat-cepat memanggil Tabib itu. Berkata Sang Bodhisatta, "Akankah Saya menarik bisa itu dengan obat yang biasa, atau harus menangkap ular itu dan membuat ia menghisap bisanya sendiri dari luka itu?" "Harus menangkap ular itu dan membuatnya menghisap racun itu keluar."

Maka ia telah menagkap ular itu, dan menanyakan makhluk itu, katanya, "Apakah kamu menggigit orang ini?" "Ya, betul," adalah jawabannya. [311] "Kalau begitu, hisaplah racunmu sendiri keluar dari luka itu lagi." "Apa?, mengambil kembali racun yang Saya sudah sebarkan!" teriak ular itu, "Saya tidak akan melakukan, dan Saya tidak akan bersedia." Kemudian Tabib itu membuat api dengan kayu, dan berkata kepada ular itu, "Apakah kamu hisap racun itu keluar, ataukah ke dalam api kamu pergi." "Walaupun api itu yang menjadi kematianku, Saya tidak akan mengambil kembali racun yang pernah Saya sebarkan," kata ular itu, dan mengulangi pantun yang berikut ini:-

Menjadi malu pada racun yang, pernah Saya sebarkan,
Untuk menyelamatkan hidupku, menelannya kembali!
Lebih baik menyambut kematian dari pada hidup oleh kelemahan yang dibeli!

Dengan kata-kata ini, ular itu bergerak maju ke api! Tetapi tabib itu menghalangi jalannya, dan mendorong keluar racun itu dengan mudah dan jampian-jampian, maka orang itu baik kembali. Kemudian ia membabarkan Dhamma kepada ular itu, dan membebaskannya, berkata, "Dari sekarang jangan mencelakai siapa-siapa."

Dan Sang Guru meneruskan berkata.- "Saudara-saudara, bilamana Sariputta sekali telah memberikan sesuatu, ia tidak pernah mengambil itu kembali, malah meskipun hidupya menjadi taruhan." Pelajarannya berakhir, Beliau memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Sariputta adalah ular pada waktu itu dan Saya Tabib itu."
[1] Ialah tengah hari, setelah mana makanan tidak patut di makan lihat catatan, hal... ?

SILAVANAGA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 72

SILAVANAGA-JATAKA

"Tidak berterima kasih kekurangan lebih banyak."... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika di hutan Bambu mengenai Devadatta. Para saudara duduk dalam Dhammasala, berkata, "Tuan-tuan, Devadatta adalah seorang yang tidak berterima kasih dan tidak mengenali kebajikan dari yang suci." Kembali ke dalam Dhammasala, Sang Guru menanyakan apa pokok pembicaraan yang mereka sedang diskusikan, dan diberi tahu. "Ini bukan yang pertama kali, saudara-saudara," kata beliau, "bahwa Devadatta telah buktikan seorang yang tidak berterima kasih, ia juga sama pada waktu yang lampau, dan ia tidak pernah mengetahui kebajikan Saya." Dan demikian katanya, atas permohonan mereka Beliau mengatakan cerita masa lalu ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, Sang Bodhisatta dikandung oleh seekor gajah dalam pegunungan Himalaya. Ketika dilahirkan, ia berwarna putih seluruhnya, bagai sejumlah besar perak. Matanya seperti bola-bola perak, bagaikan sebuah penjelmaan dari lima kecemerlangan, [1] mulutnya merah, seperti kain merah tua, seperti perak berbintik-bintik merah emas belalainya, dan keempat kakinya seperti dipoles dengan damar. Maka dirinya dihiasi dengan sepuluh kesempurnaan, adalah keindahan yang lengkap. Ketika ia dewasa, semua gajah-gajah di Himalaya serempak [320] mengikuti ia sebagai pemimpin mereka. Selagi ia berdiam di Himalaya dengan sebuah pengikut-pengikut dari 80.000 gajah-gajah, ia menyadari bahwa ada dosa dalam gerombolan itu. Demikian ia mengasingkan diri dari yang lain-lainnya, ia mendiami dalam hutan yang sunyi, dan kebaikan dari kehidupannya memenangkan ia nama raja Gajah yang baik.

Sekarang seorang ahli hutan datang ke Himalaya, dan melakukan perjalanannya ke dalam hutan dalam pencarian perlengkapan dari kapalnya ia tersesat dan kehilangan jalannya, ia berkelana kesana kemari merenggangkan tangannya putus asa dan menangis, dengan ketakutan dari kematian didepan matanya. Mendengar tangisan manusia, Sang Bodhisatta bergerak dengan rasa kasihan dan memutuskan untuk menolong dalam keperluan ia. Demikianlah ia menghampiri orang itu. Tetapi ketika melihat seekor gajah, ahli hutan itu berlari ketakutan. [2] melihat ia pergi lari, Sang Bodhisatta berdiam maju lagi, dan ahli hutan itu lagi-lagi lari, berhenti sekali lagi ketika Sang Bodhisatta berhenti. Kemudian keadaan sebenarnya disadari orang itu, bahwa gajah itu berdiam ketika ia sendiri berlari, dan hanya maju ketika ia berdiam diri. Akibatnya ia menyimpulkan bahwa itu tidak bermaksud untuk melukai, tapi untuk menolong ia. Jadi ia memberanikan diri berdiri diam di tempatnya kali ini. Dan Sang Bodhisatta datang mendekat dan berkata, "Kenapa, kawan manusia, kamu menggembara berkeliling di sini dan mengeluh?"

"Tuanku," jawab ahli hutan itu, "Saya telah tersesat dan kehilangan jalan Saya, dan takut pada bahaya." Kemudian gajah membawa orang itu ke tempat kediamannya, dan di sana menghibur ia untuk beberapa-beberapa hari, menyuguhkan ia dengan berbagai-bagai buah-buahan. Kemudian berkata, "Janganlah takut kawan, Saya akan membawa kamu kembali ke tempat kediaman orang-orang." Gajah itu menundukan ahli hutan itu di atas punggungnya dan membawa ia ke tempat kediaman orang-orang tinggal. Tetapi yang tak berterima kasih berpikir pada dirinya sendiri, bahwa, bila ditanyai, ia harus bisa menjelaskan segala sesuatunya. Maka itu, selagi ia berpergian sepanjang jalan di atas punggung gajah, ia memperhatikan tanda-tanda dari pohon-pohon dan bukit-bukit. Akhirnya gajah itu membawa ia keluar dari hutan itu dan menurunkan ia di jalan yang menuju ke Benares. berkata, "Disana terletak jalananmu, kawan orang, jangan beritahu orang, bilamana kamu ditanya atau tidak, tempat dimana Saya tinggal." Dan dengan perpisahan ini, Sang Bodhisatta balik kembali ke tempat tinggalnya.

Setibanya di Benares, orang itu datang, dalam keperluan perjalanannya melalui kota, ke Pasar tempat pekerja gading, dimana ia melihat gading-gading sedang dikerjakan menjadi bermacam-macam model dan bentuk. Dan ia bertanya pada pekerja itu [321] apakah mereka akan memberikan sesuatu untuk taring dari seekor gajah hidup.
"Apa yang membuatnya bertanya sebuah pertanyaan seperti itu?" adalah jawabannya. "Sebuah taring gajah hidup dihargakan sejumlah besar lebih dari pada sebuah dari yang telah mati." "Oh, kalau begitu, Saya akan bawakan kamu beberapa gading gajah," berkata ia, dan ia pergi bersiap-siap ke tempat tinggal Sang Bodhisatta, dengan perlengkapan untuk perjalanan, dan dengan sebuah gergaji yang tajam. Ketika ditanya apa yang membawa ia kembali, ia merengek-rengek bahwa ia sangat menyesal dan dalam keadaan sedih dan malang bahwa ia tidak dapat menuntut sebuah penghidupan. Maka itu, ia telah datang untuk meminta sedikit taring dari gajah yang baik untuk di jual buat sebuah penghidupan!. "Tentu, Saya akan berikan kamu semua taring." berkata Bodhisatta, "Bila kamu mempunyai sebuah gergaji untuk memotongnya." "Oh, Saya membawa sebuah gergaji, tuan." "Kalau begitu gergajilah taring Saya sampai putus, dan bawa mereka bersamamu," berkata Sang Bodhisatta. Dan ia membungkukan lututunya sampai ia terletak di atas Bumi seperti seekor lembu. Kemudian ahli hutan itu menggergaji putus kedua taring utama Sang Bodhisatta! Ketika taring-taring itu lepas, Sang Bodhisatta mengambilnya dengan belalainya dan menyerahkan kepada orang itu, "Jangan berpikir, kawan orang, bahwa Saya tidak menilai atau menghargai taring-taring ini yang Saya berikan kepada kamu. Tetapi seribu kali, seratus ribu kali, lebih berharga bagiku adalah taring-taring mahatahu yang dapat memahamkan segala hal-hal. Dan dengan itu pemberianku ini kepadamu menjadikan Saya tahu segala hal." Dengan kata-kata ini, ia memberikan sepasang taring itu kepada ahli hutan itu sebagai
harga dari tahu segala hal.

Dan orang itu mengambilnya, dan menjualnya. Dan ketika ia telah menggunakan uang itu, ia kembali kepada Sang Bodhisatta, mengatakan bahwa kedua taring hanya membawa ia cukup untuk membayar hutang-hutang lamanya, dan meminta untuk sisa dari pada gading gajah Bodhisatta. Sang Bodhisatta mengabulkan, dan memberikan sisa daripada gadingnya, setelah dipotong sebagaimana sebelumnya. Dan ahli hutan itu pergi dan menjual ini juga. kembali lagi, ia berkata, "Itu tidak berguna, tuanku, Saya bagaimana juga tidak bisa hidup maka berikan Saya tunggul dari taringmu."

"Begitu, lakukanlah," menjawab Sang Bodhisatta, dan ia berbaring di bawah seperti sebelumnya. Kemudian orang celaka yang keji, memijak ke atas belalai Sang Bodhisatta, bahwa belalai suci itu yang seperti tali perak, dan memanjat dengan susah di atas Kuil Buddha yang akan datang, yang sebagaimana puncak dari gunung kelasa, menendang pada akar-akar dari taring-taring sampai ia telah melepaskan dari dagingnya. Kemudian ia mengergaji keluar tunggulnya dan berlalu pergi. Tetapi belum cukup orang celaka itu berlalu dari pandangan Sang Bodhisatta, ketika bumi yang padat itu, tak dapat dipahamkan dan kebesarannya, [322] yang dapat menyokong berat yang maha hebat dari gunung Sineru dan puncak yang melingkarinya, dengan segala kekotoran dunia. Sekarang meletus terbelah dalam sebuah celah. Seperti layaknya tidak sanggup untuk memikul beban dari semua kejahatan-kejahatan! Dan langsung api dari neraka paling bawah membungkus si tak berterima kasih, menggulung ia seperti dalam sebuah pembungkus celaka, dan menggerek ia pergi. Dan selagi orang celaka itu ditelan ke dalam perut bumi, peri pohon yang menempati hutan itu membuat gema lingkungan dengan kata-kata ini : "Malah tidak saja pemberian dari kerajaan Seantero dunia dapat memuaskan si tak berterima kasih!" Dan dalam pantun berikut ini peri itu mengajarkan kebenaran.

Tak berterima kasih kekurangan lebih banyak, lebih banyak ia dapat,
Tidak semua dunia dapat memuaskan napsunya.

Dengan pelajaran seperti ini peri pohon itu membuat hutan bergema lagi. Sedangkan untuk Bodhisatta, ia hidup sampai ajalnya, akhirnya ia meninggal dunia sesuai dengan apa yang ditinggalkannya.

Berkata Sang Guru, "Ini bukan pertama kali, saudara-saudara, bahwa Devadatta telah membuktikan seorang yang tak berterima kasih, ia juga sama di waktu yang lampau." Pelajarannya berakhir, Beliau menyatukan kelahiran dengan berkata, "Devadatta adalah orang yang tak berterima kasih pada waktu itu, Sariputta peri pohon, dan Saya sendiri raja gajah yang baik."

Catatan: Cf.Milinda-pancho 202, 29.
[1] Ini mengenai mata seorang Bodhisatta dalam jataka vol. III 344.9.
[2] Seekor gajah menyendiri, atau berandalan sangat berbahaya untuk dijumpai.

SACCAMKIRA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No 73

SACCAMKIRA-JATAKA

"Mereka mengetahui dunia."... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika di hutan Bambu, tentang maksud akan membunuh. Ketika, duduk di dalam Dhammasala, para bhikkhu sedang membicarakan kejahatan Devadatta, katanya, "Tuan-tuan, Devadatta tidak mengetahui kebajikannya Guru, ia sebenarnya bermaksud untuk membunuh Beliau!" Di sini Sang Guru memasuki Dhammasala dan menanyakan apa yang sedang didiskusikan mereka. [323] Setelah diberitahu, Beliau berkata," Ini bukan yang pertama kali, para bhikkhu, bahwa Devadatta akan membunuh Saya, ia melakukan hal yang sama di waktu yang lampau juga." Dan demikian katanya, Beliau mengatakan cerita masa lampau ini.

Pada suatu waktu Raja Brahmadatta sedang memerintah di Benares. Ia mempunyai seorang anak lelaki bernama Pangeran Jahat ia galak dan kejam, seperti seekor ular, ia bicara tidak pada seorangpun tanpa kata-kata kasar dan makian. Seperti ada kerikil di matanya pangeran ini terhadap semua rakyat baik yang ada di dalam ataupun di luar istana, atau seperti seorang raksasa kelaparan, ia begitu sangat ditakuti.

Suatu hari ia ingin bersenang-senang di sungai, ia pergi dengan sejumlah besar pengiring ke tepi air. Dan sebuah badai besar datang, dan kegelapan yang sangat terjadi. "Hai di sana!", ia berteriak kepada pembantu-pembantunya, "bawa Saya ke tengah sungai, mandikan Saya di sana, dan kemudian bawa kembali Saya lagi." Maka mereka membawanya ke dalam sungai dan di sana mengambil keputusan bersama, berkata, "Apa yang raja kerjakan kepada kita-kita? Marilah sekarang kita bunuh orang celaka yang jahat ini di sini! Begitulah kamu pergi, binatang yang merugikan!" mereka berteriak, selagi mereka melemparkannya ke dalam air. Ketika mereka melakukan perjalanan mendarat, mereka ditanyakan, dimana adanya pangeran itu, dan menjawab, "Kami tidak melihat ia, mendapatkan datang badai, ia seharusnya telah keluar dari sungai dan pulang mendahului kami."

Orang-orang istana pergi ke dalam tempat raja, dan raja bertanya dimana anak-anaknya." Kami tidak tahu, tuanku," kata mereka, "Sebuah badai datang, dan kami percaya bahwa ia semestinya telah pergi disebelah depan." Segera raja membuka gerbang, pergi ke tepi sungai dan memerintahkan pencarian yang dilakukan ke atas dan ke bawah untuk mencari pangeran yang hilang. Tetapi jejaknya tidak ditemukan karena dalam kegelapan badai, ia telah disapu pergi oleh arus, dan datang menyilang sebuah batang pohon, ia telah menaiki di atasnya, dan demikian terapung di bawah aliran air, berteriak meratap dalam kesengsaraan dari ketakutannya terbenam.

Sekarang di sana ada seorang saudagar kaya hidup pada waktu itu di Benares, yang telah meninggal, meniggalkan empat puluh Crores yang di kubur di tepi sungai yang sama. Oleh karena keinginannya akan kekayaan, ia dilahirkan kembali sebagai seekor ular pada tempat di bawah mana terletak harta karunnya tercinta. Dan juga pada tempat yang sama seorang yang lain telah menyembunyikan tiga puluh Crores, dan karena keinginanannya untuk kaya ia terlahir kembali sebagai seekor tikus pada tempat yang sama. Dalam arus air yang deras ke dalam tempat tinggal mereka, dan kedua makhluk itu, menyelamatakan diri dengan cara mengikuti aliran deras air itu, yang membuat jalan mereka melintangi sungai itu, ketika kesempatan mereka ke atas batang pohon dimana pangeran itu sedang berpegangan [324]. Sang ular menaiki pada satu ujungnya, dan sang tikus pada ujung yang lainnya, dan dengan demikian keduanya mendapat sebuah tempat berpijak dengan pangeran itu di atas batang.

Juga di sana tumbuh ditepi sungai sebuah pohon kapas sutera, di dalamnya tinggal seekor burung kakatua muda, dan pohon ini telah terbongkar oleh air bahkan, jatuh ke dalam sungai itu. Hujan yang lebat memukul jatuh burung kakatua ketika ia mencoba terbang, dan burung itu hinggap waktu ia terbang jatuh di atas batang pohon yang sama. Dan demikian di sana sekarang ada empat makhluk terapung di sungai itu bersamaan di atas pohon itu.



Sekarang Sang Bodhisatta telah dilahirkan kembali pada waktu itu sebagai seorang Brahmana dalam sebelah barat laut negeri. Meniggalkan keduniawian untuk penghidupan pertapa pada masa dewasanya, ia telah membuat sendiri sebuah pertapaan didekat sebuah belokan dari sungai itu, dan disanalah sekarang ia tinggal. Dan selagi ia jalan mondar-mandir, pada tengah malam, ia mendengar teriakan keras dari pangeran itu, dan berpikir ini dalam dirinya sendiri: "Kawan makhluk ini pasti tidak berbahaya di hadapan mata dari seorang pertapa pemurah dan berbelas kasihan seperti Saya. Saya akan menyelamatakan ia dari air, dan menyelamatkan jiwanya." kemudian ia berteriak dengan girang, "Jangan takut!" jangan takut!" dan mencebur melintasi sungai, memegang batang pohon pada ujungnya, dan dengan kekuatan sebagai seekor gajah, mendorongnya ke tepi dengan sebuah tarikan panjang, dan menyelamatkan pangeran itu dan menempatkannya dengan baik di tepian. Kemudian menyadarkan sang ular dan tikus dan burung kakatua, ia membawa mereka ke tempat pertapaannya, dan di sana ia menghidupkan api, memanaskan binatang-binatang lebih dahulu, sebagai yang lebih lemah, dan kemudian pangeran itu, setelah dilakukan, ia membawa bermacam-macam buah-buahan dan menjadikan mereka sebagai tamunya, memelihara binatang-binatang itu terlebih dahulu dan pangeran kemudian. Ini menimbulkan kemarahan pangeran muda, yang berkata dalam hatinya sendiri, "Pertapa bajingan ini tidak menaruh hormat pada kelahiran kerajaanku, tapi benar-benar memberikan binatang-binatang buas ini mendahului Saya." Dan ia mengandung kebencian terhadap Sang Bodhisatta!

Beberapa hari kemudian, ketika keempatnya mendapatkan kembali kekuatan mereka dan air sudah surut, sang ular memohon diri kepada pertapa dengan kata-kata ini, "Bapak, telah memberikan pelajaran besar pada Saya. Saya tidaklah miskin, karena Saya mempunyai empat puluh Crores Emas yang di sembunyikan pada sebuah tempat tertentu. Bilamana Bapak menginginkan uang, semua timbunan Saya akan menjadi milikmu. Bapak hanya perlu datang ke tempat itu dan memanggil 'Ular'". Selanjutnya sang tikus memohon dirinya dengan sebuah janji yang sama kepada pertapa itu sebagaimana dengan harta karunnya, meminta pertapa datang dan memanggil "Tikus" [325] Kemudian burung kakatua mohon berpisah, berkata, "Bapak, perak dan emas Saya tidak punya tapi kalau anda menginginkan pilihan untuk beras, datanglah dimana Saya tinggal dan memanggil "Kakatua" dan Saya dengan bantuan kerabat Saya akan memberikan anda berkereta-kereta muatan dari beras." Akhirnya datanglah pangeran. Hatinya dipenuhi dengan rasa tidak berterima kasih dan dengan satu keputusan untuk meletakan orang dermawannya kepada kematian, bilamana Sang Bodhisatta akan datang mengunjungi ia. Tetapi, ia menyembunyikan keinginannya, ia berkata, "Datanglah Bapak, kepada Saya bilamana Saya sudah jadi raja, dan Saya akan anugerahi anda empat kebutuhan." Demikianlah katanya, ia melakukan perpisahan, dan tidak lama kemudian ia naik tahta.

Keinginan datang pada Sang Bodhisatta untuk mencoba pernyataan-pernyataan mereka, dan pertama-tama ia pergi kepada sang ular dan berdiri didekat tempat yang dikatakannya, memanggil "Ular". Mendengar perkataan ular melintas ke muka dan dengan perilaku hormat ia berkata, "Bapak, di tempat ini ada empat puluh Crores emas. Galilah dan ambil semua!" "Baiklah," berkata Sang Bodhisatta, "Bilamana Saya memerlukannya, Saya tidak akan lupa." Kemudian mengucapkan selamat berpisah pada ular, ia meneruskan pergi ke tempat tikus tinggal, dan memanggil "Tikus". Dan sang tikus melakukan sebagaimana ular telah lakukan. Selanjutnya pergi ke tempat burung kakatua, dan memanggil "Kakatua", burung itu dengan segera terbang turun dari puncak pohon, dan dengan hormatnya menanyakan apakah itu keinginan Sang Bodhisatta, ia dengan pertolongan kerabatnya akan mengumpulkan padi untuk Sang Bodhisatta dari daerah sekitar pegunungan Himalaya. Sang Bodhisatta berpisah dengan burung kakatua, juga dengan janji bahwa, jika datang keperluan, ia tidak akan lupa tawaran sang burung. Akhirnya, ia teringat untuk pada gilirannya mengunjungi raja, Sang Bodhisatta datang ke tempat peristirahatan kerajaan, dan pada hari setelah kedatangannya melakukan perjalanan, dengan hati-hati ia berpakaian, masuk ke dalam kota dalam perjalanan kelilingnya untuk minta sedekah. Bertepatan pada waktu itu, raja yang tak berterima kasih, duduk dalam segala kebesaran raja di atas gajah kerajaan, sedang melewati dengan prosesei upacara berkeliling kota diikuti dengan pengikut yang besar. Melihat Sang Bodhisatta dari jauh, ia berpikir pada dirinya sendiri, "Inilah pertapa bajingan itu datang untuk minta tempat tinggal dan makanan kepada Saya. Saya harus mencopot kepalanya sebelum ia dapat mengungkapkannya pelayanan yang ia berikan kepada Saya." Dengan keinginan ini, ia memberi tanda pada pembantu-pembantu, dan pada pertanyaan mereka apa kesenangannya, berkata, "Saya pikir di sana ada pertapa bajingan yang ke sini untuk mengganggu Saya. Lihatlah binatang yang merugikan itu tidak datang mendekati orangku, tetapi tangkap dan ikat ia [326] Cambuk ia pada setiap sudut jalan, dan kemudian bawa ia keluar kota, pancung kepalanya pada tempat penghukuman, dan ikat badannya di atas sebuah pancang."
Mematuhi perintah raja mereka, para pembantunya meletakan makhluk agung yang tak bersalah dalam ikatan dan mencambuk ia pada pada setiap sudut jalan dalam perjalanan ke tempat penghukuman. Tetapi semua cambukan mereka gagal untuk menggerakkan Bodhisatta atau menguncangkan ia suatu teriakan dari "Oh, Ibu dan Ayahku!". Semua yang ia perbuat adalah mengulangi pantun ini :

Mereka mengetahui dunia, yang membentuk perumpamaan ini betul-betul,
"Sebuah balok membalas penyelamatan lebih baik dari pada beberapa orang"

Baris-baris ini ia ulangi setiap kali ia di cambuk, sampai akhirnya yang bijaksana diantara yang hadir menanyakan si pertapa pelayanan apa yang ia telah berikan kepada raja mereka. Kemudian Bodhisatta menceritakan seluruh ceritanya, diakhiri kata-kata. "Demikianlah kejadiannya bahwa dengan menyelamatakan ia dari arus sungai yang deras Saya membawa semua sengsara ini pada diriku. Dan ketika Saya berpikir bagaimana Saya telah lalai meninggalkan kata-kata dari orang-orang tua bijaksana, Saya berteriak sebagaimana yang kamu telah dengarkan." Dipenuhi dengan rasa berang pada riwayatnya itu, orang-orang brahmana dan semua golongan dengan satu persetujuan berteriak, "Raja yang tidak berterima kasih ini tidak dapat mengenali sekalipun kebaikan dari orang baik ini yang telah menyelamatkan jiwa yang mulia, bagaimana kita dapat suatu keuntungan dari raja ini? Jatuhkan raja yang lalim!" Dan dalam kemarahan mereka menyerbu raja dari setiap sudut, dan membunuh ia di sana dan kemudian, sebagaimana ia mengendarai di atas gajahnya, dengan anak-anak panah dan lembing-lembing dan batu-batu dan pemukul-pemukul dan senjata apa saja yang dapat dipegang. Mayatnya mereka seret pada tumitnya dan melemparkannya ke dalam parit. Kemudian mereka mengangkat Bodhisatta sebagai raja dan mempersiapkan ia untuk memerintah mereka.

Selagi ia sedang memerintah dalam keadilan, suatu hari [327] keinginan datang pada ia lagi untuk mencoba ular dan tikus dan burung kakak tua, dan diikuti oleh sejumlah besar pengiring, ia datang dimana sang ular berdiam. Pada panggilan "Ular", keluarlah sang ular dari lubangnya dan dengan menghormat berkata, "Di sini, tuanku, adalah harta karun anda, ambilah." Kemudian raja mengirimkan empat puluh Crores emas itu kepada pembantu-pembantunya, dan terus maju kemana sang tikus berdiam, memanggil, "Tikus". Keluarlah sang tikus dan menghormati raja, dan menyerahkan tiga puluh Croresnya. Menempatkan harta ini juga ke dalam tangan-tangan dari pembantu-pembantunya, raja terus pergi kemana sang burung kakaktua tinggal, dan memanggil, "Kakaktua". Dan dengan cara yang sama burung itu datang berlutut pada kaki raja menanyakan apakah akan mengumpulkan beras untuk tuanku. "Kami tidak akan menyusahkan kamu," berkata raja, "Sampai beras yang diperlukan. Sekarang marilah kita pergi." Maka dengan tujuh puluh Crores emas, dan dengan tikus, ular, dan begitu juga kakaktua, sang raja pergi kembali ke kota. Di sini, dalam sebuah istana yang mulia, menurut cerita, kerajaan yang ia pasang, ia menjadikan harta itu ditaruh dan dijaga, ia mempunyai sebuah tabung emas dibuat untuk tempat tinggal ular, sebuah kotak kristal untuk rumah tikus, dan sebuah sangkar emas untuk kakaktua. Setiap hari juga atas perintah raja makanan disediakan untuk ketiga makhluk dalam bejana dari emas. Jagung kering manis untuk kakaktua dan ular, dan beras wangi untuk tikus. Dan raja diliputi dalam kedermawanan dan semua pekerjaan-pekerjaan baik. Jadi dengan keserasian dan kemauan baik satu sama lain, empat kawan ini menjalin kehidupan mereka, dan ketika akhir mereka tiba, mereka meninggal sesuai dengan apa yang mereka tinggalkan.

Berkata Sang Guru, "Ini bukanlah yang pertama kali, saudara-saudara, bahwa Devadatta bermaksud untuk membunuh Saya, ia melakukan hal yang sama dimasa yang lampau." Pelajarannya berakhir, Beliau memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Devadatta adalah raja jahat pada waktu itu, Sariputta ular, Mogallana tikus, Ananda kakaktua, dan Saya sendiri raja yang adil yang memenangkan sebuah kerajaan."

RUKKHADHAMMA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 74

RUKKHADHAMMA-JATAKA

"Bersatu, seperti hutan."... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika di Jetavana, mengenai sebuah pertikaian karena air yang telah membawa bencana kepada kaum kerabatnya. Mengetahui ini, Beliau lewat melalui udara, duduk bersilang kaki di atas sungai rohini, dan memancarkan sinar-sinar kegelapan, yang mengejutkan kaum kerabatnya. Kemudian menurun dari tengah udara, Beliau duduk di tepi sungai dan mengatakan cerita ini yang bertalian dengan pertikaian. Hanya ringkasan diberikan disini, perincian yang detail akan berhubungan dalam kunala-jataka [1] tetapi pada kejadian ini Sang Guru mengarahkan kaum kerabatnya, [328] berkata, “Itulah pertemuan, tuanku, bahwa kaum kerabat akan tinggal bersama dalam kerukunan dan persatuan. Karena, bila kaum kerabat bersatu, musuh-musuh tidak mendapatkan kesempatan. Tidak berbicara dari manusia, malah pohon-pohon yang kurang perasaanpun harus berdiri bersama-sama. Karena pada waktu yang lalu di pegunungan himalaya sebuah badai menghantam sebuah hutan sal, namun karena pohon-pohon, membelukar, menyemak, dan menjalarnya dari hutan itu saling menjalin satu dengan yang lainnya, badai itu tidak dapat melemparkan sebatang pohonpun tetapi lewat tanpa mencelakakan di atasnya. Tetapi sendiri di sebuah lapangan berdiri sebuah pohon yang besar, dan walaupun itu mempunyai banyak batang-batang dan cabang-cabang, namun karena itu tidak bersatu dengan pohon-pohon lain, badai mencabutnya dan merobohkannya. Karena itu, adalah pertemuan yang kamu juga harus tinggal bersama dalam kerukunan dan persatuan." Dan demikian katanya pada permintaan mereka Beliau mengatakan cerita masa lampau ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, raja pertama Vessavana [2] wafat, dan dan Sakka mengirimkan seorang raja baru untuk memerintah sebagai penggantinya. Setelah pergantian, raja baru Vessavana berpesan kepada semua pohon-pohon dan belukar dan semak-semak dan tanaman-tanaman, meminta pada peri-peri pohon masing-masing memilih untuk tempat tinggal yang mereka paling sukai. Pada waktu itu Sang Bodhisatta telah hidup sebagai seorang peri pohon di dalam sebuah hutan sal di pegunungan himalaya. Nasehatnya kepada kaum kerabatnya dalam memilih kependudukan mereka adalah untuk menghindari pohon yang berdiri sendiri di udara terbuka, dan untuk mengambil tempat tinggalnya semua disekitar tempat tinggal yang ia telah pilih di dalam hutan sal. Disini para peri pohon yang bijaksana, mengikuti nasehat Bodhisatta, membawa suku mereka disekitar pohon-pohonnya. Tetapi seorang yang bodoh berkata, "Kenapa kita akan bertempat tinggal di dalam hutan? Marilah kita agak mencari tempat di luar tempat tinggal orang-orang, dan mengambil tempat kita di luar kampung-kampung, kota-kota, atau di Ibu kota. Karena peri-peri yang tinggal di tempat seperti itu menerima persembahan yang kaya dan pemujaan yang terbesar." Maka mereka berpisah ke tempat tinggal dari orang-orang, dan mengambil tempat tinggal mereka dalam pohon yang besar tertentu yang tumbuh di udara terbuka.

Sekarang terjadi pada suatu hari sebuah badai yang hebat menyapu seluruh negeri. Tidak ada gunanya pohon-pohon yang menyendiri yang bertahun-tahun telah berakar dalam di tanah dan bahwa mereka adalah pohon-pohon yang tumbuh terbesar. Cabang-cabangnya, tangkai-tangkai pohon hancur, dan pohon itu sendiri terbongkar dan terlempar ke bumi oleh badai itu. Tetapi ketika badai itu memecah ke hutan sal, yang pohon-pohonnya saling terjalin, amukannya adalah sia-sia, karena, itu boleh diserang, tidak sebuah pohonpun dapat dilemparkan.

Peri-peri yang putus asa yang tempat tinggalnya dihancurkan, membawa anak-anak mereka di tangannya dan melakukan perjalanan ke himalaya. Disana mereka mengatakan kesedihan mereka kepada peri-peri dari hutan sal, [329] yang berikutnya mengatakan kepada Sang Bodhisatta dari kembalian mereka yang sedih. "Itu disebabkan karena mereka tidak mendengar kepada kata-kata yang bijaksana, yang telah membawa mereka kepada kejadian ini," berkata ia, dan ia membabarkan kebenaran dalam pantun ini :

Bersatu, bagai hutan, akan menegakkan kaum kerabat,
Badai melemparkan pohon yang menyendiri.

Demikianlah Sang Bodhisatta berkata, dan ketika kehidupan telah dilalui, ia meninggal dunia sesuai dengan apa yang ditinggalkannya. Dan Sang Guru terus berkata, "Itulah, tuanku, menggambarkan bagaimana itu bertemu bahwa kaum kerabat pada setiap golongan harus bersatu, dan tinggal saling mengasihi bersama dalam keselarasan dan persatuan." Pelajarannya berakhir, Sang Guru menyatukan kelahiran dengan berkata, "Pengikut-pengikut Buddha adalah peri-peri pada waktu itu, dan saya sendiri peri yang bijaksana."
[1] No.536.
[2] Sebuah nama dari Kuvera.