Kamis, 28 Februari 2008

Menanam Kusala Kamma

BERBAGAI CARA MENANAM KEBAJIKAN

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
SUKARAM SADHUNA SADHU.
Sangatlah mudah bagi orang baik untuk melakukan hal-hal yang baik.
Khuddakanikaya Udana.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita bersama-sama membaca Paritta dan bermeditasi, marilah sekarang kita mengadakan perenungan dan pembahasan Dham-ma yang pada hari ini berjudul ‘Berbagai cara menanam kebajikan’. Jadi sekali lagi, judul perenungan dan pembahasan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Berbagai cara menanam kebajikan’.
Sdr/i sekalian, kita tentu sudah tahu apa yang namanya menanam kebajikan. Mena-nam kebajikan berarti menanam bibit atau benih kebaikan, yaitu melakukan amal kebaikan atau melakukan suatu perbuatan baik. Tetapi, bagaimana cara menilai besar kecilnya bibit kebaikan yang kita tanam tersebut? Sdr/i sekalian, umumnya, orang-orang Hongkong, be-gitu berbicara soal melakukan amal kebaikan, pasti mereka akan langsung mengaitkan de-ngan sederetan pengertian yang bunyinya begini:”Wah, itu sih persoalan yang harus dila-kukan oleh orang-orang kaya. Sebab,hasil pendapatanku sedikit, bagaimana mungkin bisa melakukan amal? Masih kah aku harus mendermakan uang?”
Begitulah Sdr/i, suatu pengertian salah yang menganggap melakukan amal kebaik-an disamakan dengan mengeluarkan uang. Jadi, harus mengeluarkan uang dulu, barulah bisa disebut beramal. Padahal, ruang lingkup beramal adalah cukup luas. Ada amal ke-baikan yang memang dengan mengeluarkan uang, misalnya mendirikan rumah sakit, se-kolahan, panti perawatan orang jompo, panti asuhan, memberi uang pada fakir miskin, mengobati atau memberikan obat secara cuma-cuma, membangun jembatan dan jalan, memberi penerangan lampu jalan, menyumbang korban bencana alam dan kelaparan, beli peti mati bagi yang melarat, memperbaiki atau mendirikan vihara, mencetak buku-buku Dhamma untuk disebarluaskan secara gratis, membeli makhluk hidup untuk kemudian dilepaskan, dan lain-lain. Itulah jenis-jenis amal kebaikan yang memang dengan me-ngeluarkan uang. Tetapi, ada juga amal kebaikan yang tanpa mengeluarkan uang, misalnya tidak melakukan pembunuhan terhadap makhluk hidup, menghapus dendam atau memaafkan pada orang lain, menghapus segala pertentangan, menyingkirkan batu-batu di jalanan termasuk kulit pisang, pecahan beling, dan sebagainya yang dapat mem-bahayakan orang lewat, mempersilakan tempat duduk bagi wanita hamil atau orang tua, sedapat mungkin menolong orang yang sedang menderita sakit di perjalanan, menghibur dengan kata-kata bagi penderita penyakit berat dan orang yang frustasi, membantu ter wujudnya cita-cita seseorang, membantu orang lain agar sanak saudaranya dapat berkum-pul kembali, membicarakan sejarah atau riwayat orang-orang yang baik agar orang yang mendengarnya terbebas dari kelaliman atau kebodohan, menasehati orang supaya meng-hindari kemaksiatan dan menuju kebenaran, memaafkan kesalahan orang, secara sukare-la membacakan Paritta untuk orang lain yang sedang menderita maupun yang sedang ba-hagia, menasehati orang agar yakin terhadap adanya hukum sebab-akibat, menolong orang tanpa pamrih, menyumbangkan darah untuk menolong orang lain, dan sebagainya.
Jadi Sdr/i, jelaslah sudah, bahwa beramal tidak pasti harus keluar uang; yang pasti ia harus dengan kesungguhan hati mengerjakannya. Artinya harus benar-benar rela dan ikhlas. Beramal sangat luas ruang lingkupnya. Di manapun terdapat pintu untuk menanam-kan kebajikan. Jadi terserah kita sendiri, dengan kesungguhan hati melakukannya atau ti-dak. Dalam beberapa ajaran dikatakan bahwa tempat yang tidak ada pamrihnya adalah justru merupakan pahala yang besar. Artinya, orang yang selalu berhati tanpa pamrih da-lam berbuat kebaikan apapun, maka pahala dari yang dilakukannya itu adalah pahala yang besar. Oleh sebab itu, kesungguhan hati atau keikhlasan yang tanpa pamrih ini sangat penting sekali peranannya dalam setiap melakukan suatu perbuatan baik. Kesungguhan hati merupakan suatu titik tolak, yaitu titik tolak dari sikap welas asih. Bagi orang yang su-dah cukup memadai pembinaan batinnya atau laku akhlaknya, maka welas asih yang di-pancarkan sangatlah jauh. Orang yang demikian itu, setiap kebaktian mungkin merenung-kan keinginan atau tekadnya, yaitu tekad menolong umatnya semoga terbebas dari keseng saraan. Sikap welas asih yang agung demikian itu adalah sudah merupakan kualitas batin yang besar, yang tidak dapat dinilai dan diukur. Oleh sebab itu, hendaknya setiap kebakti-an kita berlatih merenungkan atau memancarkan sikap welas asih ini dengan bertekad se-moga dengan kebaktian ini dapat mengkondisikan perdamaian dunia, bebas bencana, ba-gi yang punya sawah panennya bisa baik, semoga semua umat yang ikut kebaktian juga hidup tentram dan sejahtera, dan sebagainya. Hal-hal demikian ini juga merupakan perwu-judan pancaran welas asih dari batin kita yang juga merupakan suatu sikap yang luhur yang tak ternilai.
Sdr/i seDhamma, demikian tadi tentang keikhlasan beramal, sekarang bagaimana kita memilih cara beramal yang bisa sering dilakukan tetapi kalau bisa tanpa mengeluarkan uang, atau sedikit sekali mengeluarkan uang, tetapi tetap bisa mendapatkan hasil yang baik? Sdr/i, beberapa cara berikut ini akan kami sajikan, yang menurut kami dapat meng-hemat dan sangat mudah dilakukan.
Yang pertama adalah membaca Paritta. Inilah cara terbaik berbuat kebajikan tanpa biaya satu sen pun. Jadi, baik si kaya maupun si miskin dapat melakukannya. Tetapi harus ada keyakinan dan tekad. Membaca Paritta harus dengan penuh keyakinan dan kejujuran, tidak kenal lelah dan putus asa di tengah jalan, barulah bisa berhasil. Makin lama memba-ca Paritta makin besar hasilnya. Kekuatan Paritta tidak tampak, jika lama membacanya, dapat menghindarkan berbagai bencana atau malapetaka, juga penyakit yang sedang di-derita, bahkan dapat mengubah nasib yang buruk menjadi jalan yang lapang. Sdr/i, kekuat-an Paritta ini tak terduga. Sdr/i, berbagai hambatan perjalanan nasib manusia, pada dasarnya bersumber pada keadaan ‘telah menanam benih kejahatan’ dan sekarang se-dang menerima akibatnya. Nah, kekuatan Paritta dapat menghapus segala siklus ‘benih ja-hat’ yang pernah kita tanam sehingga dengan sendirinya dapat mengubah nasib buruk menjadi agak baik. Yang harus diperhatikan dalam membaca Paritta yaitu kita harus mem-buang segala segala pikiran yang bukan-bukan. Memang, pada permulaannya kurang bisa berkonsentrasi, banyak pikiran yang mengganggu, tetapi tetap harus setapak demi seta-pak kita melatih diri sehingga lambat laun akan tercapai terpadunya ucapan dan pikiran. Jika ada ucapan tetapi tidak bersatu dengan pikiran, maka cara membaca Paritta sema-cam ini biarpun sampai tenggorokan kita serak, tidak akan berguna. Demikianlah Sdr/i, mengenai membaca Paritta.
Yang kedua adalah melepaskan makhluk hidup. Melepaskan makhluk hidup merupa kan cara yang baik pula untuk memupuk kebajikan atau amal kebaikan. Dalam dunia ini, untuk menikmati hidangan yang lezat, manusia telah berusaha memotong makhluk hidup yaitu hewan, sebanyak mungkin. Dalam masyarakat yang sudah menitikberatkan materi, umumnya orang telah kehilangan pengertian tentang makhluk hidup atau hewan ini. Dan ini adalah suatu bagian kehidupan yang menyedihkan. Kita seharusnya memahami bahwa yang namanya makhluk hidup atau hewan itu juga mempunyai jiwa atau roh seperti kita. Jadi mengapa harus makan daging si lemah secara paksa? Benarkah mereka dilahirkan untuk dibantai manusia? Tidak adakah keadilan hukum alam bagi mereka? Apakah tanpa makan darah dan dagingnya lalu manusia tidak dapat hidup? Jadi, apakah manusia yang merupakan ‘pemimpin dari semua makhluk di dunia’ dibentuk atas dasar kelakuan yang sangat kejam ini? Dari penderitaan mereka pada saat para hewan dibantai, telah cukup membuktikan adanya dendam kesumat mereka pada manusia yang sekaligus juga mem-buktikan kelaliman manusia. Oleh karena itu, orang yang memperhatikan amal kebajikan, selalu melakukan sesuatu perbuatan baik yang dalam hal ini yaitu melepaskan makhluk hi-dup. Melepaskan makhluk hidup berarti telah memberi kesempatan kepada mereka untuk lolos dari kematian atau memberikan sebuah jalan kehidupan.
Yang ketiga adalah melakukan vegetarian. Yaitu berjanji tidak makan makhluk berji-wa atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘cia cai’. Hal ini juga merupakan salah satu cara beramal yang tanpa harus mengeluarkan uang. Namun, hal ini harus dilihat dari perbedaan pekerjaan dan situasi setiap orang serta kekuatan janji dan tujuan kita sendiri. Bagi yang berjanji harus benar-benar memegang kata-katanya dan perbuatannya. Jadi apa yang diu-capkan harus dapat dilaksanakan, apabila melanggar, maka akan lebih berat karma buruk-nya daripada yang tidak berjanji.
Yang keempat adalah menolong yatim piatu. Walaupun hal ini harus mengeluarkan harta atau materi, namun tidak mesti dalam jumlah yang banyak, jadi bisa sesuai dengan kemampuan kita. Kita sering membaca dalam surat kabar yang menyerukan agar para pembaca memberikan sumbangan bagi penderita bencana alam, menolong orang yang cacat dan sebatang kara, hingga pengemis di jalan serta orang yang sakit parah tanpa sa-nak saudara yang sedang sengsara. Hal-hal yang menyedihkan semacam itu dapat dite-mui di mana saja. Bagi orang yang mempunyai belas kasihan, pasti akan merasa iba dan oleh karenanya tidak sedikit mereka yang tergerak hatinya lalu mengumpulkan sumbangan lewat surat kabar tersebut untuk diteruskan ke tangan si penderita. Berarti, orang-orang yang berderma tersebut sedang meluku sawah kebajikan, menanam benih kebajikan bagi masa depannya sendiri. Dan, seperti telah diuraikan tadi, bahwa memberikan amal bukan-lah diukur dari banyak sedikitnya uang yang dikeluarkan saja, tetapi juga dari kesungguhan hati kita. Jadi, disesuaikan dengan kemampuan kita masing-masing. Asalkan si pengamal setiap ada kesempatan lalu melakukannya, maka besarlah pahalanya. Bila mungkin, hen-daknya langsung diterimakan pada si penderita. Karena dengan menyaksikan penderitaan mereka, akan lebih mengetuk hati nurani kita dan menimbulkan sikap welas asih. Inilah yang sering disebut dengan ‘hati bodhisatta’. Selain itu, sebaiknya waktu menyumbang ti-dak mencantumkan nama kita. Kita kan bermaksud berbuat baik dengan tanpa pamrih apa pun, tanpa minta balasan apa pun. Jadi, kita kondisikan agar yang menerima tidak mengi-ngat-ingat di dalam batinnya. Hal ini akan membuat pahala kita menjadi lebih besar. Inilah yang disebut sebagai ‘kebajikan tanpa wujud’.
Yang kelima adalah mengunjungi panti jompo. Dalam hal ini masing-masing orang berdana sesuai dengan kemampuan masing-masing lalu bersama-sama membeli makan-an dan kemudian diberikan pada panti jompo untuk dibagikan pada orang-orang yang ber-usia lanjut. Umumnya, penghuni panti jompo adalah orang sebatang kara, yang berpenya-kitan sehingga dapatlah kita bayangkan kesunyian hati dan kesedihannya. Mereka itu mem butuhkan kehangatan, kemesraan, dan perhatian. Jadi mengunjungi panti jompo juga da-pat dikatakan melakukan perbuatan baik yang nilainya cukup besar. Jika anda pernah mengunjungi panti jompo, anda melihat bagaimana mereka dengan langkah gontai dan ta-ngan gemetar serta derai air mata, mereka menerima pemberian kita dengan kedua ta-ngan yang keriput namun wajahnya menyungging senyum kepasrahan. Ada pula yang se-gera mempergunakan tangannya yang gemetaran mengupas kulit buah-buahan dan me-masukkan buah yang telah dikupas itu ke dalam mulutnya yang telah ompong. Menyaksi-kan adegan yang sungguh mengharukan ini, di samping ikut juga menikmati kegembiraan orang-orang itu, anda juga dapat menyelami betapa besar benih kebaikan yang telah anda lakukan.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah tadi cara-cara berbuat kebaikan yang tidak harus mengeluarkan banyak uang. Jadi kesimpulannya siapa saja bisa berbuat baik sesuai dengan kemampuan masing-masing. Masalahnya adalah mau atau tidak. Itu saja. Nah Sdr/i yang berbahagia, demikianlah perenungan dan pembahasan Dhamma kita pada hari ini yang berjudul ‘Berbagai cara menanam kebajikan’. Dan, jika di antara Sdr/i ada yang ingin bertanya tentang makalah ini, kami persilakan untuk mendiskusikan bersa-ma-sama setelah selesainya kebaktian ini. Terimakasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
____________________

Dikutip dengan gubahan seperlunya dari ‘Berbagai cara menanam benih kebajikan’, Berita Dharmayana Edisi No : 35 tahun 2003, halaman 34 – 36.

PEMIMPIN KEBAKTIAN DAN PEMBACA MAKALAH : HATI – HATI, DALAM ARTIKEL INI BANYAK SEKALI PANCINGAN. MOHON DISKUSIKAN LAGI DENGAN LEBIH CERMAT.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: