Selasa, 18 Maret 2008

PENCURI PENCURI YANG TERHORMAT

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
ADHURAYAM NIYUBJATI.
Orang jahat selalu melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Khuddakanikaya Jataka Terasanipata.

Sdr/i seDhamma sekalian yang berbahagia, marilah sekarang kita bersama-sama mengarah-kan perhatian dan konsentrasi kita untuk mengisi kebaktian di pagi hari ini dengan pembahasan dan perenungan Dhamma yang berjudul ‘Pencuri-pencuri yang Terhormat’. Sekali lagi, judul pembahas-an dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Pencuri-pencuri yang Terhormat’.
Sdr/i sekalian, belum lama ini, di suatu majalah psikologi, diberitakan tentang beberapa ka-sus pencurian; dan rupanya kasus pencurian ini bukanlah seperti pada kasus-kasus pencurian biasa lainnya seperti yang biasa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yang dilakukan oleh orang-orang yang mungkin saja sedang kepepet atau tidak punya pekerjaan; tetapi, kasus ini justru dilaku-kan oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kedudukan tinggi atau sebagai orang yang terhor-mat. Juga beberapa tahun yang lalu, sebuah kasus pencurian pernah terjadi di toko serba ada ‘Mata-hari’, Bandung. Pelakunya empat orang wanita cantik dari kalangan berpunya, yang datang ke toko itu bermobil mewah. Mereka tertangkap basah, yaitu mengambil 61 potong pakaian seharga lebih dari Rp. 1 Juta. Namun, dalam proses pengadilan yang banyak dihadiri karyawan ‘Matahari’ itu, dua tertuduh, yaitu Ny. L (41) dan Ny. F (31), oleh Hakim Pengadilan Negeri Bandung, dinyatakan tidak bersalah. Sementara itu dua wanita lainnya, yaitu Nn. P (18) dan Ny. Li (30) malah tidak mengalami proses peradilan. Tentu saja keputusan ini menimbulkan protes para karyawan ‘Matahari’ yang ha-rus menanggung kerugian perusahaan itu. Nah, Sdr/i sekalian, mengapa bisa terjadi demikian? Me-ngapa mereka bisa dinyatakan tidak bersalah? Sdr/i seDhamma, nanti dapat kita ikuti pemecahan masalahnya mengapa hal tersebut bisa terjadi demikian.
Sdr/i sekalian, kasus lainnya, seperti yang terjadi pada tahun 1979, ada seorang manajer pe-rusahaan penerbangan Perancis di Jakarta, yang bernama Mr. Mech, terbongkar terlibat dalam kasus pencurian alat-alat rumah tangga. Manajer ini menyewa sebuah rumah, namun ternyata ia ingkar janji. Rumah yang disewanya itu dikatakan kemasukan pencuri. Barang-barang yang mahal berupa meja, kursi, lemari antik, hilang dari tempatnya. Padahal Sdr/i, menurut penyelidikan, kerusakan yang terjadi di rumah itu dilakukan dengan sengaja. Setelah diusut, ternyata memang benar bahwa barang-barang antik itu ada di rumah lain yang ternyata disewa oleh sang manajer Perancis itu.
Sdr/i seDhamma sekalian, kasus berikut yang tidak kalah serunya, dan juga menghiasi media massa, adalah yang juga terjadi pada tahun 1979, yaitu melibatkan empat warga negara Indonesia di Tokyo. Kali ini mereka dituduh melakukan pencopetan. Berikutnya lagi, sebuah kasus yang melibat-kan anggota DPR kita pada tahun 1980. SS, demikian nama pelaku tersebut, tertangkap basah se-dang mengambil barang (shop lifting) di toko serba ada Peter Robinson, di London. SS, harus mem-bayar denda sebesar 340 pound. Tapi, berhubung dalam interogasi SS mengaku tidak bermaksud mengambil barang itu, ia lalu dibebaskan dari tuduhan. Kemudian, masih di sekitar tahun-tahun itu juga, media massa memberitakan ada seorang artis Indonesai yang juga melakukan pencurian di se-buah toko di Singapore. Tapi, artis itu membantah dengan keras. Kesudahannya, pihak toko itu yang kemudian malah meminta maaf. Apa arti semua ini?
Sdr/i seDhamma, kasus-kasus seperti yang telah diceritakan tadi, menunjukkan bahwa tu-duhan pencurian ternyata memang tidak selalu terjadi pada orang-orang dengan kemampuan ekono-mi rendah. Orang-orang dengan kemampuan ekonomi baik pun seringkali mendapat tuduhan mela-kukan pencurian. Masalahnya, kenapa mereka sampai mencuri? Kenapa orang-orang terhormat sam-pai mencuri? Benarkah mereka sekedar mencari perhatian orang? Sdr/i sekalian, inilah sebuah kenya taan baru, seiring dengan mewabahnya supermarket dan department store.
Sdr/i sekalian, menurut pandangan umum, tindakan pencurian seperti pada kasus-kasus yang baru saja kita dengar tadi itu, disebut dengan istilah ‘kleptomania’. Dan, gambaran umum tentang kleptomania itu, menurut beberapa psikolog, adalah merupakan penyimpangan tingkah laku. Pende-ritanya secara umum mengalami gangguan pada sistem syarafnya. Jika ada gangguan pada sistem syaraf ini, maka kontrol penderita terhadap perilakunya juga menjadi melemah. Atau dengan kata lain, antara pikiran dan perbuatan menjadi tidak kompak lagi. Ketidakkompakan tindakan dan pikir-an inilah yang menimpa para penderita kleptomania. Pikiran mereka mengatakan tindakan pencurian itu jelek, tapi tubuh tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukannya. Dengan kata lain, para klep-toman ini memang sudah tidak bisa mengendalikan emosi. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, me-reka sesungguhnya tidak membutuhkan barang-barang yang mereka curi itu. Mereka melakukannya demi suatu kepuasan batin, kepuasan yang tidak bisa dikontrol oleh kesadaran. Para pelaku sendiri tidak sadar kenapa mereka melakukan tindakan seperti itu. Dan, mereka kadang-kadang juga tidak tahu sebenarnya barang-barang yang telah mereka curi itu akan diapakan. Sebagai contoh, pada pen-derita yang hanya mengambil barang-barang tertentu, korek api misalnya. Kalau melihat korek api, penderita kleptomania jenis ini rasanya langsung ingin sekali mengambilnya, namun sesudah itu, ka-dang-kadang dia tidak tahu lagi barang itu mau diapakan.
Sdr/i seDhamma sekalian, menurut pandangan psikolog, penyebab tidak kompaknya tindak-an dan pikiran itu bisa berupa gangguan pisik, misalnya karena benturan keras yang pernah dialami penderita; tapi bisa juga penyebabnya menyangkut psikis, misalnya stress berat. Dan menurut ketua LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, Nursyahbani Katjasungkana,S.H. jika pelaku pencurian adalah penderita kelainan jiwa seperti kleptomania, maka ia tidak dapat dihukum. Kepadanya tidak bisa diberlakukan hukum-hukum tentang pencurian. Dan, itu tidak hanya berlaku di Indonesia. Hu-kum di negara mana pun akan memberikan perlakuan hukum istimewa terhadap orang yang mende-rita kelainan jiwa .
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, sekarang bagaimanakah pandangan kita sebagai umat Buddha dalam menanggapi kasus-kasus pencurian seperti itu? Benarkah kita setuju bahwa penderita kleptomania itu tidak bersalah karena mereka melakukannya tanpa didasari dengan kesadaran? Be-narkah demikian? Yaitu tanpa didasari dengan kesadaran? Sdr/i, untuk itu sekarang marilah kita tin-jau bersama-sama tentang beberapa ajaran dalam Buddha Dhamma yang nantinya dapat dihubung-kan untuk memecahkan masalah tentang kleptomania tersebut.
Sdr/i sekalian, menurut ajaran Buddha Dhamma, disebutkan bahwa kesadaran adalah keada-an mengetahui sesuatu. Sekali lagi, kesadaran adalah keadaan mengetahui sesuatu. Jadi, bila kita bi-sa tahu sesuatu, maka berarti kita sadar. Bila kita bisa tahu bahwa di sana ada barang yang indah, maka berarti kita sadar. Jika kita bisa tahu bahwa ada suara yang merdu atau ada bau-bauan yang enak, maka berarti kita sadar. Jadi, kesadaran itu adalah keadaan mengetahui sesuatu yaitu melalui pintu-pintu indera-indera kita. Dan Sdr/i sekalian, satu hal yang harus kita ketahui lagi yaitu, bila di sana ada kesadaran sedang berlangsung, atau di sana sedang timbul kesadaran, maka di sana pula pasti timbul bentuk-bentuk pikiran yang di antaranya yaitu: kehendak, perasaan, kesan atau ingatan, dan sebagainya. Jadi, jika ada kesadaran, misalnya kita melihat benda, maka pada saat tersebut pasti juga muncul perasaan, misalnya senang karena benda itu indah, muncul pula kesan-kesan yang baik, kemudian muncul pula kehendak. Dan Sdr/i sekalian, hal tersebut tentunya dapat kita rasakan sendi-ri kebenarannya. Cobalah untuk merenungkannya, betul atau tidak hal tersebut? Oleh sebab itu, me-nurut pandangan agama Buddha, khususnya pandangan kita sebagai umat Buddha, pencurian yang dilakukan oleh penderita kleptomania tadi, adalah jelas sekali dilakukan dengan kesadaran yang penuh. Sebab, dia jelas-jelas tahu ada barang yang menurutnya bagus atau indah, dan jelas-jelas pula bahwa dia lalu ingin mengambil sehingga akhirnya barang itu terambil.
Sdr/i sekalian, lalu apakah sebabnya sampai ada orang yang bisa menderita kleptomania? Sampai katanya kalau dia mengambil barang rasanya sudah tidak berasa mengambil? Sdr/i sekalian, dalam ajaran agama Buddha dikatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi, pasti ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Tidak mungkin sesuatu itu ada dengan sendirinya atau tahu-tahu memang su-dah begitu. Itu tidak mungkin. Menurut ajaran Hukum Kamma yang ditinjau berdasarkan sifat hasil-nya, di sana disebutkan tentang Acinna Kamma atau Bahula Kamma, yaitu kamma kebiasaan. Arti-nya, perbuatan itu sudah merupakan kebiasaan bagi seseorang. Dan, karena seringnya dilakukan, maka seolah-olah sudah merupakan watak baru. Sebagai contoh misalnya, ada orang yang kalau me-minjam barang milik temannya, ia segan atau malas mengembalikan. Pada mulanya, memang dia hanya sekedar malas mengembalikan saja, tetapi lama kelamaan, hal tersebut menjadi kebiasaan se-hingga terbentuklah suatu watak baru yaitu kalau pinjam barang maunya selalu tidak mengembali-kan. Jadi di sini sudah jelas, bahwa suatu watak itu bisa terbentuk akibat dari adanya perbuatan yang sering sekali kita lakukan atau kita pupuk sehingga menjadi suatu kebiasaan atau watak baru.
Nah, Sdr/i seDhamma, demikian pula dengan watak yang maunya selalu saja mencuri. Hal ini tentu tidak tiba-tiba menjadi berwatak demikian. Hal ini tentu diakibatkan dari adanya suatu per-buatan yang sering dia lakukan sehingga akhirnya menjadi wataknya yang baru; yaitu kalau tidak melakukan, rasanya tidak enak atau rasanya belum puas. Jadi, dia lebih baik melakukan pencurian itu walaupun sekedar untuk memenuhi hasrat keinginannya yang sudah tidak terbendung tadi. Dan hal ini, bila kita tinjau dari kadar kemelekatan kekotoran batinnya, maka jelas sekali bahwa penderi-ta kleptomania yang demikian itu kadar kemelekatannya terhadap perbuatan mencuri justru lebih be-sar jika dibandingkan dengan kadar kemelekatan orang yang mencuri karena ia sedang terpaksa me-lakukannya. Jadi Sdr/i seDhamma sekalian, sekarang sudah jelas bagi kita semua, bahwa suatu wa-tak yang maunya selalu mencuri itu, ternyata tidak timbul begitu saja dengan sendirinya, tetapi hal tersebut terjadi karena adanya pemupukan perbuatan yang terus menerus dilakukan sehingga akhir-nya dapat menimbulkan suatu watak baru. Dan ini, kadar kemelekatannya lebih berat jika dibanding kan dengan mereka yang mencuri karena terpaksa. Oleh sebab itu Sdr/i sekalian, kleptomania yang secara umum bisa dianggap lumrah atau bisa dimaklumi, bahkan secara hukum negara juga tidak bi-sa disalahkan, namun kalau ditinjau secara Buddha Dhamma, ternyata bobot kemelekatan kekotoran batinnya justru lebih berat jika dibandingkan dengan pencurian biasa. Memang, sebagai umat Bud-dha, kita harus kritis dalam menanggapi setiap kejadian.
Sdr/i sekalian yang berbahagia, setelah kita mengetahui hal-hal yang menjadikan ada seorang bisa mempunyai watak selalu ingin mencuri atau dengan kata lain kleptomania, lalu apakah ada obat nya? Sdr/i seDhamma yang berbahagia, berhubung pembahasan Dhamma ini sudah terlalu panjang, maka marilah kita diskusikan saja masalah pengobatan kleptomania tersebut di dalam diskusi Dham ma setelah selesainya kebaktian ini. Semoga dengan bertambahnya pengertian kita terhadap Dham-ma, akan dapat membahagiakan diri sendiri dan semua makhluk.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
_________________

Buku Acuan:
1. Majalah TIARA, No. 02 Tahun I, hal. 63 – 66.
2. Abhidhammatthasavgaha II, hal. 39 – 40.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

Senin, 10 Maret 2008

KEMAMPUAN GAIB

KEMAMPUAN GAIB DITINJAU DARI BUDDHA DHAMMA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
TATHATTANAM NIVESEYYA YATHA BHURI PAVADDHATI.
Setelah mengetahui jalan bagi perkembangan batin, seyogyanya orang melatih diri, sehingga kebijaksanaannya dapat berkembang.
Khuddakanikaya Dhammapadagatha.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah membaca Paritta dan bermeditasi, mari-lah sekarang kita mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul “Kemampuan Gaib Ditinjau dari Buddha Dhamma”. Sekali lagi, tema atau judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu “Kemampuan Gaib Ditinjau dari Buddha Dhamma”.
Sdr/i yang berbahagia, sering kita mendengar suatu istilah yaitu ‘tenaga dalam’, te-naga gaib, atau kekuatan batin, dan sebagainya. Nah, apakah itu, Sdr/i? Serta, untuk apa-kah tenaga tersebut? Kemudian, bagaimanakah tenaga tersebut dapat terjadi? Sdr/i seka-lian, kita memang banyak yang tidak mengetahui bagaimana tenaga dalam atau tenaga gaib ini dapat terjadi atau timbul. Pertanyaan tersebut sama seperti halnya orang yang me-nanyakan bagaimana dapat terjadinya ‘tenaga listrik’ itu. Dalam hal ini, kita hanya bisa menjawab karena adanya sifat-sifat dari pelistrikan itu sendiri. Demikian juga halnya de-ngan kemampuan batin atau tenaga batin tadi.
Sdr/i sekalian, sebenarnya, kemampuan batin ini ada pada setiap orang. Jadi sekali lagi, kemampuan batin ini ada pada setiap orang. Hanya masalahnya yaitu, dikembangkan atau tidak. Hal ini erat hubungannya dengan ajaran Sang Buddha yang telah menunjukkan kepada kita semua umat Buddha, yaitu tentang bagaimana mengurangi atau mengikis deri ta. Di dalam kitab Majjhimanikaya 22 dikatakan bahwa hanya dengan Jalan Mulia Beruas Delapan-lah maka semua derita dapat diatasi. Jalan Mulia Beruas Delapan ini mencakup tiga tahap, yaitu Sila (kemoralan/etika moral), kemudian Samadhi (pemusatan pikiran), dan Pabba (kebijaksanaan). Kita akan dapat mencapai kebijaksanaan apabila didukung oleh dua tahap lainnya yaitu etika moral dan pemusatan pikiran. Demikian pula sebaliknya kare-na ketiganya merupakan kesatuan yang saling mendukung. Nah, dalam berlatih Samadhi atau pemusatan pikiran inilah, bila kita sudah mempunyai pemahaman yang baik, maka tanpa dikehendakipun dapat timbul kekuatan batin tersebut. Namun, mengenai Samadhi ini, terpaksa akan kita bahas tersendiri pada lain kesempatan.
Sdr/i yang berbahagia, dikatakan ‘tenaga dalam’ karena tenaga ini berasal dari da-lam badan sendiri. Orang Inggeris menyebutnya ‘The Inner Power’, dan dalam ilmu persi-latan disebut ‘Loikang’. Lalu, untuk apakah tenaga ini sebenarnya? Apakah benar bahwa tujuan berlatih Samadhi itu hanya sekedar untuk membangkitkan tenaga dalam ini? Tentu saja tidak! Karena Sang Buddha sendiri tidak mengajarkan hal tersebut. Tenaga dalam, yang merupakan salah satu bagian dari kekuatan tenaga batin (Abhibba) hanyalah seren-tetan proses yang akan dialami oleh para siswa dalam usaha mereka untuk mencapai pe-nguasaan diri menuju kebersihan batin.
Sdr/i seDhamma, dalam menilai bobot kemajuan berlatih Samadhi atau meditasi ini, kita mengenal adanya isitilah ‘Jhana-Jhana’, yaitu kemampuan pikiran yang melekat kuat atau mencerap pada obyek meditasi. Dalam pelajaran Samadhi terdapat delapan macam Jhana yang masing-masing mempunyai ciri-ciri kemajuannya sendiri. Bilamana seseorang telah berhasil mencapai Jhana ke IV, maka ia dapat memiliki kemampuan batin atau Abhi-bba yaitu seperti berikut ini:
1. Kemampuan bisa menghilang, bisa berjalan di atas permukaan air, menembus dinding, terbang di angkasa, dan sebagainya. Kemampuan ini disebut Iddhividhabana.
2. Kemampuan bisa mendengarkan suara dari jarak jauh atau dari alam-alam lain. Kemam puan ini disebut Dibbasotabana.
3. Kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain atau Cetopariyabana.
4. Kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan kesanggupan melihat timbul-padam atau lahir-matinya makhluk-makhluk yang tumimbal-lahir sesuai dengan karma mereka masing-masing.
5. Kemampuan untuk mengingat masa-masa kehidupannya yang lampau. Hal ini disebut Pubbenivasanussatibana.
6. Kemampuan untuk memusnahkan atau menghancurkan kekotoran batin. Hal ini disebut Asavakkhayabana.
Sdr/i seDhamma, kecuali yang disebutkan terakhir tadi, yaitu Asavakkhayabana, ke-mampuan-kemampuan batin tersebut dapat dicapai oleh orang awam biasa (Putujana), ti-dak harus oleh seorang bhikkhu ataupun orang yang mengkhususkan diri dalam hidup me-nyendiri (celibat). Orang dengan kemampuan Iddhi tadi bukan berarti ia telah menjadi suci. Tenaga atau kemampuan batin bukanlah ukuran kesucian seseorang. Sekali lagi Sdr/i, te-naga atau kemampuan batin bukanlah ukuran kesucian seseorang. Mengapa demikian? Karena dengan memiliki kemampuan batin ini, bisa saja seseorang malahan menjadi kotor atau mundur batinnya. Oleh karena itu, Sang Buddha tidak memperkenankan para bhikkhu yang telah memiliki tenaga batin seperti ini untuk dipamerkan. Di jaman Sang Buddha, YA. Moggallana adalah siswa utama Sang Buddha yang memiliki tenaga batin luar biasa, tetapi Sang Buddha tetap melarangnya ketika ia akan menggunakan kemampuan batinnya ini un tuk sesuatu yang masih bisa diatasi dengan cara biasa.
Jadi Sdr/i sekalian, di dalam Buddha Dhamma, pemilikan tenaga dalam atau tenaga batin ini bukanlah merupakan tujuan akhir. Itu hanya merupakan hasil sampingan. Karena itu orang jangan sampai terpukau oleh berbagai kemampuan tersebut sehingga lupa pada tujuan utamanya yaitu merealisasi Nibbana. Apalagi kalau tenga batin ini dikomersilkan, tentu ini adalah suatu tindakan yang tidak pada tempatnya. Memang Sdr/i, banyak orang yang mengembangkan tenaga batin atau tenaga dalam ini untuk tujuan komersil. Hal ini su dah tidak aneh. Tentu, banyak sekali jalan atau cara untuk mencari nafkah, tetapi menga-pa ada juga yang mencari nafkah melalui jalur kemampuan batin ini? Jawabannya tentu Sdr/i sudah dapat menduga sendiri.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, seseorang yang dapat mencapai tingkat mendi-tasi hingga memiliki Jhana-Jhana berarti mendapat suatu hasil dari perbuatan baik yang bobotnya tinggi atau Kusala Garuka Kamma. Jadi, bisa memiliki tenaga batin juga bukan berarti sesuatu yang berkonotasi negatif. Di dalam Dhammapada diceritakan bahwa YA. Moggallana yang memiliki kekuatan batin berhasil mempengaruhi orang kaya raya yang sa ngat kikir untuk menghadap Sang Buddha mendengarkan wejangan Dhamma hingga orang tersebut menjadi sadar dan menjadi seorang dermawan yang hidupnya bahagia. Se-lain itu juga diceritakan bahwa ketika Sang Buddha baru saja merealisasi Nibbana, dengan kemampuan batinNya Beliau mengunjungi ibuNya di alam surga Tusita guna mengajarkan Dhamma. Demikian pula YA. Moggallana yang dengan kemampuan batinnya mengunjungi ibunya yang terlahir di alam neraka Avici dan berusaha memberikan pengertian kepada ibunya agar berkurang penderitaannya.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, orang yang banyak inngin tahu dengan dunia te-naga dalam ini, hendaknya agar berhati-hati apabila terjun ke bidang ini. Sebab, banyak hal-hal yang masih gelap untuk diungkapkan yang kita sendiri masih tidak tahu sehingga dapat menjerumuskan kita ke dalam penderitaan. Kita tentu telah mengenal sejarah men-jelang kejatuhan kerajaan Singasari di Jawa Timur pada abad ke XII Masehi. Karena kesa-lahan Raja Kertanegara dalam melakukan tindakan ritual mistik yang menjurus pada tena-ga dalam, yang tidak lagi membahas ajaran agama yang sebenarnya, akhirnya kerajaan runtuh dan hancur. Jadi sekali lagi kita renungkan bersama-sama bahwa Buddha Dhamma tidak mengajarkan hal-hal tentang tenaga dalam, biarpun tenaga itu akan muncul sebagai hasil samping dari suatu kemajuan latihan konsentrasi atau Samadhi.
Sdr/i seDhamma, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yang berjudul ‘Kemampuan Gaib Ditinjau dari Buddha Dhamma’. Semoga kita se-mua, terutama kaum muda yang berminat menekuni bidang ini, hendaknya merenungkan kembali manfaatnya sebelum terjadi salah pandangan sehingga menjerumuskan diri sen-diri. Terimakasih.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia.
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
____________________
Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

KEKUATAN DHAMMA

KEKUATAN DHAMMA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
ATTÄ HI ATTANO NÄTHO.
Diri sendiri merupakan pelindung bagi diri sendiri.
Khuddakanikäya Dhammapadagäthä.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita bersama-sama membaca Paritta dan juga bermeditasi sejenak, maka marilah sekarang kita arahkan perhatian kita guna mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Kekuatan Dhamma’.
Jadi, sekali lagi, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Kekuatan Dhamma’.
Sdr/i yang berbahagia, sekarang kita telah memasuki tahun 2000 atau yang sering disebut-sebut sebagai abad millennium yang ketiga. Padahal, sesungguhnya millennium yang ketiga baru akan dimulai pada tanggal 1 Januari tahun 2001. Tetapi, kapanpun millennium itu disepakati untuk dimulai, sesungguhnya, yang namanya perubahan-perubahan terus saja terjadi dan mengalir sejak saat ini, bahkan setiap saat.
Menurut Dhamma, kesunyataan atau kebenaran, sifat dari kehidupan bahkan sifat dari segala sesuatu adalah perubahan dan perubahan. Adalah sangat salah, jika kita berpikir bahwa perubahan itu baru akan mendadak terjadi setelah kita memasuki tahun 2000 atau bahkan pada tahun 2001. Perubahan tidak pernah berhenti, melainkan terus terjadi. Itulah sifat kehidupan kita.
Abad ini, yang ditandai dengan berbagai penemuan, penggunaan teknologi, juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, sangat sering pertanda ini digunakan untuk menandai kemajuan. Berkembangnya iptek secara luas, banyak dirasakan orang dengan ungkapan kemajuan, kemudahan, kenyamanan, bahkan keberhasilan.
Meskipun demikian, marilah kita merenung dengan pikiran yang jernih dan bersama-sama bertanya kepada diri kita, kemudian menjawab dengan jujur, apakah kemajuan, kemudahan, bahkan keberhasilan yang kita lihat sekarang di seantero pelosok dunia membuat kehidupan ini benar-benar lebih bahagia, kesulitan-kesulitan berkurang, penderitaan menjadi lebih sedikit, ketegangan, persoalan-persoalan kehidupan menjadi semakin ringan? Jawabnya hampir semua orang mengatakan “TIDAK”.
Hal itu memang tidak mengherankan, karena iptek, meskipun amat membantu, tetapi harus diingat, iptek dan peralatan yang dihasilkan dan kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada kita semata-mata hanya berhubungan dengan materi. Dalam kehidupan ini, Dhamma mengingatkan kita, bahwa kita memang membutuhkan materi untuk kelangsungan hidup kita, untuk keluarga kita, demikian juga untuk masyarakat, untuk bangsa dan negara ini. Tetapi, yang harus diingat adalah materi bukanlah segala-galanya. Pada saat-saat tertentu kita akan merasakan atau bahkan melihat materi tidak bisa berbuat banyak.
Dalam suasana yang sedemikian kempleks, persaingan yang demikian keras dan terbuka, persoalan-persoalan juga bergolak dengan lebih pelik. Menghadapi hal-hal dan persoalan yang mungkin muncul dengan seribu satu macam warna di masyarakat maupun di ke-luarga kita masing-masing, manusia acapkali merasa lelah, seolah-olah sudah tidak mampu lagi menghadapi, sudah kehabisan jalan, kehabisan semangat untuk bertahan karena persoalan-persoalan itu akan sangat membebani kita.
Hal tersebut tidak mengherankan, bisa kita maklumi bersama, karena semangat kita pada suatu saat akan sangat kuat dan di saat lain akan sangat lemah. Pada saat kita lemah kita memerlukan kekuatan, manusia memerlukan perlindungan untuk menghadapi persoalan-persoalan yang datang silih berganti. Dalam keadaan yang seperti itu, manusia mencari pertolongan, perlindungan, kekuatan, dan terus mencari di mana pun juga untuk bisa segera terlepas dari beban yang terasa menghimpit. Mereka mungkin pergi ke tempat-tempat keramat, ke tempat pemujaan yang dianggap ampuh, ke gunung-gunung yang besar, menuju kekuatan-kekuatan alam yang dianggap mampu memberikan kekuatan kepada dirinya untuk mengatasi dan menghadapi persoalan kehidupan yang berat itu.
Berkenaan dengan hal tersebut, umat Buddha sebenarnya sudah dibekali dengan per-lindungan, yaitu sejak awal seseorang mengenal ajaran agama Buddha dan kemudian menerimanya dengan kesadaran dan pengertian, maka sejak awal orang ini kemudian menyebut, menyatakan dengan kesungguhan, “Aku berlindung kepada Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha”.
Saat pertama kali seseorang mengucapkan aku berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha dengan sadar dan mengerti apa yang diucapkan, pada saat itulah ia sebagai seorang umat Buddha, ia sudah menjadi umat Buddha, sekalipun tanpa upacara yang resmi, tanpa penahbisan, pemercikan air, dan sebagainya. Perlindungan kepada Tiratana yang di-ucapkan dengan sadar dan mengerti artinya, membuatnya menjadi seorang umat Buddha.
Tetapi, benarkah kita sudah dilindungi atau bagaimanakah kita berlindung, dengan mengucapkan aku berlindung kepada Tiratana: Buddha, Dhamma, dan Sangha? Apakah su-dah benar aku dilindungi dari segala macam kesulitan, kesusahan, penderitaan, dan segala macamnya?
Jawabnya adalah “YA, untuk sementara”. Seseorang yang telah menyatakan berlin-dung kepada Tiratana secara kejiwaan (psikologis), berarti dia telah mempunyai perlindungan, yaitu perasaannya menjadi puas. Perlindungan seperti itulah yang mungkin boleh diistilahkan sebagai perlindungan emosional. Emosi yang mendapat perlindungan. Timbullah rasa mantap dan aman. Aman secara psikologis. Inilah yang disebutkan sebagai “YA” orang yang menyatakan berlindung kepada Tiratana, dia merasa mempunyai perlindungan sementara.
Tetapi, menyatakan berlindung kepada Tiratana saja, kemudian seseorang merasa mendapat perlindungan, bukanlah cara berlindung yang sesungguhnya dan bukan cara yang benar. Berlindung dengan cara seperti itu, hanya bisa memberikan kepuasan emosional, tidak menyelesaikan penderitaan, tidak mengurangi persoalan yang menghimpit, hanya melegakan emosi kita. Lalu, siapakah sesungguhnya Tiratana itu? Siapakah Buddha, Dhamma, dan Sangha?
Buddha, Dhamma, dan Sangha sesungguhnya mempunyai ‘inti’, yaitu kesadaran agung. Karena kesadaran agung, Bodhisatta Siddharta mencapai penerangan sempurna menjadi Buddha. Dhamma mengajarkan kesadaran agung yang harus kita latih dan pupuk untuk menyadari proses fenomena kehidupan kita, perasaan, pikiran, dan kehidupan kita ini. Sedangkan Sangha adalah batin mereka yang telah mencapai kesucian, kebebasan dari penderitaan secara total, karena telah mengembangkan kesadaran agung tersebut.
Pada suatu ketika, Bhikkhu Paññavaro memberikan sebuah buku kepada seorang pejabat tinggi. Buku tentang meditasi. Bhikkhu Paññavaro menjelaskan bahwa buku ini sangat baik.” Meskipun sudah lebih dari 20 tahun saya menjadi bhikkhu; saat membaca buku ini, saya mendapatkan pengetahuan yang sangat berharga” kata beliau. Kemudian pejabat ini bertanya kepada beliau,”Bhante, kalau boleh saya mengetahui, apakah yang menjadi kata kunci ajaran agama Buddha?”
Suatu pertanyaan yang sederhana, tetapi menantikan jawaban yang tidak sederhana. Kemudian Bhikkhu Paññavaro menjawab,”Kata kunci seluruh ajaran agama Buddha adalah pengertian yang benar serta lengkap. Itulah kata kunci ajaran agama Buddha”.
Kesulitan dan penderitaan menurut hukum alam yang universal, pasti muncul dan berkembang karena ada kondisi dan sebab-sebab yang mengakibatkan kesulitan, persoalan, ketegangan, bahkan penderitaan dan kesengsaraan dapat muncul dan menjadi beban kita.
“Tidak ada fenomena” demikianlah kalimat mudah yang muncul mendadak begitu saja, seolah-olah seperti hadiah atau hukuman dari langit. Sebenarnya tidak demikian, segala yang kita alami di dalam kehidupan ini muncul karena sebab-sebab, kondisi-kondisi, faktor-faktor yang mendahului, yang membuat, yang mengakibatkan semua fenomena, kejadian yang kita alami dalam kehidupan ini muncul dan kita rasakan.
Sekarang, jika kita menggunakan kesadaran kita, kewaspadaan, dan kejelian kita, mengamati gerak-gerik pikiran dan perasaan kita yang setiap hari dirangsang, ditarik-tarik, digoda-goda oleh nafsu, kenikmatan, kebencian, oleh hal-hal yang menarik, menjemukan, dan sebagainya. Kemudian perasaan dan pikiran kita bergerak; kita ingin demikian, kita ingin seperti itu, kita ingin begini dan begitu, Kita merencanakan, dan kemudian kita melakukannya. Itulah sesungguhnya awal munculnya segala macam persoalan kehidupan ini.
Adalah sangat benar, dalam khotbah-Nya yang pertama, sebelum Sang Buddha me-mulai pengabdian 45 tahun-Nya kepada dunia ini, Beliau menyampaikan dengan jelas dan terang sekali “Penderitaan ini disebabkan oleh nafsu keinginan”.
Dalam menganalisa penderitaan manusia, Sang Buddha tidak pernah melibatkan apalagi menarik-narik makhluk halus dan makhluk-makhluk lainnya dari atas langit sebagai pe-nyebab penderitaan. Tidak pernah. Penderitaan ini 100% disebabkan oleh nafsu keinginan kita. Tetapi, sekarang timbul pertanyaan, jika nafsu keinginan dapat mengakibatkan penderitaan; maka nafsu keinginan harus dikurangi. Dengan demikian, penderitaan tentu dapat berkurang.
Nah, Jika demikian, apakah kita tidak boleh mempunyai keinginan? Apakah kita tidak boleh maju? Karena, jika kita mempunyai keiniginan, maka kita akan menderita. Sdr/i, yang menjadi masalah sesungguhnya bukan keinginan, melainkan racun yang mengotori keinginan kita, yang membuat keinginan itu menumbuhkan dan mengakibatkan penderitaan, kesulitan, persoalan yang sambung menyambung, dan kesengsaraan yang tiada habisnya.
Kita tidak dilarang untuk mempunyai keinginan, tetapi marilah kita mewaspadai keinginan kita itu, kemudian kita panggil semua pengertian kita, lalu pertimbangkanlah semua keinginan itu dengan pengertian yang benar dan lengkap. Dengan demikian, keinginan itu tidak akan membuat kita tersiksa dan menderita pada saat timbul perasaan senang dan tidak senang, pada saat pikiran kita ingin demikian, ingin begini dan begitu.
Nanti dulu ….
Sekarang kita periksa keinginan itu dengan pengertian kita yang lengkap. Apakah keinginan itu benar-benar berguna atau bermanfaat? Memang benar bermanfaat! Tetapi apakah saya mempunyai kemampuan untuk melaksanakan keinginan itu? Sebab, meskipun keinginan itu benar dan bermanfaat, tetapi tidak adanya kemampuan yang cukup untuk melaksanakan keinginan itu, maka akan mengakibatkan kesulitan dan penderitaan juga.
Ada seseorang yang sudah tua, mungkin sudah berusia 60 lebih, rambutnya pun su-dah memutih. Namanya Pak Kardi, ia tinggal di desa, mungkin hanya lulusan sekolah dasar; menulis tidak pandai, usia sudah lanjut, pengetahuan tidak banyak. Ia bukan pemimpin partai, tidak aktif di partai. Tetapi karena rajin membaca koran dan menonton televisi, suatu ketika muncullah keinginan di dalam pikirannya.,”Akh, aku ingin ikut berbakti, mengabdi kepada negara ini, aku juga ingin jadi presiden. Nanti pada saat Sidang Umum MPR, aku akan pergi ke Senayan dan mencalonkan diri”.
Keinginan menjadi presiden memang baik, tidak salah. Motivasi pikirannya juga benar tetapi tentu Pak Kardi tidak mengukur kemampuan dirinya. Karena ia sudah pasti tidak mampu menjadi presiden, memimpin bangsa dan negara ini. Jika hal ini tidak disadari, dan dilaksanakan dengan membabi buta, maka akan mengakibatkan penderitaan. Ini adalah contoh yang ekstrim.
Contoh lain yang riil dalam kehidupan kita, suatu ketika timbullah keinginan untuk mempunyai rumah dan kendaraan yang lebih mewah. Memang, ini bukanlah tindak kejahatan, tetapi mampukah kita melaksanakannya sekarang? Dengan menempuh segala cara? Ingat, suatu keinginan yang tidak sesuai dengan kondisi atau kemampuan akan menjadi sumber/sebab penderitaan.
Anak-anak yang bersekolah, melihat dan belajar komputer, melihat temannya mengendarai motor. Kemudian mereka pulang ke rumah dan meminta kepada orang tuanya untuk dibelikan komputer dan sepeda motor. Memang sebagian orang mungkin mampu, tetapi sebagian keluarga kita di daerah-daerah tidak mempu meluluskan permintaan anak mereka.
Anak ini tidak pernah mendapat pelajaran mengendalikan diri. Bukan melepaskan te-tapi mengendalikan keinginan, mengendalikan diri. Tidak pernah. Yang ia tahu, ia marah karena orang tuanya tidak membelikan kemputer atau motor yang sudah ia rasakan kenyamanannya. Kemudian keinginannya ini mengakibatkan penderitaan. Bukankah begitu? Seseorang mungkin menginginkan pasangan yang cocok, tetapi ia tidak mendapatkannya. Ini adalah penderitaan. Jika mendapatkan pasangan yang sesuai, alangkah bahagianya, tetapi setelah 5 tahun, kebosanan mulai menghinggapi dan timbul keinginan mencari pasangan yang baru, kemungkinan pasangan yang tidak resmi. Keinginan ini jika dituruti akan menimbulkan penderitaan, kesulitan, dan masalah yang tidak ringan.
Bukankah demikian penderitaan dan kesulitan yang datang kepada kita? Oleh karena itu, marilah kita gunakan kesadaran, kewaspadaan, kejelian kita, untuk mengamati gerak-gerik keinginan kita. Jikalau timbul keinginan ini atau itu, sekalipun keinginan yang baik dan bermanfaat, marilah kita panggil segala pengertian kita, kemudian kita saring dan seleksi, apakah keinginan ini sesuai untuk saya?
Jika saudara menggunakan kesadaran dan pengertian yang lengkap maka keinginan yang timbul itu akan terseleksi dan terpilih sehingga tidak mengakibatkan penderitaan, ke-sengsaraan, kesulitan, tekanan mental yang datang tidak henti-hentinya.
Mengerti penderitaan, berakar atau timbul dari keinginan yang belebihan, keinginan yang berlanjut dan tidak benar. Kemudian kita mengerti dan menggunakan kesadaran kita serta mempertimbangkan semua keinginan dengan pengertian yang lengkap. Itulah berlindung yang benar kepada Tiratana.
Berlindung dengan cara demikian akan memberikan kekuatan Dhamma kepada kita. Kekuatan untuk mengurangi dan menyelesaikan penderitaan, kekuatan untuk tidak membuat penderitaan baru dengan mewaspadai, mengamati, dan menyadari gerak-gerik keinginan kita, kemudian kita panggil pengertian kita untuk memberi pertimbangan dan kemudian membuat keputusan. Dengan demikian, keinginan kita akan sesuai di Jalan Dhamma. Keinginan yang membawa kita maju, sejahtera, bahagia, tetapi bukan keinginan yang mengakibatkan penderitaan, beban mental, kesulitan, ketegangan, dan kesengsaraan yang tiada habis-habis-nya.
Sekali lagi, mari kita renungkan, bukan makhluk halus ataupun makhluk dari langit yang membuat kita menderita. Lalu dikatakan terkena cobaan atau hukuman, bukan itu, melainkan keinginan yang sembrono, yang tidak terkendali dan tidak dipertimbangkan karena tidak ada kesadaran dan kewaspadaan. Kemudian keinginan itu kita turuti, merambah, berkembang dan mengakibatkan penderitaan.
Mengerti hal ini dengan terang dan jelas adalah cara yang benar untuk menyelesaikan penderitaan. Inilah berlindung yang benar kepada Sang Tiratana. Oleh karena itu, tidak cukup kita menyatakan dengan sepenuh hati aku berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, tetapi menggunakan kesadaran, mengamat-amati, pikiran dan keinginan kita kemudian memanggil pengertian untuk memberikan pertimbangan dan keputusan, itulah cara untuk mengakhiri penderitaan, setidak-tidaknya untuk mengurangi penderitaan dan persoalan dalam kehidupan ini. Itulah jalan keluar dan kekuatan yang amat besar yang diberikan oleh Guru Agung kepada kita: berlindung yang benar kepada Tiratana, seseorang akan melihat penderitaan, penyebab derita, jalan untuk melenyapkan derita, dan dengan berlindung yang benar ini, semua penderitaan akan lenyap/terhenti.
Sdr/i, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini, yaitu yang berjudul ‘Kekuatan Dhamma’. Jika di antara Sdr/i ada yang ingin bertanya tentang makalah ini, kami persilakan mendiskusikan bersama-sama setelah selesainya kebaktian ini. Teimakasih!
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk berbahagia!
Sädhu! Sädhu! Sädhu!
____________________
Sumber Acuan:
Khotbah Bhikkhu Paññavaro.

Dibacakan pada tanggal:


Ayat Dhammapada.

BUMI DAN MANUSIA

KEJADIAN BUMI DAN MANUSIA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah membaca Paritta dan bermeditasi, maka marilah sekarang kita bersama-sama mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma yang pada hari ini berjudul ‘Kejadian Bumi dan Manusia’. Sekali lagi, judul pembahasan dan pere-nungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Kejadian Bumi dan Manusia’.
Sdr/i seDhamma, setelah kita mempelajari dan mengetahui tentang alam semesta dan tatasurya, sekarang bagaimanakah menurut agama Buddha tentang terjadinya bumi dan manu-sia? Sdr/i, terjadinya bumi dan manusia menurut pandangan Buddhis merupakan konsep yang sangat unik dan menarik sekali untuk dipelajari. Mungkin sebagian besar dari umat Buddha belum mengetahui tentang ajaran dalam agama Buddha tentang kejadian bumi dan manusia yang pertama. Apakah Sang Buddha juga mengajarkan hal tersebut? Itulah kira-kira pertanya-an mereka dalam diri masing-masing. Semua itu dikarenakan kita tidak pernah mendengar atau bahkan tidak ada yang menceritakan kepada umat tentang terjadinya bumi dan manusia yang pertama. Hal itu disebabkan karena sangat sulit untuk menyampaikannya bagi si pence-rita dan sangat sulit bagi si pendengar untuk menerimanya. Mengapa? Sebab, kita sudah terbi-asa dengan hal-hal yang sangat mudah untuk diterima dan dicerna dalam otak/pikiran kita.
Sdr/i, kejadian bumi dan manusia menurut pandangan Buddhis adalah berlangsung da-lam proses yang lama sekali, yang sesuai dengan Dhammaniyama. Proses kejadian ini meru-pakan suatu proses evolusi namun bukan seperti teori evolusi dari Charles Darwin. Hal ini da-pat kita lihat pada uraian berikut nanti. Manusia yang mula-mula muncul di bumi ini adalah banyak. Kejadian bumi dan manusia yang muncul mula-mula di bumi ini, diuraikan oleh Sang Buddha dalam beberapa khotbah Beliau antara lain: Brahmajala Sutta, Patika Sutta, dan Aganna Sutta dari Digha Nikaya. Tetapi, pada kesempatan ini hanya uraian dalam Aganna Sutta yang akan dikutip yang merupakan keterangan Sang Buddha kepada Vasettha. Uraian tersebut adalah sebagai berikut:
“…………………………………………………………………………………………………….
Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah selang suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur, dan bilamana hal ini terjadi, umumnya makhluk-makhluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya), di sana mereka hidup dari cip-taan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup secara demikian dalam masa yang lama sekali.
Vasettha, terdapat juga suatu saat, cepat atau lambat, setelah selang suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini mulai terbentuk kembali, dan ketika hal ini terjadi, makhluk-makhluk yang mati di Abhassara (alam cahaya), biasanya terlahir kembali di sini sebagai manusia. Mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiur-an, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam keme-gahan. Mereka hidup secara demikian dalam masa yang lama sekali.
Pada waktu itu semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bu-lan yang tampak, tidak ada bintang-bintang atau konstelasi-konstelasi yang kelihat-an, siang maupun malam belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum ada, tahun maupun musim-musim belum ada, laki-laki maupun perempuan belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk saja.
Vasettha, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali bagi makhluk-makhluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikian-lah munculnya tanah itu. Tanah itu mempunyai warna, bau, dan rasa. Sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tanah itu, sama seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya tanah itu.
Kemudian Vasettha, di antara makhluk-makhluk yang memiliki pembawaan sifat sera-kah (lolajatiko) berkata:’O, Apakah ini?’ dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk da-lam dirinya. Dan makhluk-makhluk yang lain mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari mereka. Dengan mencicipinya, maka mereka diliputi oleh sari tanah itu, dan nafsu keinginan masuk ke dalam diri mereka. Maka makhluk-makhluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh makhluk-makhluk itu menjadi lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak. Demikian pula dengan siang dan malam, bulan dan pertengahan bulan, musim-musim dan tahun-tahun pun terjadi. Demikianlah Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.
Vasettha, selanjutnya, makhluk-makhluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hi-dup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasar-kan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan ter-wujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah pada mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk, dengan berpikir:’Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita’. Sementara mereka bangga akan keindahan mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka sari tanah itu pun lenyap. Dengan lenyapnya sari tanah itu, mereka berkumpul bersama-sama dan meratapinya:’Sayang lezatnya! Sayang lezatnya!’ Demikian pula sekarang ini, apabila orang menikmati rasa enak, ia akan berkata:’Oh, lezatnya! Oh, lezatnya!’ sesungguhnya yang mereka ucapkan ini hanyalah mengikuti ucapan mereka masa lampau, tanpa mereka mengetahui makna dari kata-kata itu.
Kemudian Vasettha, ketika sari tanah lenyap bagi makhluk-makhluk itu, muncullah tumbuh-tumbuhan dari tanah (bhumi pappatiko). Cara tumbuhnya adalah seperti tum-buhnya cendawan. Tumbuhan ini mempunyai warna, bau, dan rasa, seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tumbuhan itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya tumbuhan itu. Kemudian makhluk-makhluk itu mulai makan tumbuh-tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut. Mereka menikmati, men-dapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka berkembang menjadi lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan, karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah pada mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk dengan berpikir:’Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita’. Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul, dan cara tumbuhnya adalah seperti bambu. Tumbuhan ini memiliki warna, bau, dan rasa; sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tumbuhan itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya tumbuhan itu.
Kemudian Vasettha, makhluk-makhluk itu mulai makan tumbuhan menjalar tersebut. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar ter-sebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak in-dah dan sebagian nampak buruk. Dan, karena keadaan ini, maka mereka yang memi-liki bentuk tubuh indah memandang rendah pada mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk dengan berpikir:’Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripa-da kita’. Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap. Dengan lenyapnya tumbuhan menjalar itu, mereka berkumpul bersama-sama dan meratapinya:’Kasihan-ilah kita, milik kita hilang!’ Demikian pula sekarang ini, bilamana orang-orang dita-nya apa yang menyusahkan mereka, maka mereka menjawab:’Kasihanilah kita! Apa yang kita miliki telah hilang!’ sesungguhnya yang mereka ucapkan itu hanyalah mengikuti ucapan pada masa lampau, tanpa mengetahui makna dari kata-kata itu.
Kemudian Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap bagi makhluk-makhluk itu, muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak dalam alam terbuka (akattha pako), tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Bilamana pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, maka keesokan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bilamana pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali; demikian terus menerus padi itu muncul.
Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbu-ka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbeda-an bentuk tubuh mereka tampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan tentang keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan kea-daan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indera yang membakar tubuh mereka. Dan, sebagai akibat dari adanya nafsu indera tersebut, mereka mela-kukan hubungan kelamin (methuna).
……………………………………………………………………………………………………”.
Sdr/i, itulah tadi sebagian dari sabda Sang Buddha dalam Aganna Sutta yang mene-rangkan tentang kejadian bumi dan manusia pertama. Dari uraian tadi jelaslah bahwa menurut agama Buddha, bumi kita yang sekarang ini adalah bumi yang kesekian kalinya terjadi. Dan, pada saat bumi ini hancur, makhluk-makhluk yang ada di bumi ini pada umumnya terlahir kembali di alam brahma Abhassara atau alam cahaya. Dan, setelah dunia ini terbentuk kemba-li, makhluk-makhluk yang ada di alam brahma Abhassara yang mati, terlahir kembali di alam manusia. Mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya).
Pada waktu itu bumi kita terdiri dari air dan gelap gulita, belum ada matahari yang nampak, bulan juga belum nampak, siang dan malam juga belum ada. Belum mengenal tahun, belum mengenal musim, dan juga belum ada laki-laki dan wanita. Makhluk yang ada di bumi hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja. Setelah dalam waktu yang lama sekali sari ta-nah muncul dari dalam air, dan di antara makhluk-makhluk yang memiliki pembawaan sifat serakah (berarti jumlah makhluk lebih dari satu) tergiur oleh sari tanah tersebut dan mencicip-inya. Dan, sebagian makhluk yang lainnya ikut-ikutan menikmati sari tanah tadi. Dengan per-buatan mereka ini maka sari tanah masuk dalam diri mereka serta nafsu keinginan timbul da-lam diri mereka. Dan setelah kejadian itu cahaya pada tubuh mereka hilang/lenyap, dan de-ngan lenyapnya cahaya dari tubuh mereka maka matahari, bulan, dan bintang-bintang mulai nampak.
Setelah memakan waktu yang lama sekali, makhluk-makhluk tadi bentuk tubuh mere-ka menjadi padat dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Kemudian di bumi ini seca-ra bergantian, dalam waktu yang lama, muncul berbagai jenis tumbuhan yang semakin mema-datkan bentuk tubuh makhluk-makhluk dan perbedaan jenis makhluk-makhluk tersebut men-jadi lebih jelas lagi, sampai pada jenis kelamin mereka. Demikianlah kejadian bumi dan manusia menurut agama Buddha. Dan, dari uraian tadi, kita juga dapat mengetahui bahwa ke-merosotan moral sudah ada sejak manusia yang mula-mula muncul di bumi ini. Akibat moral buruk yang berkembang, maka pisik manusia pun berubah. Memang, secara alamiah perkem-bangan evolusi manusia dan bumi adalah biasa, namun hal tersebut berbeda bila dilihat dari aspek moral.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yang berjudul Kejadian Bumi dan Manusia. Semoga dengan diuraikannya penjelasan ini, maka kita semua menjadi mengerti dan menjadi lebih berbahagia. Dan, bila di antara Sdr/i ada yang ingin bertanya tentang makalah ini, maka kami persilakan untuk men-diskusikan bersama-sama setelah kebaktian ini selesai. Terima kasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-

KEINDAHAN

KEINDAHAN

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
KODHANO DUBBANNO HOTI.
Seseorang yang suka marah akan memiliki penampilan yang buruk.
Avguttaranikaya Sattakanipata.

Sdr/i seDhamma sekalian, setelah kita bersama-sama membaca Paritta dan bermeditasi, marilah sekarang kita bersama-sama mengarahkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengada-kan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Keindahan’. Jadi sekali lagi, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Keindahan’.
Sdr/i sekalian, dalam kehidupan manusia pada umumnya, semua orang rata-rata pasti mencintai keindahan. Di mana ada keindahan, pasti menarik perhatian orang yang melihatnya. Dan dari perhatian, lalu timbul kekaguman, dan dari kekaguman ini maka timbullah kecende-rungan untuk menikmati keindahan tersebut terus menerus. Namun, meskipun setiap orang pada umumnya menyukai keindahan, ternyata nilai suatu keindahan adalah relatif bagi setiap orang. Artinya, sesuatu yang dianggap indah oleh seseorang, belum tentu dianggap indah oleh orang lain.
Sdr/i sekalian, jika demikian, maka darimanakah kita ini dapat melihat suatu keindahan? Umumnya, keindahan itu dilihat oleh mata terhadap suatu obyek benda. Misalnya orang cende-rung mempergunakan perhiasan untuk mempercantik diri, menggunakan berbagai asesoris untuk memperindah rumah, dan lain-lain. Semua alat bantu ini dipergunakan orang untuk membuat se-suatu menjadi lebih indah. Nah, keindahan yang demikian ini dapat digolongkan sebagai kein-dahan perhiasan.
Selanjutnya, selain perhiasan, manusia juga cenderung untuk membanggakan keindahan jasmaninya. Keindahan jasmani ini dapat berupa bentuk tubuh yang menarik, tidak terlalu gemuk atau terlalu kurus, tidak terlalu tinggi atau terlalu pendek; kemudian memiliki warna kulit yang menarik dan halus, mempunyai bentuk gigi yang indah, rambut yang bersih dan menarik, dan se-bagainya. Nah, keindahan yang semacam ini disebut sebagai keindahan jasmani.
Lalu, selain keindahan perhiasan dan keindahan jasmani, keindahan seorang manusia ju-ga dapat dilihat dari perilakunya sehari-hari. Mereka yang berperilaku baik, sopan santun dan ra-mah tamah, pasti akan menarik perhatian orang lain. Ucapan yang baik dan ramah dapat membu-at orang lain tertarik dengan kepribadian orang tersebut. Inilah yang disebut sebagai keindahan perilaku.
Sdr/i sekalian, selanjutnya, keindahan lain dari seseorang adalah yang disebut sebagai ke-indahan batin. Orang yang indah batinnya adalah mereka yang berhati baik, suka menolong, mencintai semua makhluk, dan sebagainya atau singkatnya adalah mereka yang mengembangkan ‘Brahma Vihara’.
Nah, Sdr/i yang berbahagia, dari keempat jenis keindahan ini, keindahan batin adalah yang paling terutama dan terpenting. Perhiasan sering digunakan hanya untuk menutupi kejelek-an-kejelekan jasmani. Demikian pula keindahan jasmani ternyata tidak mencerminkan keindahan perilaku. Banyak orang yang memiliki jasmani yang menarik tetapi perilakunya buruk. Oleh se-bab itu, keindahan perilaku adalah yang lebih baik daripada keindahan perhiasan dan keindahan jasmani. Akan tetapi, sering kali perilaku yang baik hanya dibuat-buat untuk menutupi sifatnya yang jelek. Oleh karena itu, keindahan yang terbaik adalah keindahan batin. Keindahan batin ti-dak dapat ditutupi dengan keindahan-keindahan lainnya. Keindahan batin tidak dapat dibuat-buat.
Sdr/i sekalian, dari cerita yang telah diuraikan tadi, kita dapat menarik kesimpulan bahwa keindahan yang paling mudah kita lihat adalah keindahan terluar, yaitu keindahan perhiasan. Jika perhiasannya ditinggalkan, maka yang nampak adalah keindahan jasmani. Dan jika keindahan jasmani ini juga diabaikan, maka kita akan melihat keindahan perilaku. Sedangkan keindahan yang paling halus, adalah keindahan batin. Yaitu keindahan yang dapat bertahan lebih lama dari-pada keindahan-keindahan lainnya yang hanya bersifat sementara.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, Sang Buddha, guru agung kita yang maha sempurna, mengajarkan bahwa keindahan seseorang dapat dikembangkan dengan jalan memiliki Dua Dhamma yang indah, yaitu yang disebut ‘Khanti’ dan ‘Soracca’. Khanti adalah kesabaran. De-ngan perkataan lain, Khanti berarti dapat menahan diri secara wajar pada saat menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam Buddha Dhamma, Khanti ini dibedakan menjadi dua macam.
1. Adhivasasana Khanti
Yaitu kesabaran jasmani. Artinya, walaupun jasmani merasa kecapaian, merasa sakit, lapar atau haus, kita tetap sabar dan dapat menahan diri untuk tidak berteriak, mengerang, ataupun mengeluh. Kita selalu berusaha agar apa yang terjadi pada jasmani tidak membawa pengaruh yang negatif pada batin.
2. Titikkhana Khanti
Yaitu kesabaran batin. Artinya, orang yang memiliki Titikkhana Khanti akan tetap memiliki kesabaran walaupun ia dihina, dimaki atau dimarahi. Titikkhana Khanti merupakan kelanjut-an dari melatih Adhivasasana Khanti.
Sdr/i sekalian, demikianlah penjelasan tentang dua macam Khanti, selanjutnya mengenai Soracca, artinya adalah sikap yang tenang, yaitu tetap melakukan pekerjaan seperti biasa walau-pun ada hal-hal yang tidak menyenangkan. Walau mengalami gangguan, jika batin tetap tenang maka tindakan-tindakan jasmanipun akan tetap tenang dan damai, perkataannya akan tetap ra-mah dan manis didengar. Demikianlah yang dimaksud dengan Soracca.
Sdr/i sekalian, dengan memiliki Khanti dan Soracca, seseorang akan tetap memiliki kein-dahan batin dan perilaku. Keindahan ini akan bertahan lama jika selalu dikembangkan. Dalam menghadapi situasi yang bagaimanapun, orang yang memiliki Khanti dan Soracca akan tetap menarik dan dikagumi oleh setiap orang. Oleh sebab itu, berusahalah untuk tetap memiliki kein-dahan batin ini.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita yang cukup singkat pada hari ini, dan semoga dengan demikian kita semua menjadi selalu menyadari makna dan hakekat dari keindahan ini demi kebahagiaan kita semua. Terimakasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta; semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
___________________

Dipetik dari Dhammavibhanga.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

KECIL BUKAN SEPELE

KECIL BUKAN BERARTI SEPELE

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
MÄVAMAÑÑETHA PÄPASSA - NA MAÇ TAÇ AGÄMÍSSATI.
Janganlah meremehkan kejahatan, walaupun itu kecil sekali.
Khuddakanikäya Dhammapadagäthä.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah membaca Paritta dan bermeditasi sejenak, marilah sekarang kita arahkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Kecil Bukan Berarti Sepele’. Sekali lagi Sdr/i, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Kecil Bukan Berarti Sepele’.
Sdr/i seDhamma sekalian, seperti yang sudah kita ketahui, bahwa pada umumnya, kalau ada sebuah benjolan kecil yang terdapat pada salah satu bagian dari tubuh kita, biasa-nya bisa merupakan suatu kanker ganas. Semua orang yang tahu hal itu, pasti tidak akan me-remehkan tumor kecil tersebut dan segera akan memeriksakan dirinya pada seorang dokter. Dalam hal ini, dokter tersebut akan memperlakukannya dengan serius, terkecuali setelah ke-mudian jelas terbukti bahwa tumor itu tidak ganas. Jadi, memang sesuatu yang kecil itu tidak seharusnya dianggap sepele. Hal ini juga seperti peribahasa yang mengatakan bahwa dengan nila setitik dapat merusak susu sebelanga.
Sdr/i seDhamma sekalian, demikian pula di dalam istilah umum masyarakat kita ini, manusia katanya mengenal adanya dosa kecil dan dosa besar. Dosa kecil hukumannya tentu ringan, dan dosa besar hukumannya pasti akan berat. Nah, karena hal tersebut, maka yang kecil dan ringan itu akhirnya dipandang ‘gampang dihapus’ dan ‘diabaikan’. Akhirnya, me-mang banyak orang yang takut untuk melakukan dosa besar, tetapi dengan demikian mereka malahan justru lebih banyak melakukan dosa-dosa kecil dengan dalih bahwa semua manusia pasti berdosa. Jadi bisa dimaklumi kalau hanya melakukan dosa-dosa yang kecil. Mengapa bisa terjadi pandangan demikian? Karena hal ini diakibatkan bahwa seringkali orang menu-tup mata terhadap segala bentuk kesalahan yang kecil, sehingga akhirnya mereka mengang-gap bahwa kesalahan kecil itu adalah hal yang sudah biasa dan tidak perlu diperhatikan lagi. Sdr/i sekallian, lalu bagaimanakah ajaran Sang Buddha dalam memandang hal tersebut? Apa kah juga demikian? Sdr/i sekalian, ternyata di dalam ajaran Sang Buddha kita malahan di-ingatkan bahwa kesalahan yang kecil itu bukanlah barang yang boleh dianggap sepele atau boleh diremehkan.
Sdr/i, di dalam kitab Dhammapada ayat 121 tadi dikatakan bahwa janganlah mere-mehkan kejahatan walau sekecil apapun, dengan beranggapan bahwa perbuatan buruk itu ti-dak akan membawa akibat. Tetapi sesungguhnya, bagaikan sebuah tempayan akan terisi pe-nuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula si dungu akan penuh de-ngan hasil kejahatan yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud kejahatan di sini yaitu tidak saja membunuh atau menyakiti orang lain, mencuri, asusila, berdusta, serta mabuk-mabukan, tetapi juga meliputi segala macam perbuatan yang berasal dari keserakah-an, kebencian, dan kebodohan batin dalam bentuknya yang lain seperti berjudi, berkata ka-sar, omong kosong atau membual, menfitnah, dan sebagainya.
Sdr/i seDhamma sekalian, ternyata peraturan larangan dan tata tertib (Vinaya) yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha, tidak saja membahas tentang perbuatan yang jahat, tetapi juga mencakup hal-hal kecil yang dapat memberikan peluang untuk timbulnya suatu perbuat-an yang tercela. Sebagai contoh, misalnya seorang bhikkhu yang pantang melakukan hu-bungan kelamin, maka sehubungan dengan hal itu pula, ia juga tidak boleh menyentuh wani-ta sekalipun hanya rambut atau tangannya saja. Juga, untuk mendukung hal tersebut, maka tidak dibenarkan bagi seorang bhikkhu untuk duduk bersama seorang wanita di suatu tempat yang tertutup tanpa ada orang lain yang melihatnya. Mengapa demikian? Apakah hal ini ti-dak terlalu berlebihan dan mengada-ada? Sdr/i sekalian, memang bagi kita mungkin berang-gapan bahwa menyentuh atau duduk berdua dengan orang lain yang berbeda jenis kelamin-nya adalah cuma soal kecil. Tetapi Sdr/i sekalian, ternyata hal itu tidak bisa dianggap remeh dalam kehidupan seorang bhikkhu. Mengapa? Karena hal tersebut dapat membawa akibat yang besar, terutama ketika mereka sedang melatih meditasi, yaitu bisa muncul kesan-kesan sewaktu sedang duduk berduaan tadi sehingga dapat mengganggu latihan meditasinya dan akhirnya bisa juga mengarah untuk melakukan suatu perbuatan yang tercela.
Sdr/i seDhamma sekalian, itu tadi adalah contoh dalam hidup kebhikkhuan, sedang-kan contoh lain, yang kiranya juga cukup aktual dalam kehidupan masyarakat kita, adalah “merokok”. Beberapa waktu yang lampau, dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasi onal, pemerintah Indonesia pernah mengajak masyarakat untuk tidak merokok sehari itu. Me rokok dipandang buruk karena asapnya berbahaya bagi kesehatan. Bahkan, orang-orang yang tidak merokok pun ikut pula terancam bahaya akibat pencemaran yang ditimbulkan-nya. Tetapi, hal yang demikian ini, yaitu bahwa hal tersebut juga membahayakan bagi orang lain, masih belum diperhatikan. Masih dianggap wajar dan bisa dimaklumi.
Sdr/i sekalian, asap rokok memang sering diremehkan karena masih dirasakan tidak begitu mengganggu seperti asap cerobong pabrik atau asap knalpot kendaraan. Sekarang ini, kalau ada pemilik pabrik yang mencemari lingkungannya, bisa digugat sebagai penjahat. Te-tapi, mereka yang merokok masih belum sampai dianggap demikian karena merokok itu ma-sih bisa diterima sebagai perbuatan buruk yang kecil yang masih bisa dianggap sebagai per-buatan wajar dalam masyarakat. Namun Sdr/i sekalian, sesungguhnya, seperti yang dikata-kan di dalam kitab Majjhima Nikäya bab I, bahwa perbuatan apapun, yang dilakukan dengan badan jasmani, ucapan, serta pikiran, bila membawa penderitaan untuk diri sendiri, orang lain, maupun kedua-duanya, maka perbuatan itu adalah buruk.
Sdr/i Dhamma sekalian, bila tadi telah dikatakan bahwa kesalahan yang kecil tidak boleh disepelekan, demikian pula sebaliknya, kebaikan yang kecil juga tidak bisa dianggap barang yang sepele. Di dalam kitab Dhammapada ayat 122 tadi dikatakan bahwa jangan me-remehkan kebajikan walaupun sekecil apapun, dengan beranggapan bahwa perbuatan baik itu tidak akan membawa berkah. Tetapi sesungguhnya, bagaikan sebuah tempayan yang akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksa-na akan dipenuhi dengan hasil kebaikan yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit.
Sdr/i sekalian, selain itu, ada juga peribahasa yang mengatakan bahwa bila akan mengerjakan sesuatu yang susah, hendaknya dilakukan ketika masih mudah; dan bila akan mengerjakan sesuatu yang besar, hendaknya dilakukan ketika masih kecil. Sdr/i sekalian, hal tersebut adalah suatu kata-kata pengalaman dari mereka yang telah sukses dan mengajarkan agar sesuatu yang kecil itu janganlah diremehkan, janganlah dianggap sepele.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, sebagai contoh, bila kita mau memperhatikan, na-mun ini hanya sebagai bahan perbandingan saja, maka sebuah sekrup kecil daru suatu mesin yang besar bukanlah barang yang dapat disepelekan. Ini juga berarti bahwa tanpa memperha-tikan hal-hal yang kecil, orang bisa tidak akan berhasil untuk menangani suatu pekerjaan yang besar. Banyak orang yang bisa menjadi kaya karena ia mau mengumpulkan penghasil-annya sedikit demi sedikit. Contoh lainnya lagi bahwa hal yang kecil ini tidak dapat diremeh kan misalnya pada uang kecil “limapuluh rupiahan”. Pada saat ini uang kecil tersebut masih sering dianggap tak ada artinya oleh banyak orang. Tetapi ternyata bagi seorang kasir yang melayani pekerjaan besar seperti pembayaran listrik, air minum, atau telepon, uang limapu-luh rupiahan ini tidak bisa dianggap sepele. Kasir tersebut pasti tidak akan mengabaikan uang limapuluh rupiah pun dari rekening yang dibayarkan kepadanya.
Sdr/i seDhamma sekalian, sebagai bahan perenungan selanjutnya, ada sebuah contoh cerita dari Jepang. Konon, ada seorang anak yang bernama Ikkyu yang memasuki kehidupan di suatu biara ketika ia masih kanak-kanak. Suatu ketika, ia menjadi sangat geram karena ada seorang samurai atau pejabat pemerintah yang memanggilnya dengan julukan “bhiksu kecil”. Bukankah ini berarti dia telah disepelekan? Kemudian Ikkyu lalu bertanya kepada orang yang memberinya julukan tersebut. Bila ada lobak yang sedang dicuci, apakah harus dinamai lobak kecil dan lobak besar? Bukankah lobak itu kecil atau besar adalah sama saja, namanya lobak? Maka demikian pula bhiksu adalah bhiksu. Tidak ada bhiksu besar dan bhiksu kecil. Jadi, mengapa ia harus dinamakan bhiksu kecil? Bukankah kalau seorang anak manusia ke-cil pun juga tidak bisa disepelekan dengan dianggap sebagai setengah manusia?
Sdr/i seDhamma sekalian, dari cerita tadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kita semua, terutama yang sudah lebih dewasa ini, hendaknya tetap tidak menganggap remeh pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak kecil. Bila ada seorang anak ke-cil yang berbuat tidak benar atau kurang pantas, maka sebaiknya kita cepat-cepat memberi-kan peringatan kepadanya. Janganlah hal itu didiamkan saja atau kita anggap remeh karena hanya anak kecil yang berbuat. Demikian pula bila ada seorang anak kecil yang berbuat ke-baikan, sebaiknya kita harus memberikan dukungan kepadanya supaya dia mau lebih me-ngembangkan lagi sifat-sifat baiknya tersebut. Janganlah hal itu diremehkan hanya karena ki-ta menganggap dia sebagai seorang anak kecil yang tidak perlu diperhatikan.
Sdr/i seDhamma sekalian, sebagai contoh yang masih berhubungan dengan hal terse-but, yaitu masih banyak kita lihat suatu peristiwa di mana banyak orang tua atau orang yang lebih tua, masih menganggap remeh kepada suatu perbuatan baik yang dilakukan oleh anak-anak kecil. Apakah itu? Yaitu bahwa mereka tidak mau membalas salam ucapan “Selamat pagi” atau “Selamat siang” atau bahkan mungkin “Selamat Waisak” atau “Selamat Tahun Baru” yang diucapkan oleh anak-anak mereka, dan juga anak-anak lain yang masih kecil. Hal ini hendaknya perlu juga untuk lebih kita perhatikan lagi di masa-masa yang akan datang.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah perenungan dan pembahasan Dham-ma kita pada hari ini dan semoga kita dapat meresapinya dan mempraktikkannya dalam kehi-dupan kita sehari-hari. Serta, tidak ketinggalan pula, sehubungan dengan hal ini, dan dengan memohon maaf sebelumnya, kami pengurus Vihara Dhammacakkhu juga ingin menyampai-kan pesan kepada Sdr/i seDhamma sekalian, bahwa sebaiknya Sdr/i seDhamma semua, ber-sedia juga membantu mengatur kerapihan vihara kita dengan merapikan letak sandal maupun sepatunya di dalam Vihara Dhammacakkhu ini setiap kali datang ke vihara. Dahulu pesan ini juga sudah pernah kami sampaikan namun sekarang ketidakrapihan dalam meletakkan sandal atau sepatu ini sudah mulai terjadi lagi. Jadi, kami sangat memohon kepada Sdr/i semua un-tuk memperhatikan hal ini karena perbuatan mengatur atau merapikan sandal dan sepatu di dalam vihara adalah juga merupakan suatu perbuatan baik yang tidak bisa dianggap kecil, ri-ngan, atau sepele. Dan, hal ini kita lakukan juga demi kebaikan kita sendiri sebagai umat Vi-hara Dhammacakkhu Bogor. Sekian dan terima kasih atas perhatian Sdr/i semua!
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk hidup berbahagia!
Sädhu! Sädhu! Sädhu!
____________________

Dibacakan pada tanggal:
- sudah pernah.
-
-
-
-
-
-

KEBODOHAN

KEBODOHAN

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
YO BALO MABBATI BALYAM, PANDITO VAPI TENA SO.
Orang bodoh yang menyadari kebodohannya, sesungguhnya bukanlah orang bodoh.
Khuddakanikaya Dhammapadagatha.

Sdr/i seDhamma sekalian, seperti biasanya, yaitu setelah kita bersama-sama membaca Paritta dan bermeditasi, maka marilah kita sekarang bersama-sama membahas serta merenungkan Dhamma, ajaran Sang Buddha, yang pada hari ini berjudul ‘Kebodohan’. Sekali lagi Sdr/i sekalian, judul pem-bahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini adalah ‘Kebodohan’.
Sdr/i sekalian yang berbahagia, pengertian umum tentang kebodohan yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, adalah diartikan sebagai sangat tumpul otaknya atau tidak cerdas. Mi-salnya saja seorang anak dikatakan bodoh karena ia tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolahnya. Atau, ia dikatakan bodoh karena ia tidak punya akal untuk mengatasi suatu permasalahan yang diha-dapinya. Jadi, kalau kita amati, arti kebodohan dalam pengertian umum tersebut, cenderung hanya mengarah pada kelemahan kadar intelektual atau segi kecerdasan saja, tetapi kurang begitu berkaitan dengan kualitas batiniah seseorang. Padahal Sdr/i sekalian, yang dimaksud dengan arti kebodohan di sini sesungguhnya mengandung makna agamis yang mengarah langsung pada kualitas batin seseo-rang. Maksudnya yaitu, bahwa yang dimaksud dengan orang bodoh di sini adalah orang yang tidak bijaksana. Dalam kitab Paramatthajotika, yaitu suatu kitab ulasan dari Khuddakapatha, Buddhagho-sa Thera mendefenisikan orang bodoh sebagai orang yang menjalani kehidupan hanya sekedar kare-na bernapas – dalam arti hanya sekedar hidup saja, tidak menjalani kehidupan dengan kebijaksanaan
Sdr/i seDhamma sekalian, oleh sebab itu, di dalam ajaran agama Buddha, istilah kebodohan ini lebih tepat diartikan sebagai kebodohan batin. Artinya, tidak tahu sebab dan akibat menurut kea-daan yang sebenarnya, menurut hakekat yang sesungguhnya dari segala sesuatu. Jadi, ia tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar. Atau, ia tidak tahu mana keadaan yang bersyarat (berkondi-si) dan yang tidak bersyarat (tidak berkondisi). Di dalam istilah Buddha Dhamma, pikiran yang me-ngandung kebodohan batin ini disebut Mohamulacitta, yang artinya kesadaran atau pikiran yang mempunyai kebodohan, kegelapan, ketidaktahuan. Atau, kesadaran atau pikiran yang tidak mampu untuk mengetahui sesuatu dengan sewajarnya. Kata Moha dan Avijja mempunyai arti yang sama, yaitu kebodohan batin atau kegelapan batin.
Sdr/i sekalian, selanjutnya perlu kita ketahui, bahwa kesadaran atau pikiran yang mengan-dung kebodohan ini, dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Kebodohan yang bersekutu dengan keragu-raguan, disertai masa bodoh.
2. Kebodohan yang bersekutu dengan kegelisahan, disertai masa bodoh.
Sekarang Sdr/i sekalian yang berbahagia, untuk lebih jelasnya tentang kedua hal kebodohan tersebut maka marilah kita renungkan maknanya dengan lebih seksama lagi satu persatu.
1. Kebodohan yang bersekutu dengan keragu-raguan, disertai masa bodoh.
Sdr/i sekalian, sebelumnya perlu diketahui, bahwa yang dimaksud dari masa bodoh di sini yaitu ka-rena disebabkan tidak tahu, bukan karena mempunyai sedikit kesenangan. Sedangkan yang dimak-sud bersekutu dengan keragu-raguan di sini yaitu kurang yakin. Bahkan, berarti ia tidak yakin atau masih ragu-ragu kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Savgha. Hal ini juga berarti bahwa ia tidak ya-kin akan adanya Hukum-Hukum Kebenaran Mutlak seperti: Empat Kebenaran Mulia, Kamma dan Tumimbal-lahir, Paticcasamuppada, dan Tiga Corak Umum yang universal. Hal yang demikian ini mudah kita ketahui, misalnya pada saat kita melihat ada orang yang tidak yakin akan adanya kamma vipaka (hasil dari perbuatan), baik dari kehidupan yang lampau, sekarang, dan yang akan datang. Jadi, ia masih ragu-ragu terhadap hal tersebut, yaitu apakah hal itu benar atau tidak.
Sdr/i sekalian, jadi sekali lagi, maksud dari bersekutu dengan keragu-raguan di sini yaitu ku-rang yakin terhadap Hukum-Hukum Kebenaran Mutlak tersebut dan tidak dapat memutuskan sesua-tu. Sedangkan kalau pembahasannya lebih diperinci lagi, maka yang dimaksud dengan keragu-ragu-an di sini ada 8 macam, yaitu sebagai berikut:
1. Keragu-raguan terhadap Sang Buddha, yaitu apakah Sang Buddha itu memang benar-benar ada atau tidak. Atau, keragu-raguan terhadap Buddhaguna 9 (9 macam kualitas Sang Buddha). Betul-kah Sang Buddha memiliki 9 macam kualitas?
2. Keragu-raguan terhadap Dhamma, yaitu apakah Magga 4, Phala 4, dan Nibbana 1 itu benar-benar ada? Atau, benarkah Dhamma itu dapat membebaskan kita dari penderitaan?
3. Keragu-raguan terhadap Savgha, yaitu apakah betul ada anggota Savgha yang sudah berhasil mencapai tingkat-tingkat kesucian atau mencapai Magga 4 dan Phala 4?
4. Keragu-raguan terhadap Sikha (latihan), yaitu apakah betul ada cara-cara latihan yang terdiri dari Sila, Samadhi, dan Pabba, yang kalau dijalankan dapat mencapai ‘pembebasan’.
5. Keragu-raguan terhadap Khandha 5 (5 Kelompok Kehidupan); Ayatana 12 (12 unsur dari indera untuk mengetahui sesuatu); dan Dhatu 18 (18 unsur), yang akan datang; yaitu apakah hal-hal itu memang betul-betul ada? Atau, keragu-raguan terhadap adanya kehidupan yang akan datang; apakah betul bahwa hal itu memang ada?
6. Keragu-raguan terhadap Khandha 5 (5 Kelompok Kehidupan); Ayatana 12 (12 unsur dari indera untuk mengetahui sesuatu); dan Dhatu 18 (18 unsur), yang telah lalu; yaitu apakah hal-hal itu memang betul-betul ada? Atau, keragu-raguan terhadap adanya kehidupan yang lalu; apakah be-tul bahwa hal itu memang ada?
7. Keragu-raguan terhadap Khandha 5 (5 Kelompok Kehidupan); Ayatana 12 (12 unsur dari indera untuk mengetahui sesuatu); dan Dhatu 18 (18 unsur), yang telah lalu dan yang akan datang; yaitu apakah hal-hal itu memang betul-betul ada? Atau, keragu-raguan terhadap adanya kehidup-an yang telah lalu dan yang akan datang; apakah betul bahwa hal itu memang ada?
8. Keragu-raguan terhadap Paticcasamuppada Dhamma atau Hukum Sebab Akibat yang saling mengkondisikan. Apakah betul bahwa Hukum Sebab Akibat yang saling mengkondisikan ini ada?
Sdr/i seDhamma, itulah tentang 8 macam keragu-raguan, dan setelah kita mengetahui 8 ma-cam keragu-raguan tersebut, lalu bagaimanakah cara untuk mengatasinya? Sdr/i sekalian, keragu-ra-guan tidak dapat diatasi hanya dengan berspekulasi tentang sesuatu yang tidak membawa kita men-capai tujuan. Keragu-raguan hanya dapat diatasi dengan mempelajari Dhamma, sehingga Pabba (kebijaksanaan) menjadi berkembang. Bila Pabba sudah berkembang, maka keragu-raguan tidak akan muncul lagi. Sebagai contoh yaitu apabila kita melihat masalah-masalah yang ada di dunia ini. Bila kita perhatikan, maka terlihatlah bahwa ternyata masalah-masalah di dunia ini adalah hanya masalah dari Nama dan Rupa atau batin dan jasmani. Ya, benar, semua hanyalah merupakan masa-lah Nama dan Rupa. Nama dan Rupa ini adalah tidak kekal, saling timbul dan padam silih berganti. Nah, bilamana Pabba atau kebijaksanaan telah timbul, maka orang dapat memahami sifat-sifat dari Nama dan Rupa yang ditanggapi melalui enam pintu indera tersebut dengan wajar atau sebagaimana adanya. Jadi, bila kita dapat mempelajari tentang Nama dan Rupa yang sedang kita hadapi sekarang, sehingga dapat melihat segala sesuatu dengan sebagaimana adanya, maka di situlah muncul kebijak-sanaan dan tidak akan timbul lagi keragu-raguan.
Sdr/i seDhamma sekalian, sekarang marilah kita merenungkan tentang bentuk kebodohan je-nis yang kedua, yaitu kebodohan yang bersekutu dengan kegelisahan, disertai masa bodoh. Untuk hal ini, sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu bahwa pengertian bersekutu dengan kegelisahan arti-nya yaitu, kesadaran atau pikiran itu gelisah, dan terlepas dari konsentrasi pada berbagai macam obyek, tidak tenang atau tidak tetap berada dalam obyek. Jadi Sdr/i sekalian, bilamana ada kegelisah an, tentu pada saat itu tidak akan ada Sati (perhatian jeli). Sati merupakan perhatian untuk melihat atau mengamati sifat-sifat Nama dan Rupa sebagaimana adanya. Sati dapat dilatih dalam setiap tin-dakan kita sehari-hari. Bila seseorang Sati-nya lemah, maka ia cenderung untuk tidak dapat melihat sifat-sifat Nama dan Rupa dengan sebagaimana adanya. Akibatnya, ia selalu berada dalam keadaan pikiran yang bodoh atau Moha. Moha merupakan akar dari dari semua pikiran atau kesadaran yang buruk (Akusala Citta). Moha melandasi Lobha (ketamakan) sehingga tenggelam di dalam tipuan naf su-nafsu indera. Moha juga melandasi Dosa (kebencian), tetapi Moha hanya mempunyai sifat yaitu ketidaktahuan, dan timbulnya adalah tanpa ajakan.
Sdr/i sekalian yang berbahagia, sekarang marilah kita melihat bagaimana proses timbulnya Moha ini yang terjadinya melalui ke enam pintu indera kita. Misalnya, bila kita mendengar suara ka-rena ada orang yang mengetuk pintu; lalu kalau kita tidak mengenal suara itu, dan kita masih memi-i liki kekotoran batin, maka pada saat itu juga langsung dapat timbul keragu-raguan dalam diri kita dan berpikir apakah ketukan ini disertai dengan sesuatu atau tidak? Atau, pada saat itu juga dapat timbul kegelisahan, misalnya lalu berpikir jangan-jangan ada perampok yang akan masuk, dan seba-gainya lagi. Jadi, dalam pikiran kita tersebut selalu ada keragu-raguan dan kegelisahan.
Sdr/i sekalian, namun untuk hal ini, seorang Ariya Puggala (orang suci), misalnya yang telah mencapai tingkat pertama dari pencapaian Penerangan Sempurna, yaitu Sotapanna, telah dapat mele nyapkan macam-macam Moha yang diikuti oleh keragu-raguan. Ia tidak lagi meragukan tentang Pa-ramattha Dhamma, ia telah memahami hal tersebut sungguh-sungguh. Ia telah yakin, betul-betul ya-kin terhadap Buddha, Dhamma, dan Savgha. Ia telah yakin kepada ‘jalan’ yang menuju terkikisnya semua hambatan, yaitu kekotoran batin. Tetapi Sdr/i sekalian, meskipun demikian, ternyata, baik So tapanna, Sakadagami, dan Anagami, ternyata masih memiliki Moha yang diikuti oleh kegelisahan.. Jadi, mereka ini masih memiliki Moha yang diikuti oleh kegelisahan. Hanya Arahat sajalah yang te-lah terbebas total dari kegelisahan ini.
Jadi Sdr/i sekalian, kebodohan merupakan penutup mata kita terhadap kenyataan akan ada-nya Empat Kebenaran Mulia, atau lebih tepatnya terhadap Hukum-Hukum Mutlak. Hanya dengan melakukan Vipassana (pandangan terang) yang dapat membantu kita untuk mengikis kebodohan ter-sebut. Di dalam naskah Samyuttanikaya Salayatana Vagga, dikisahkan tentang Jambukhadaka, yaitu seorang kelana yang bertanya kepada YA. Sariputta tentang pengertian kebodohan. Dia bertanya de-mikian:”Sahabatku Sariputta, jelaskanlah padaku, apakah yang dimaksud dengan kebodohan itu?” Kemudian YA. Sariputta menjawab:”Sahabatku Jambukhadaka, yang diartikan dengan kebodohan adalah mereka yang tidak mengerti tentang Empat Kebenaran Mulia, yaitu tentang Dukkha, Sebab timbulnya Dukkha, Terhentinya Dukkha, dan Cara yang Menuju ke Terhentinya Dukkha. Itulah yang diartikan dengan kebodohan atau Moha”. Lalu Sdr/i, selanjutnya Jambukhadaka bertanya lagi demikian:”Apakah ada cara untuk menghindari Dukkha itu, sahabatku?” YA. Sariputta menjawab lagi:”Sahabatku, Sang Buddha telah memberikan jawabannya, yaitu dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan cara untuk mengikis kebodohan (Moha)”.
Sdr/i seDhamma sekalian yang berbahagia, demikianlah perenungan dan pembahasan Dham-ma kita pada hari ini yang berjudul ‘Kebodohan’. Bila di antara Sdr/i sekalian ada yang kurang jelas dengan makalah ini, atau mungkin di dalam makalah ini ada kesalahan-kesalahan, maka kami persi-lakan untuk membahasnya kembali bersama-sama di dalam diskusi Dhamma setelah selesainya ke-baktian ini. Terima kasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
____________________

Sumber Acuan:
1. Abhidhammatthasavgaha, oleh J. Kaharuddin.
2. Buddha Dhamma dalam Kehidupan Sehari-hari, oleh Nina van Gorkom.
3. Mimbar Agama Buddha Harian Sinar Pagi tanggal 2 dan 9 Maret 1988 “Kebodohan”, oleh Dhar-ma Kusumah.
4. Untaian Dhammakatha, oleh Jan Sabjivaputta.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-
-

KEBAHAGIAAN DAN PENDERITAAN

KEBAHAGIAAN DAN PENDERITAAN

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
SABBATTHA DUKKHASSA SUKHAM PAHANAM.
Kebahagiaan akan muncul sebagai akibat dari padamnya penderitaan.
Khuddakanikaya Dhammapadagatha.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, seperti biasanya, setelah kita bersama-sama mem-baca Paritta dan bermeditasi, marilah sekarang kita mengisi kebaktian pada pagi hari ini de-ngan mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini dipetik dari Ki-tab Suci Avguttaranikaya Dukanipata ayat 101, yaitu yang membahas tentang ‘Kebahagiaan dan Penderitaan’. Jadi sekali lagi, tema pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini, yaitu ‘Kebahagiaan dan Penderitaan’.
Sdr/i sekalian, seperti yang telah kita ketahui selama ini, kehidupan kita selalu diling-kupi oleh kebahagiaan dan penderitaan secara silih berganti. Semua orang pasti menginginkan kebahagiaan dan menghindarkan penderitaan. Tetapi ternyata, pada kenyataannya, hal terse-but tidak dapat terpenuhi terus menerus secara demikian sesuai dengan yang mereka inginkan itu. Jadi pada hakekatnya, setiap orang pasti terlibat dengan penderitaan dan kebahagiaan se-lama kehidupannya. Oleh sebab itu, karena adanya hakekat yang demikian tersebut, maka se-mua orang akhirnya tidak puas dengan kebahagiaan yang sifatnya hanya sementara atau keba-hagiaan yang masih diselingi dengan penderitaan. Akhirnya, mereka lalu mengarahkan tujuan hidup mereka kepada suatu tujuan akhir, yaitu suatu kebahagiaan yang abadi. Tetapi, yang di-namakan kebahagiaan akhir yang abadi ini, dalam setiap ajaran dari berbagai agama yang ada di dunia ini, ternyata juga sangat berbeda-beda.
Nah, Sdr/i seDhamma, berdasarkan atas hal-hal tadi itulah, dan supaya kita dapat lebih jelas lagi mengetahui apa pengertian kebahagiaan dan penderitaan ini, maka pada hari ini kita bersama-sama membahas petikan dari Kitab Suci Avguttaranikaya Dukanipata ayat 101, yang isinya membahas tentang pengertian kebahagiaan dan penderitaan. Sdr/i sekalian, menurut isi dari petikan kitab suci ini, kebahagiaan (atau yang dalam bahasa Pali disebut ‘Sukha’), dibagi menjadi dua macam, yaitu kebahagiaan jasmaniah (Kayika-sukha) dan kebahagiaan batin (Cetasika-sukha). Pengertian dari kebahagiaan jasmaniah adalah kebahagiaan yang diukur berdasarkan indera-indera jasmani. Artinya yaitu, apabila badan jasmani kita ini berada dalam keadaan sehat, tidak sedang terganggu oleh rasa lapar dan haus, dan tidak sedang menderita penyakit-penyakit organ tubuh lainnya, maka hal itu dikatakan sedang berada dalam suatu kondisi kebahagiaan. Inilah yang dimaksud dengan kebahagiaan jasmaniah. Sedangkan yang dimaksud dengan kebahagiaan batin (Cetasika-sukha), merupakan hasil dari sebab-sebab yang ada di dalam batin. Artinya yaitu, apabila pikiran kita sedang terserap di dalam kegembiraan, yang disebabkan apakah karena terpenuhinya keinginan-keinginan indera kita, atau karena te-lah melakukan suatu perbuatan baik, atau bahkan karena kegiuran yang timbul dari Pandang-an Terang, maka hal itu dikatakan bahwa batin berada di dalam keadaan kebahagiaan. Inilah yang dimaksud dengan kebahagiaan batin.
Sdr/i sekalian, setelah kita mengetahui tentang dua macam kebahagiaan tadi, yang ten-tunya penjelasan tersebut belumlah cukup, maka kita akan membahas lebih lanjut petikan dari kitab suci tadi yang ternyata juga menjelaskan adanya pengertian lain dari kebahagiaan (su-kha) ini. Di sana disebutkan bahwa pengertian lain dari kebahagiaan ini juga dibagi menjadi dua bagian yaitu : 1. Kebahagiaan dengan mata kail berumpan, atau kebahagiaan yang berma-ta kail (Samisa-sukha) dan 2. Kebahagiaan tanpa mata kail berumpan (Niramisa-sukha).
Sdr/i sekalian, yang dimaksud dengan kebahagiaan dengan mata kail berumpan yaitu kebahagiaan yang timbul karena terpenuhinya keinginan-keinginan kesenangan indera kita, atau dapat juga dikatakan kebahagiaan yang berdasarkan pada obyek-obyek luar, yaitu benda-benda atau materi. Disebut dengan kebahagiaan mata kail berumpan karena kebahagiaan se-macam ini berhubungan dengan kemelekatan dan bila demikian, pasti memiliki keburukan-keburukan yang tersembunyi, misalnya kesedihan, ratap tangis, dan sebagainya apabila keba-hagiaannya tadi sudah padam. Dan, arti yang lebih dalam dari kebahagiaan dengan mata kail berumpan ini, menurut kitab komentar yaitu, kebahagiaan yang menjadikan seseorang tengge-lam di dalam arus roda perputaran kelahiran dan kematian (samsara) dengan penderitaan yang tidak dapat dipisahkan, bagaikan mata kail berumpan tadi. Demikianlah yang dimaksud de-ngan kebahagiaan mata kail berumpan.
Sdr/i, selanjutnya adalah tentang kebahagiaan tanpa mata kail berumpan (Niramisa-su-kha). Yang dimaksud dengan hal ini yaitu kebahagiaan yang timbul dari perasaan-perasaan keagamaan, seperti misalnya kegiuran dan pandangan terang atau peninggalan kesenangan-kesenangan indera. Dan menurut kitab komentar, kebahagiaan tanpa mata kail berumpan ini adalah kebahagiaan yang memungkinkan seseorang untuk dapat menghancurkan roda perpu-taran kelahiran dan kematian, yang memberikan padanya suatu pandangan terang di atas ke-duniawian. Demikianlah yang dimaksud dengan kebahagiaan tanpa mata kail berumpan.
Sdr/i seDhamma, selanjutnya, setelah kita mengenal dan mengerti tentang jenis dan pembagian dari kebahagiaan, marilah sekarang kita juga melihat pembagian dari masalah pen-deritaan. Menurut isi dari petikan Kitab Suci Avguttaranikaya Dukanipata, penderitaan juga dibagi menjadi dua macam, yaitu penderitaan jasmaniah (Kayika-dukkha) dan penderitaan ba-tiniah (Cetasika-dukkha). Yang dimaksud dengan penderitaan jasmaniah di sini yaitu berla-wanan artinya dengan kebahagiaan jasmaniah seperti yang telah dijelaskan tadi. Jadi, arti dari penderitaan jasmaniah di sini yaitu menyatakan pada kondisi jasmani yang sedang terganggu oleh penyakit, rasa lapar atau haus, atau juga sewaktu sedang terganggu oleh unsur-unsur yang merangsang seperti panas dan dingin yang luar biasa. Itulah yang dimaksud dengan pen-deritaan jasmaniah. Dan selanjutnya marilah kita bahas tentang penderitaan batiniah. Yang di-maksud dengan penderitaan batiniah yaitu penderitaan yang disebabkan oleh kesedihan, duka cita, kekecewaan, ratap tangis, penyesalan, dan sebagainya. Itulah yang dimaksud dengan penderitaan batiniah.
Sdr/i sekalian, demikianlah pembahasan tentang jenis-jenis penderitaan, tetapi, seperti halnya pada pembahasan tentang kebahagiaan tadi, ternyata pembahasan tentang penderitaan ini juga belum cukup jika hanya sampai sekian saja. Di dalam petikan kitab suci tadi juga ma-sih ada pembahasan selanjutnya tentang penderitaan ini yaitu tentang pengertian lain dari pen-deritaan. Pengertian lain dari penderitaan (Dukkha) ini juga dibagi menjadi dua macam, yaitu 1. Penderitaan dengan mata kail berumpan (Samisa-dukkha) dan 2. Penderitaan tanpa mata kail berumpan (Niramisa-dukkha).
Sdr/i, pengertian dari penderitaan dengan mata kail berumpan ini berlawanan dengan pengertian tentang kebahagiaan dengan mata kail berumpan seperti yang telah dijelaskan tadi. Jadi, yang dimaksud dengan penderitaan mata kail berumpan (Samisa-dukkha) ini yaitu pen-deritaan yang timbul karena padamnya obyek-obyek kesenangan indera. Hal ini mungkin da-pat berupa penderitaan jasmaniah seperti misalnya terserang penyakit, terluka, kematian, atau dapat juga berupa penderitaan batin batiniah seperti misalnya kesedihan, duka cita, penyesal-an, dan sebagainya sebagai akibat dari padamnya obyek-obyek kesenangan indera. Itulah yang dimaksud dengan penderitaan mata kail berumpan. Jadi, maksudnya yang jelas yaitu, de-ngan padamnya obyek-obyek kesenangan indera ini, lalu muncullah penderitaan sebagai aki-bat selanjutnya. Jadi, berlawanan dengan terpenuhinya keinginan-keinginan indera, baru mun-cul penderitaan.
Sdr/i seDhamma, selanjutnya adalah pembahasan yang kedua, yaitu penderitaan tanpa mata kail berumpan (Niramisa-dukkha). Yang dimaksud dengan penderitaan tanpa mata kail berumpan yaitu penderitaan yang timbul dari suatu usaha untuk berbuat baik, seperti misalnya adanya kesukaran-kesukaran, gangguan-gangguan, kesakitan, bahkan juga bahaya-bahaya lain yang timbul sewaktu melaksanakan Sila (kemoralan), sewaktu mempraktikkan meditasi, dan sebagainya. Jadi, untuk lebih jelasnya dalam hal ini yaitu, orang atau makhluk tersebut cukup menderita atau mengalami gangguan-gangguan ketika sedang menjalankan Sila atau meditasi-nya. Tetapi, akibat yang diperoleh dari hal itu bukanlah merupakan penderitaan. Oleh sebab itu, hal ini dikatakan sebagai penderitaan yang tanpa mata kail berumpan. Jadi Sdr/i sekalian, sekali lagi supaya lebih jelas, bahwa yang dimaksud dengan mata kail berumpan di sini yaitu menyebabkan timbulnya penderitaan bagi kita, sedangkan tanpa mata kail berumpan adalah yang tidak menyebabkan penderitaan bagi kita selanjutnya.
Sdr/i sekalian, demikianlah tadi penjelasan dari isi petikan Kitab Suci Avguttaranikaya Dukanipata ayat 101 tentang kebahagiaan dan penderitaan, yang secara keseluruhan semua ada 4 macam, yaitu:
1. Kebahagiaan dengan mata kail berumpan, atau kebahagiaan tetapi yang dapat menimbul-kan penderitaan.
2. Kebahagiaan tanpa mata kail berumpan, atau kebahagiaan yang tidak menimbulkan pen-deritaan.
3. Penderitaan dengan mata kail berumpan, atau penderitaan yang dapat menyebabkan tim-bulnya penderitaan juga.
4. Penderitaan tanpa mata kail berumpan, atau penderitaan tetapi yang tidak menyebabkan timbulnya penderitaan selanjutnya.
Sdr/i seDhamma sekalian, demikianlah tadi uraian Dhamma tentang penderitaan dan kebahagiaan yang diambil dari Kitab Suci Avguttaranikaya Dukanipata ayat 101, semoga de-ngan mengertinya kita terhadap ajaran tersebut, akan tampak semakin jelaslah tujuan akhir ki-ta tentang apa dan bagaimana yang dimaksud dengan kebahagiaan kekal yang sesungguhnya, sehingga kita sebagai umat Buddha sudah tidak salah pandangan lagi tentang maksud dari ke-bahagiaan yang kekal itu. Demikianlah uraian dan pembahasan Dhamma kita pada hari ini, semoga dengan bertambahnya pengertian kita tersebut, dapat membahagiakan diri kita sendiri dan juga semua makhluk.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
____________________
Buku Acuan:
Vajirananavarorasa, Dhamma Vibhaga. C.V. Lovina Indah. Jakarta, hal. 23 – 26.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

KARMA MENURUT AKIBATNYA

KARMA MENURUT KEKUATANNYA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
KALYÄNAKÄRÍ KALYÄNAÇ PÄPAKÄRÍ CA PÄPAKAÇ.
Barang siapa berbuat baik akan menerima akibat yang baik, dan barang siapa berbuat jahat akan menerima akibat yang buruk.
Khuddakanikäya Jätaka Dukanipäta.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah membaca Paritta dan bermeditasi, marilah sekarang kita pusatkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengadakan pembahasan dan pe-renuntan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Karma Menurut Kekuatannya’. Sekali lagi, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Karma Menurut Keku-atannya’, di mana makalah ini juga bisa merupakan lanjutan dari makalah yang lalu, yaitu masih berkenaan dengan Hukum Kamma.
Sdr/i sekalian, pembagian karma menurut kekuatannya adalah salah satu pembahasan pembagian karma yang disusun oleh Buddhaghosa dalam Visuddhi Magga. Pembagian kar-ma oleh Buddhaghosa ini juga didasarkan pada kata-kata Sang Buddha yang tersebar dalam Kitab Suci Tipitaka. Secara keseluruhan, pembagian karma yang disusun oleh Buddhaghosa ini adalah sebagai berikut:
1. Karma menurut jangka waktu berbuahnya.
2. Karma menurut kekuatannya.
3. Karma menurut fungsinya.
Masing-masing golongan tadi terdiri dari empat macam, dan bila disatukan seluruhnya ada duabelas macam, sehingga semuanya itu kadang-kadang disebut ‘duabelas karma’. Keduabe-las karma ini dapat bersifat baik (kusala) dan dapat bersifat buruk (akusala).
Sdr/i seDhamma sekalian, pada pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini, yaitu tentang karma menurut tingkat kekuatannya dalam menghasilkan akibat, ternyata dapat kita ketahui bahwa golongan karma yang menurut kekuatannya ini terdiri dari empat macam. Hal ini akan dijelaskan satu persatu, yaitu sebagai berikut:
1. Garuka Kamma, adalah karma yang paling berat bobotnya di antara semua karma lainnya. Dan, karena sifatnya yang amat kuat, maka karma semacam ini akan masak terlebih dahulu daripada karma-karma yang lainnya. Selama karma ini menghasilkan akibatnya, maka tidak akan ada karma lainnya yang berkesempatan untuk menghasilkan akibatnya (menjadi masak) pada saat itu. Sebagai suatu perbandingan, dapatlah kita umpamakan dengan seseorang yang menjatuhkan berbagai macam benda, misalnya batu, kayu, karton, dan bulu ayam. Maka, da-lam hal ini, tentu saja batu yang dijatuhkan akan sampai ke tanah terlebih dahulu, baru ke-mudian diikuti dengan sepotong kayu, karton, dan akhirnya bulu ayam. Garuka Kamma, di-tinjau dari seginya yang buruk (akusala), adalah melakukan salah satu atau lebih dari lima macam perbuatan yang paling jahat, yaitu:
1. Membunuh ibu sendiri.
2. Membunuh ayah sendiri.
3. Membunuh orang yang telah mencapai kesucian sempurna, yaitu Arahat.
4. Melukai tubuh seorang Buddha.
5. Menyebabkan perpecahan dalam persaudaraan para bhikkhu (Saégha).
Kelima macam perbuatan ini dikatakan sebagai karma yang paling buruk di antara semua karma lainnya. Seseorang yang telah melakukan salah satu di antara kelima macam perbuat-an di atas tadi, maka dalam hidupnya yang sekarang ini ia tidak akan dapat memahami Kebe-naran Mutlak, karena ia sendirilah yang telah menciptakan rintangan bagi pencapaiannya itu. Selain itu, setelah kematiannya, maka ia akan terlahir kembali dalam alam neraka yang pa-ling mengerikan, yaitu ‘niraya avici’. Contoh dari akusala garuka kamma adalah perbuatan yang dilakukan oleh Raja Ajatasattu, dan juga perbuatan yang dilakukan oleh Devadatta yang hidup pada masa Sang Buddha.
Sdr/i sekalian, dalam Samannaphala Sutta diterangkan bahwa Raja Ajatasattu setelah mendengar uraian Sutta ini, menyatakan penyesalannya kepada Sang Buddha atas perbuatan salah yang telah dilakukannya yaitu membunuh ayahnya sendiri. Raja Ajatasattu berkata de-mikian:”Bhante, aku mengaku telah melakukan perbuatan salah; telah begitu bodoh, lemah, dan jahatnya aku sehingga karena menginginkan tahta kerajaan, aku sampai membunuh ayah ku sendiri, seorang raja yang setia pada kebenaran, manusia kebenaran’. Nah, sehubungan dengan pengakuan Raja Ajatasattu tentang perbuatannya itu, di dalam Samannaphala Sutta, Digha Nikäya, disebutkan bahwa Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu demikian:”Para bhikkhu, seandainya sang raja tidak membunuh ayahnya … pastilah mata Dhamma (Dham-macakkhu) yang bersih tanpa noda akan timbul dalam dirinya”.
Sdr/i, akhirnya, setelah bertemu dan mendengar Sutta ini, Raja Ajatasattu melakukan banyak sekali perbuatan baik. Ia berusaha dengan segenap kemampuan untuk mengimbangi kejahatan yang telah dilakukan itu dengan mengembangkan kebajikan. Dipupuknyalah keya-kinannya yang benar terhadap Sang Tiratana: Buddha, Dhamma, dan Ariya Saégha. Dengan penuh ketulusan ia senantiasa menyokong kebutuhan hidup para bhikkhu. Lebih daripada itu, Raja Ajatasattu memberikan andil yang sangat berharga yaitu mensponsori dalam penye-lenggaraan Saéghasamaya pertama di Rajagaha untuk menghimpun dan merangkum ajaran murni Sang Buddha Gotama. Namun, walaupun banyak perbuatan baik (kusala kamma) yang dilakukannya, ia tetap harus melunasi akibat kejahatannya, yaitu meninggal karena dibu nuh oleh putranya sendiri yang bernama Udayibhadda yang dulu lahir tepat pada hari ke-mangkatan ayahnya. Raja Ajatasattu terlahir di alam Niraya Lohikumbhiya dan nenurut Di-gha Nikäya Atthakatha, ia akan berada di alam niraya tersebut selama 60.000 tahun, dan ke-lak ia akan menjadi seorang Pacceka Buddha yang bernama Viditavisesa.
Sdr/i seDhamma sekalian, sedangkan Devadatta adalah saudara dari Yasodhara yang menjadi isteri Pangeran Siddharta. Ketika Sang Buddha mengunjungi Kapilavatthu dan me-ngajarkan Dhamma kepada Suku Sakya, Devadatta bersama Ananda, Bhagu, Anurudha, Upali, dan lain-lainnya ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah menjadi bhikkhu selama satu vassa (masa musim hujan), Devadatta memiliki ‘iddhividha’ atau kemampuan batin fisik, yang dapat mengubah dirinya seperti anak kecil yang dilingkari oleh banyak ular. Namun, Devadatta memiliki keinginan jahat yaitu mau mengganti kedudukan Sang Buddha sebagai kepala atau pimpinan para bhikkhu (Saégha). Ketika keinginan jahat itu muncul dan mengu-asai pikiran Devadatta, maka kemampuan iddhividhanya langsung lenyap. Tetapi, karena nafsu keinginannya terlalu kuat, ia memecah belah Saégha. Para bhikkhu yang bodoh ada yang mengikuti Devadatta dan mengakui dia sebagai pimpinan Saégha. Dorongan niat jahat-nya lebih berkobar dengan rencananya untuk membunuh Sang Buddha. Devadatta pergi ke sebuah bukit, menyiapkan batu besar dan menunggu Sang Buddha yang akan lewat di bawah bukit tersebut. Demikianlah, ketika Sang Buddha lewat di bawah bukit, dengan sekuat tena-ga Devadatta menggulingkan batu besar itu ke bawah. Sang Buddha tidak tertimpa oleh batu besar itu, namun ada serpihan batu yang mengenai ibu jari kaki Beliau dan mengakibatkan jari kaki Beliau berdarah. Devadatta pergi, dan tidak berapa lama kemudian Devadatta sakit. Ketika ia menyadari bahwa kematiannya telah dekat, Devadatta meminta pengikutnya untuk mengusung dia dan membawanya menghadap kepada Sang Buddha. Ketika Devadatta sam-pai pada suatu tempat tertentu, para pengusungnya tidak sanggup memikulnya lagi karena ja-lan yang dilalui sulit didaki. Devadatta turun dari usungan, namun ketika kakinya menyentuh tanah, ia langsung ditelan bumi dan meninggal. Setelah meninggal ia langsung terlahir kem-bali di alam neraka Avici.
Sdr/i sekalian, Devadatta ditelan oleh bumi maupun ia terlahir di alam neraka Avici adalah diakibatkan oleh akusala garuka kamma atau kamma buruknya yang hebat. Namun, dalam Dhammapada Attakatha dikatakan bahwa karena Devadatta pernah pula berbuat baik, antara lain pernah menjadi bhikkhu, maka kelak di kemudian hari ia akan menjadi seorang Pacceka Buddha.
Sdr/i sekalian, pada segi yang baiknya (kusala), garuka kamma menyatakan pada de-lapan macam pencapaian tingkat samadhi, yaitu empat tingkat Rupa Jhäna dan empat tingkat Arupa Jhäna.
Pembahasan selanjutnya yaitu Bahula Kamma, adalah karma yang sering berulang-ulang kali dilakukan oleh seseorang melalui saluran badan jasmani, ucapan, dan pikiran, se-hingga tertimbun dalam wataknya. Contoh dari karma seperti ini adalah mereka yang hidup sebagai tukang jagal, nelayan, petani, olahragawan, penari, pencopet, sopir, dan sabagainya. Karma kebiasaan ini akan memberikan akibatnya terlebih dahulu apabila seseorang tidak me-lakukan garuka kamma.
Sdr/i, pembahsan jenis yang ketiga adalah yang disebut Asanna Kamma, yaiut karma yang dibuat oleh seseorang pada saat menjelang kematian, atau dapat pula berupa perbuatan-perbuatan yang dahulu pernah dilakukan semasa hidupnya (yaitu perbuatan melalui pikiran atau batin) yang ia ingat kembali dengan amat jelas pada saat ia berada di ambang pintu ke-matian. Namun, sesungguhnya karma macam ini amatlah ditentukan oleh sifat dari kebiasaan seseorang. Bila seseorang telah berbuat jahat untuk waktu yang lama, maka hanya sedikit se-kali kemungkinan baginya untuk mempunyai asanna kamma yang baik. Sebaliknya, seseo-rang yang telah terbiasa berbuat bajik semasa hidupnya, maka sedikit sekali kemungkinan-nya untuk memiliki asanna kamma yang jelek. Menurut agama Buddha, karma ini sangat menentukan jenis kelahiran mendatang dari orang yang sedang berada di ambang pintu kema tian, yaitu apakah ia akan dilahirkan kembali dalam alam sengsara atau dalam alam bahagia, tergantung pada karma ini.
Misalnya Sdr/i, suatu contoh yang sebenarnya jarang terjadi, seseorang yang biasa berbuat jahat dan pada saat kematiannya ia teringat akan beberapa perbuatan baiknya yang pernah ia lakukan; kemudian ia mati dengan pikiran yang berdiam pada ingatan akan perbu-atan baiknya itu, maka ia akan terlahir kembali dalam alam bahagia karena kekuatan asanna kammanya itu. Namun, meskipun demikian, ia tidak dapat lama menikmatinya dan segera akan disusul dengan akibat-akibat buruk dari perbuatan-perbuatan jahatnya yang telah ia laku kan sepanjang masa hidupnya yang lampau. Berkenaan dengan hukum kamma macam ini, Sang Buddha telah mengumpamakan dengan sekumpulan sapi yang berada di sebuah kan-dang tertutup. Sapi yang berada di ambang pintu pasti yang akan keluar terlebih dahulu apa-bila pintunya dibuka betapapun tua dan lemahnya sapi itu. Namun, tidak lama kemudian, sa-pi-sapi yang kuat akan dapat segera menyusul dan meninggalkannya di belakang.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, jenis keempat dari penggolongan kamma menurut bobotnya adalah yang disebut Kattata Kamma. Kattata kamma adalah suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan kehendak tertentu, dan perbuatan ini dilakukan hanya sekali saja atau beberapa kali namun bukan perbuatan yang dilakukan terus menerus seperti pada Bahula atau Acinna kamma. Dengan kata lain, semua perbuatan yang tidak termasuk klasifikasi Garuka kamma, Bahula atau Acinna kamma, serta Asanna kamma, adalah dikelompokkan dalam Kattata kamma ini.
Untuk jelasnya, misalnya ada seseorang yang memberikan dana makanan kepada orang lain, dan perbuatan ini dilakukannya hanya sekali atau dua kali sebulan dengan waktu yang tidak tetap. Begitu pula dengan orang lain yang melakukan perbuatan salah seperti membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, dan perbuatan-perbuatan jahat lainnya yang dilaku-kan hanya sekali atau beberapa kali saja. Semua perbuatan positif atau negatif tersebut di atas ini dikelompokkan dalam Kattata kamma.
Sdr/i, Kattata kamma ini digolongkan sebagai karma yang paling lemah di antara se-mua karma yang lainnya dan akan memberikan akibatnya apabila karma lainnya tidak ada. Sebagai contoh mengenai Kattata kamma ini misalnya ada seorang petani yang melemparkan batu ke arah sekumpulan burung yang memakan padinya. Tujuannya hanyalah untuk meng-usir burung-burung itu, dan bukan untuk membunuh mereka. Namun, ternyata batu itu me-ngenai kepala seekor itik yang berada di sekitar tempat itu sehingga akibatnya itik tersebut mati. Dalam hal ini, karma petani itu digolongkan sebagai Kattata kamma. Dalam kasus-ka-sus semacam ini, karma tidak dapat dinilai semata-mata hanya berdasarkan atas ukuran aki-bat-akibatnya saja, tetapi motif atau kehendak yang berada di belakang perbuatan itu juga harus dipertimbangkan. Oleh sebab itu, Kattata kamma hanya memiliki kemampuan yang amat kecil bila dibandingkan dengan karma-karma lain dalam menghasilkan akibatnya.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah pembahasan dan perenungan Dham-ma kita pada hari ini yang berjudul ‘Karma Menurut Kekuatannya’. Dan, bagi Sdr/i yang masih belum jelas, dapat membahasnya kembali setelah selesainya kebaktian ini. Terima kasih!
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk berbahagia!
Sädhu! Sädhu! Sädhu!
____________________

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-