Senin, 25 Februari 2008

Alam Semesta Dan Kiamat

ALAM SEMESTA DAN KIAMAT

Sdr/i sekalian, sebenarnya sudah sejak lama manusia berusaha terus menerus untuk memahami alam semesta ini. Contohnya pada jaman Babylonia, pada waktu itu orang berang-gapan bahwa alam semesta ini seperti suatu ruangan atau selungkup dan bumi kita ini datar seperti papan sebagai lantainya alam semesta tadi, sedangkan langit dengan bintang-bintang sebagai atapnya di mana di situ terdapat semacam jendela sehingga air hujan dapat jatuh dan sampai ke bumi. Pendapat ini berkembang terus sampai kira-kira pada tahun 600 hingga 200 sebelum masehi. Dan, mulai tahun itulah bermunculan ahli-ahli perbintangan yang saling me-ngemukakan pendapat mereka sendiri, misalnya:
1. Thales (624 SM – 546 SM)
Dia berpendapat bahwa bumi ini merupakan suatu piring yang datar yang terapung di atas air. Pendapat ini diyakini oleh orang-orang pada saat itu.
2. Anaximander (610 SM – 546 SM)
Dia berpendapat bahwa alam semesta ini berbentuk bola dan bumi yang kita pijak ini ada-lah sebagai pusatnya. Pendapat ini bertahan sampai dua abad lamanya.
3. Pythagoras (kira-kira 500 SM)
Dia berpendapat bahwa bumi ini bulat dan berputar, dan karena berputar, maka nampak-nya seolah-olah alamlah yang berputar mengelilingi bumi.
4. Ptolomeus (127 – 151)
Pendapatnya adalah bumi merupakan pusat dari jagad raya, berbentuk bulat, diam setim-bang tanpa tiang penyangga. Bintang-bintang menempel pada langit dan berputar menge-lilingi bumi sekali dalam 24 jam. Planet beredar melalui orbitnya sendiri dan terletak an-tara bumi dan bintang. Pendapat Ptolomeus ini bertahan sampai kira-kira abad 15, yaitu pada jaman Nikolaus Copernicus.
5. Nikolaus Copernicus
Dia berpendapat bahwa:
1) Matahari adalah pusat dari sistem tata surya. Di dalam sistem itu, bumi adalah salah satu di antara planet-planet lain yang beredar mengelilingi matahari.
2) Bulan beredar mengelilingi bumi dan sekaligus bersama-sama bumi mengelilingi ma-tahari.
3) Bumi berputar pada porosnya dari barat ke timur, yang mengakibatkan terjadinya siang dan malam, dan pandangan gerakan bintang-bintang.
Namun, apa yang dikemukakan oleh Copernicus ini, yang ditulis dalam sebuah buku yang berjudul ‘De Revolutionibus Orbium Caelestium’ pada tahun 1507, tidak langsung diu-mumkan karena prinsip heliosentrisme (matahari sebagai pusat alam semesta) bertentang-an dengan kepercayaan penguasa pada waktu itu.
6. Bruno (1548 – 1600)
Pendapat Copernicus tadi, kemudian dianut oleh Bruno dan memperoleh kesimpulan yang lebih jauh lagi yaitu:
1) Jagad raya ini tidak ada batasnya.
2) Bintang-bintang tersebar di seluruh jagad raya.
Karena keberanian Bruno mengutarakan pendapat ini, yang bertentangan dengan pengua-sa pada waktu itu, maka ia dianggap kemasukan setan dan kemudian ia dibakar oleh penguasa sampai mati.
7. Johanes Kepler (1571 – 1630)
Dia berpendapat bahwa:
1) Planet-planet beredar mengelilingi matahari pada suatu garis edar yang berbentuk elip dengan suatu fokus.
2) Bila ditarik garis imaginasi dari planet ke matahari, dan sementara itu ia bergerak me-nurut garis edarnya, maka luas bidang yang ditempuh pada jangka waktu yang sama adalah sama.
Sdr/i sekalian, dari pendapat-pendapat para ahli tersebut tadi, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka baru berpendapat bahwa alam semesta ini hanya terdiri dari satu matahari, bumi, planet yang lainnya, dan bulan saja. Kemudian, jaman terus berjalan dan ma-nusia bertambah pandai daya pikirnya, barulah pada jaman modern ini terungkap bahwa alam semesta ini terdiri lebih dari satu matahari atau lebih dari satu tatasurya. Apakah tatasurya itu?
Sdr/i yang berbahagia, tatasurya adalah suatu organisasi yang teratur pada matahari. Seperti yang kita ketahui bahwa matahari dikelilingi oleh planet-planet dan planet-planet itu dikelilingi oleh satelit-satelit. Satelit ini bersama-sama dengan planet mengelilingi matahari. Planet yang kita pijak ini adalah bumi, dan satelit kita adalah bulan. Dalam tatasurya kita ini terdapat sembilan planet yang terdiri dari tiga planet dalam, yaitu Mercury, Venus, Bumi, dan enam planet luar yaitu: Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto. Sekarang, bagaima-nakah pandangan agama Buddha berkenaan dengan alam semesta ini? Sdr/i, dalam pandangan Buddhis, alam semesta ini ternyata luas sekali tanpa ujung dan pangkal. Dalam alam semesta ini terdapat banyak sekali tatasurya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini seperti yang tertulis dalam kitab Anguttara Nikaya, Ananda Vagga, sebagai berikut:
“Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika lokadhatu (tata surya kecil)? ….
Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancar-an sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tatasurya kecil. Di dalam seribu tatasurya kecil terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu Jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavideha …. Itulah Ananda, yang dinamakan seribu tatasurya kecil (sahassi Culanika lokadhatu).
Ananda, seribu kali sahassa Culanika lokadhatu, dinamakan dvisahassi Majjhimanika lokadhatu.
Ananda, seribu kali dvisahassi Majjhimanika lokadhatu, dinamakan tisahassi Maha-sahassi lokadhatu.
Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka Ia dapat memperdengarkan suaraNya sampai terdengar di tisahassi Mahasahassi lokadhatu ataupun melebihi itu lagi”.
Sdr/i sekalian, demikianlah sabda Sang Buddha atas pertanyaan dari Bhikkhu Ananda. Dan, dari kutipan sabda Sang Buddha tadi, maka di dalam dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tatasurya. Sedangkan dalam tisahassi Mahasahassi loka-dhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tatasurya. Oleh karena itu, seperti yang telah disabdakan oleh Sang Buddha, ternyata alam semesta ini bukan terbatas pada satu milyard tatasurya saja, tetapi lebih dari itu. Jadi, 6 abad sebelum masehi, Sang Buddha Gota-ma telah mengutarakan tentang alam semesta dan tatasurya. Betapa hebatnya Sang Buddha, tanpa alat yang modern sudah dapat mengetahui tentang adanya alam semesta dan tatasurya. Sang Buddha dengan tingkat kebuddhaanNya dapat menembus ke alam lain bahkan ke tata-surya lain di luar tatasurya tempat Sang Buddha berdiam.
Sdr/i seDhamma, setelah kita mempelajari dan mengetahui tentang alam semesta dan tatasurya, sekarang bagaimanakah menurut agama Buddha tentang terjadinya bumi dan manu-sia? Sdr/i, terjadinya bumi dan manusia menurut pandangan Buddhis merupakan konsep yang sangat unik dan menarik sekali untuk dipelajari. Mungkin sebagian besar dari umat Buddha belum mengetahui tentang ajaran dalam agama Buddha tentang kejadian bumi dan manusia yang pertama. Apakah Sang Buddha juga mengajarkan hal tersebut? Itulah kira-kira pertanya-an mereka dalam diri masing-masing. Semua itu dikarenakan kita tidak pernah mendengar atau bahkan tidak ada yang menceritakan kepada umat tentang terjadinya bumi dan manusia yang pertama. Hal itu disebabkan karena sangat sulit untuk menyampaikannya bagi si pence-rita dan sangat sulit bagi si pendengar untuk menerimanya. Mengapa? Sebab, kita sudah terbi-asa dengan hal-hal yang sangat mudah untuk diterima dan dicerna dalam otak/pikiran kita.
Sdr/i, dalam pandangan Buddhis, terjadinya manusia pertama adalah terdiri dari ba-nyak manusia, bukan hanya seorang atau dua orang saja. Dalam Aganna Sutta hal tersebut di-terangkan demikian:
“…………………………………………………………………………………………………….
Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah selang suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur, dan bilamana hal ini terjadi, umumnya makhluk-makhluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya), di sana mereka hidup dari cip-taan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup secara demikian dalam masa yang lama sekali.
Vasettha, terdapat juga suatu saat, cepat atau lambat, setelah selang suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini mulai terbentuk kembali, dan ketika hal ini terjadi, makhluk-makhluk yang mati di Abhassara (alam cahaya), biasanya terlahir kembali di sini sebagai manusia. Mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiur-an, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam keme-gahan. Mereka hidup secara demikian dalam masa yang lama sekali.
Pada waktu itu semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bu-lan yang tampak, tidak ada bintang-bintang atau konstelasi-konstelasi yang kelihat-an, siang maupun malam belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum ada, tahun maupun musim-musim belum ada, laki-laki maupun perempuan belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk saja.
Vasettha, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali bagi makhluk-makhluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah mun-culnya tanah itu. Tanah itu mempunyai warna, bau, dan rasa. Sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tanah itu, sama seperti madu tawon mur-ni, demikianlah manisnya tanah itu.
Kemudian Vasettha, di antara makhluk-makhluk yang memiliki pembawaan sifat sera-kah (lolajatiko) berkata:’O, Apakah ini?’ dan mencicipi dengan jarinya. Dengan men-cicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu dan nafsu keinginan masuk dalam dirinya. Dan makhluk-makhluk yang lain mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari mereka. Dengan mencicipinya, mereka diliputi oleh sari tanah itu, dan nafsu keinginan masuk ke dalam diri mereka. Maka makhluk-makhluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan ta-ngan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh makhluk-makhluk itu menjadi lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bin-tang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak. Demikian pula dengan siang dan ma-lam, bulan dan pertengahan bulan, musim-musim dan tahun-tahun pun terjadi. Demi-kianlah Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.
Vasettha, selanjutnya, makhluk-makhluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hi-dup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasar-kan takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwu-lah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang in-dah dan sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah pada mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk, dengan berpikir:’Kita lebih indah da-ripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita’. Sementara mereka bangga akan keindahan mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka sari tanah itu pun lenyap. Dengan lenyapnya sari tanah itu, mereka berkumpul bersama-sama dan me-ratapinya:’Sayang lezatnya! Sayang lezatnya!’ Demikian pula sekarang ini, apabila orang menikmati rasa enak, ia akan berkata:’O, lezatnya! O, lezatnya!’ sesungguhnya yang mereka ucapkan ini hanyalah mengikuti ucapan mereka masa lampau, tanpa me-reka mengetahui makna dari kata-kata itu.
Kemudian Vasettha, ketika sari tanah lenyap bagi makhluk-makhluk itu, muncullah tumbuhan dari tanah (bhumi pappatiko). Cara tumbuhnya adalah seperti tumbuhan cendawan. Tumbuhan ini mempunyai warna, bau, dan rasa, seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tumbuhan itu, sama seperti madu tawon mur-ni, demikianlah manisnya tumbuhan itu. Kemudian makhluk-makhluk itu mulai makan tumbuh-tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka berkembang menjadi lebih padat, dan perbedaan tu-buh mereka nampak lebih jelas, sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan, karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk dengan berpikir:’Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita’. Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itupun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul, dan cara tumbuhnya adalah seperti bambu. Tumbuhan ini memiliki warna, bau, dan rasa, seperti dadi susu mentega murni, demikianlah warna tumbuhan itu, sama seper-ti madu tawon murni, demikianlah manisnya tumbuhan itu.
Kemudian Vasettha, makhluk-makhluk itu mulai makan tumbuhan menjalar tersebut. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar ter-sebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas, sebagian nampak in-dah dan sebagian nampak buruk. Dan, karena keadaan ini, maka mereka yang memi-liki bentuk tubuh indah memandang rendah pada mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk dengan berpikir:’Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripa-da kita’. Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itupun lenyap. Dengan lenyapnya tumbuhan menjalar itu, mereka berkumpul bersama-sama dan meratapinya:’Kasihan-ilah kita, milik kita hilang!’ Demikian pula sekarang ini, bilamana orang-orang dita-nya apa yang menyusahkan mereka, maka mereka menjawab:’Kasihanilah kita! Apa yang kita miliki telah hilang!’ sesungguhnya yang mereka ucapkan itu hanyalah mengikuti ucapan pada masa lampau, tanpa mengetahui makna dari kata-kata itu.
Kemudian Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap bagi makhluk-makhluk itu, muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak dalam alam terbuka (akattha pako), tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Bilamana pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, maka keesokan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bilamana pagi hari mereka me-ngumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.
Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbu-ka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbeda-an bentuk tubuh mereka tampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan tentang keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan kea-daan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indera yang membakar tubuh mereka. Dan, sebagai akibat dari adanya nafsu indera tersebut, mereka mela-kukan hubungan kelamin (methuna).
……………………………………………………………………………………………………”.
Sdr/i, itulah tadi sebagian dari sabda Sang Buddha dalam Aganna Sutta yang mene-rangkan tentang kejadian bumi dan manusia pertama. Dari uraian tadi jelaslah bahwa menurut agama Buddha, bumi kita yang sekarang ini adalah bumi yang kesekian kalinya terjadi. Dan, pada saat bumi ini hancur, makhluk-makhluk yang ada di bumi ini pada umumnya terlahir kembali di alam brahma Abhassara atau alam cahaya. Dan, setelah dunia ini terbentuk kemba-li, makhluk-makhluk yang ada di alam brahma Abhassara yang mati, terlahir kembali di alam manusia. Mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya).
Pada waktu itu bumi kita terdiri dari air dan gelap gulita, belum ada matahari yang nampak, bulan juga belum nampak, siang dan malam juga belum ada. Belum mengenal tahun, belum mengenal musim, dan juga belum ada laki-laki dan wanita. Makhluk yang ada di bumi hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja. Setelah dalam waktu yang lama sekali sari ta-nah muncul dari dalam air, dan di antara makhluk-makhluk yang memiliki pembawaan sifat serakah (berarti jumlah makhluk lebih dari satu) tergiur oleh sari tanah tersebut dan mencicip-inya. Dan, sebagian makhluk yang lainnya ikut-ikutan menikmati sari tanah tadi. Dengan per-buatan mereka ini maka sari tanah masuk dalam diri mereka serta nafsu keinginan timbul da-lam diri mereka. Dan setelah kejadian itu cahaya pada tubuh mereka hilang/lenyap, dan de-ngan lenyapnya cahaya dari tubuh mereka maka matahari, bulan, dan bintang-bintang mulai nampak.
Setelah memakan waktu yang lama sekali, makhluk-makhluk tadi bentuk tubuh mere-ka menjadi padat dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Kemudian di bumi ini seca-ra bergantian, dalam waktu yang lama, muncul berbagai jenis tumbuhan yang semakin mema-datkan bentuk tubuh makhluk-makhluk dan perbedaan jenis makhluk-makhluk tersebut men-jadi lebih jelas lagi, sampai pada jenis kelamin mereka. Demikianlah kejadian bumi dan manusia menurut agama Buddha.

KIAMAT

Kita telah sering mendengar kata ‘kiamat’ dalam pembicaraan sehari-hari di dalam masyarakat. Tetapi, bagaimanakah kiamat itu menurut pandangan Buddhis? Sebelum kita bi-carakan apakah kiamat itu, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu arti dari kata ‘kiamat’ itu sendiri. Kalau kita lihat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ejaan baru, susunan WJS Poerwadarminta, kata ‘kiamat’ mempunyai dua arti, yaitu:
1. Hari yang terakhir dalam kehidupan ini, yaitu pada ketika orang-orang yang telah mening-gal dihidupkan kembali untuk diadili perbuatan mereka yang sudah-sudah.
2. Akhir zaman, yaitu dunia seisinya rusak binasa dan lenyap.
Dari dua arti tadi, kita sebagai umat Buddha tentu tidak akan memilih arti yang perta-ma dan akan memilih arti yang kedua. Sebab, pada arti yang kedua, sesuai dengan ajaran dari Yang Maha Sempurna Sang Buddha Gotama, yaitu ‘Sabbe Sankhara Anicca’ yang artinya ‘Segala perwujudan yang ada di alam semesta ini dicengkeram oleh Hukum Ketidakkekalan’.
Pada suatu saat, bumi kita ini pasti akan hancur lebur dan habis. Tetapi, hancur leburnya bumi kita ini atau yang disebut dengan kiamat, bukan berarti akhir dari kehidupan kita, sebab di alam semesta ini tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi tempat kehidupan manusia berlangsung bukanlah hanya bumi kita ini saja akan tetapi ada banyak sekali bumi lain yang terdapat di alam semesta ini dalam tatasurya yang tersebar banyak sekali.
Terjadinya kiamat tertulis dalam kitab Anguttara Nikaya bagian Sattakanipata yaitu sebagai berikut: mula-mula diawali dengan musim kemarau yang lama sekali, dan dengan ter-jadinya kemarau yang panjang ini maka semua tanaman yang ada di bumi ini menjadi layu, kering, dan akhirnya mati. Kemudian pada suatu masa yang lama sekali, seiring dengan ber-langsungnya musim kemarau yang panjang sekali, muncullah matahari yang kedua di bumi ini, kemudian matahari yang ketiga, keempat, kelima, keenam, dan ketujuh muncul di bumi kita ini. Pada waktu matahari yang ketujuh muncul di dunia ini, bumi kita ini terbakar hingga hancur menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.
Kemudian timbul pertanyaan dalam diri kita, darimanakah munculnya matahari kedua, ketiga, dan seterusnya sampai matahari yang ketujuh? Apakah muncul begitu saja? Sdr/i, Sang Buddha telah mengajarkan kepada murid-muridNya, bahwa tatasurya di alam semesta ini tidak hanya satu, akan tetapi banyak sekali tatasurya yang berarti banyak sekali matahari di alam semesta ini. Meskipun kita melihat bahwa matahari itu seolah-olah diam/tidak berge-rak terhadap bumi kita, akan tetapi sebenarnya matahari itu bergerak kalau kita tinjau dari alam semesta. Dan, menurut ilmu pengetahuan sekarang ini, matahari juga melalukan rotasi (bergerak pada sumbunya). Berjuta-juta tatasurya, matahari, planet, dan satelit bergerak atau beredar menurut garis orbit mereka masing-masing. Pada suatu saat yang lama sekali, di anta-ra berjuta-juta tatasurya atau matahari akan saling mendekat garis edarnya satu sama lain. Dan, karena garis edarnya lebih dekat, maka pusat tatasurya yang lain, selain tatasurya tempat kita berada, terlihat dari bumi. Sinarnya yang panas pun akan sampai pada bumi kita ini. Kita sudah merasakan sekarang bagaimana panasnya dari sinar satu matahari. Apa jadinya kalau tujuh matahari menyinari bumi kita ini bersama-sama.
Untuk lebih meyakinkan kita, apakah Sang Buddha benar-benar mengajarkan tentang kiamatnya bumi kita ini, marilah kita ikuti cuplikan dari sabda Sang Buddha yang tertulis se-bagai berikut:
“Para bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan, pohon-pohon pa-lem, dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering, dan mati …………………. Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang la-ma, matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering, dan tiada ………………………………………………………………………………………… Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang la-ma, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai be-sar, yaitu sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu, dan Mahi surut, kering, dan tiada ………………………………………………………………………………………………. Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang la-ma, matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapatata, Rahta-kara, Kannamunda, Xunala, Chaddanta, dan Mandakini, surut, kering, tiada ………. Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang la-ma, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air Mahasamu-dra surut 100 yojana (yojana adalah semacam ukuran yang ada di masa Sang Buddha yang jauhnya kira-kira 7 mil), lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yo-jana, 600 yojana, 700 yojana. Air Mahasamudra tersisa sedalam 7 pohon palem, 6,5, 4, 3, 2 pohon palem dan akhirnya hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya air Mahasamudra tersisa sedalam tinggi 7 orang, 6,5,4,3,2, dan akhirnya hanya seda-lam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.
Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapai, demikianlah, di mana-mana air yang tersisa dari Mahasamudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang la-ma, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini de-ngan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan, memuntahkan, dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran periuk yang menge-luarkan, memuntahkan, dan menyemburkan asap, begitulah yang terjadi dengan bumi ini.
Demikianlah para bhikkhu, semua bentuk perpaduan (Sankhara) apapun adalah tidak kekal, tidak abadi, atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua ben-tuk perpaduan itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal tersebut.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang la-ma, matahari ketujuh muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung terbakar, menyala, berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam brahma. Demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan gunung Sineru ter-tiup angin sampai ke alam brahma. Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru seting-gi 1,2,3,4,5, ratus yojana terbakar dan menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar, bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun api yang tersisa. Bagai-kan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa, demikian pula dengan gu-nung Sineru hangus terbakar hingga bara maupun debu tidak tersisa sama sekali.
Demikianlah cuplikan sabda Sang Buddha tentang kiamat. Akan tetapi, yang dimak-sud kiamat di sini hanyalah yang terjadi di bumi kita ini, sedangkan planet yang lain, yang ada pada tatasurya yang lain, masih tetap ada. Adapun kehidupan yang ada di bumi pada saat ter-jadinya kiamat berakhir (mati) dan pada umumnya akan terlahir kembali di alam Abhassara. Mungkin akan timbul dalam pikiran kita, apakah hanya karena kejadian alam saja maka bumi ini akan hancur atau kiamat? Apakah tidak mungkin kehancuran bumi ini disebabkan karena ulah manusia? Seperti misalnya karena perang nuklir, yang menurut para ahli di bidang nuklir kalau terjadi perang nuklir maka paling tidak, dua pertiga dari bumi ini hangus dan terbakar. Kita sebagai umat Buddha yakin, bukan karena manusia bumi ini akan musnah ataupun han-cur, karena sepandai-pandainya manusia, sekuat-kuatnya manusia, tidak akan dapat menga-lahkan kekuatan alam, selama saat kehancuran alam belum tiba atau sampai.

Tidak ada komentar: