Kamis, 28 Februari 2008

Bulan Dana Kathina

BULAN DANA, BULAN KATHINA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
NATTHI CITTE PASANNAMHI APPAKA NAMA DAKKHINA.
Suatu pemberian tak pernah memiliki nilai yang kecil bila diberikan dengan kesungguhan hati.
Khuddakanikaya Vimanavatthu.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah membaca Paritta dan bermeditasi, marilah kita se-karang mengarahkan perhatian dan konsentrasi guna mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma yang pada hari ini berjudul ‘Bulan Dana, Bulan Kathina’. Jadi sekali lagi Sdr/i sekalian, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Bulan Dana, Bulan Kathina’, karena berkenaan untuk menyambut bulan Kathina pada tahun ini.
Sdr/i sekalian, istilah ‘bulan dana’ pasti sudah biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Yang paling populer adalah bulan dana PMI, di mana pada saat itu PMI mengumpulkan dana dari masyarakat dengan berbagai cara. Ada yang menjual sticker lewat karcis tanda masuk di gedung-ge-dung pertunjukan; ada lagi yang dengan cara meminta sumbangan suka rela dari masyarakat; kemu-dian ada yang dengan cara mengedarkan map-map yang berisi formulir permohonan dana di seko-lahan-sekolahan; atau dengan cara-cara yang lainnya lagi. Sdr/i, kegiatan ini bersifat suka rela dan tidak memaksa. Namun, kalaupun dalam praktiknya ada petugas yang memaksa masyarakat untuk membeli sticker atau barang-barang lainnya tadi, itu merupakan masalah yang lain lagi.
Sdr/i yang berbahagia, di dalam agama Buddha, ternyata juga terdapat yang namanya bulan dana seperti itu walaupun maknanya tentu berbeda. Bulan dana di dalam agama Buddha ini tidak menggunakan istilah ‘bulan dana umat Buddha’ atau ‘bulan berdana bagi umat Buddha’ atau dengan istilah yang lainnya lagi, karena masa satu bulan yang merupakan bulan dana tersebut, sudah dikenal dengan istilah ‘bulan Kathina’ atau ‘masa Kathina’. Bulan Kathina ini selalu hadir antara bulan Ok-tober dan bulan Nopember, yakni setelah ‘masa Vassa’ berakhir. Pada saat tersebut adalah masa yang tepat bagi umat Buddha untuk memberikan dana kepada para bhikkhu yang telah menjalankan Vassa; dan tentang arti ‘masa Vassa’ ini Sdr/i, dahulu sudah pernah dijelaskan, dan nanti dapat dije-laskan lagi dalam diskusi Dhamma kita.
Sdr/i seDhamma sekalian, sebenarnya masa Kathina merupakan bulan terakhir dari musim hujan. Sang Buddha memberikan ijin kepada para bhikkhu bahwa satu bulan terakhir dari musim hujan merupakan waktu untuk mencari kain atau bahan jubah yang baru, guna mengganti jubah lama yang telah robek. Sdr/i sekalian, kalau dibayangkan, memang kehidupan di jaman Sang Bud-dha tentu tidak sama dengan kehidupan di jaman sekarang. Dalam kitab-kitab suci banyak dicerita-kan tentang kehidupan di jaman Sang Buddha ini. Ada orang yang kaya raya, ada raja yang menjadi sponsor atau yang menyokong kehidupan para bhikkhu, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tentu saja tidak semua bhikkhu hidup dari bantuan orang kaya atau raja yang memerintah.
Sdr/i sekalian, para bhikkhu yang hidup di daerah yang makmur, yang didukung oleh orang kaya atau raja, tentu tidak akan kesulitan untuk mendapatkan empat kebutuhan pokok. Nampaknya umat Buddha pada jaman Sang Buddha ini selalu menyediakan empat kebutuhan pokok tersebut de-ngan baik. Tetapi, untuk jubah, para bhikkhu pada umumnya mengumpulkan kain-kain bekas pem-bungkus mayat. Kain pembungkus mayat ini dikenal dengan nama ‘pamsukula’. Kain-kain tersebut dikumpulkan dan dijahit menurut ketentuan yang ada untuk menjadi jubah. Pembuatan jubah ini bia-sanya dilakukan pada masa Kathina; dan untuk mewarnai serta memotong kain tersebut, diperlukan alat berupa bingkai untuk membentang kain jubah tersebut, bingkai ini juga dikenal dengan nama Kathina.
Sdr/i sekalian, masa Kathina merupakan satu kurun waktu yang cukup baik bagi umat Bud-dha untuk mempraktikkan perbuatan baik terutama dengan cara berdana. Mengapa demikian? Kare-na seperti yang sudah sering kita ketahui, bahwa ladang yang paling baik untuk menerima dana ada-lah Savgha atau persamuan para bhikkhu. Dalam Savghanussati atau perenungan terhadap kualitas Savgha dinyatakan demikian ‘lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta’. Tentu saja banyak juga tempat lain seperti panti asuhan, rumah jompo, dan sebagainya lagi yang juga merupakan tempat-tempat yang cukup baik atau pantas untuk menerima dana.
Sdr/i seDhamma, dalam masa satu bulan tersebut, umat memilih satu hari tertentu untuk me-rayakan upacara Kathina. Pemilihan hari tersebut tergantung dari umat sendiri, di samping juga ke-sediaan para bhikkhu yang akan menghadiri upacara Kathina yang diadakan itu.
Sdr/i sekalian, lalu apa saja yang bisa diberikan atau yang bisa didanakan kepada para bhik-khu pada saat upacara Kathina Puja ini? Sdr/i, pertanyaan ini sering muncul dan kadang-kadang menjadi pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh diri sendiri karena memang tidak tahu jawaban-nya. Sdr/i, untuk hal ini, dana yang dapat kita berikan adalah bisa berupa empat kebutuhan pokok para bhikkhu, yaitu: jubah atau bahan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Empat ke-butuhan pokok tersebut merupakan kebutuhan minimal bagi semua orang. Tetapi, dalam hal ini, pe-ngertian memberikan kebutuhan berupa tempat tinggal di sini bukan berarti membawa rumah BTN atau rumah dengan sistem ‘knock down’ yang kini sedang populer itu. Bukan demikian! Pengertian tempat tinggal di sini berarti ‘kuti’ yang ada di vihara, yang merupakan sumbangan umat ketika da-lam pembangunannya.
Sdr/i sekalian, di samping itu, umat juga dapat memberikan keperluan yang lainnya seperti sabun, sikat gigi, handuk, pasta gigi, dan benda-benda lainnya yang masih bisa dikatakan untuk ke-perluan bhikkhu. Kemudian, banyaknya dana yang kita berikan kepada para bhikkhu tersebut juga tergantung pada pribadi kita sendiri, tergantung pada kerelaan kita, dan faktor-faktor lainnya yang ada di dalam batin kita sendiri.
Sdr/i seDhamma sekalian, akibat banyaknya umat Buddha yang merayakan Kathina ini, maka vihara-vihara yang cukup besar dan terkenal bisa menjadi seperti super market. Sabun, pasta gigi, sikat gigi, handuk, kain putih, dan sebagainya lagi menjadi sangat banyak. Tentu saja hal terse-but tidak semuanya digunakan oleh para bhikkhu, dan tentunya para bhikkhu juga tidak mungkin menjualnya kembali. Akhirnya, dana tersebut disalurkan kembali kepada umat yang memerlukan di daerah-daerah atau diserahkan ke panti asuhan. Oleh karena itu, akhirnya dalam beberapa tahun be-lakangan ini, umat lebih senang memberikan uang. Hal ini disebabkan karena umat tidak tahu ten-tang apa saja yang sedang dibutuhkan oleh para bhikkhu pada saat itu, apakah untuk pendidikan para calon bhikkhu di luar negeri, atau untuk membantu pembangunan beberapa vihara di daerah, ataupun untuk membantu para guru agama yang bertugas di daerah dengan honor yang minim. Jadi, kalau dengan berdana berupa uang, tentu dapat lebih bisa dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan yang ada atau yang harus dipenuhi.
Sdr/i sekalian, perlu juga diketahui, bahwa dana yang akan dipersembahkan pada saat Kathi-na ini adalah bukan hanya untuk para bhikkhu tertentu saja atau hanya kepada bhikkhu yang dise-nangi ataupun hanya kepada para bhikkhu yang sering memberikan khotbah-khotbah Dhamma di vihara. Bukan, bukan hanya untuk itu saja. Tetapi, dana tersebut sesungguhnya adalah dipersembah-kan kepada Savgha. Jadi kepada Savgha. Dana tersebut dipersembahkan kepada Savgha, bukan ke-pada pribadi bhikkhu yang hadir dalam perayaan tersebut.
Sdr/i seDhamma, namun, karena terbatasnya jumlah bhikkhu yang ada di Indonesia, maka hal ini menyebabkan upacara Kathina Puja yang dilaksanakan oleh umat Buddha di Indonesia hanya bisa dihadiri oleh seorang atau dua orang bhikkhu saja. Tetapi walaupun demikian, perayaan Kathi-na tetap bisa berlangsung di vihara-vihara dan para bhikkhu juga tetap berusaha untuk hadir dalam perayaan tersebut. Di samping itu, sesungguhnya juga terdapat beberapa pilihan dalam upacara Ka-thina yang dapat dilakukan oleh umat Buddha. Upacara-upacara pilihan tersebut adalah sebagai beri-kut ini:
1. Upacara civara dana di masa Kathina
Dalam hal ini dana yang kita persembahkan adalah berupa bahan jubah atau jubah, di samping juga ada dana-dana yang lainnya kepada Savgha. Upacara ini dapat berlangsung walaupun hanya dihadiri oleh seorang bhikkhu yang mewakili Savgha.
2. Upacara dana di masa Kathina
Dalam hal ini dana yang dapat kita persembahkan berupa keperluan para bhikkhu, dengan tanpa jubah atau bahan jubah. Upacara ini dapat dilaksanakan walaupun hanya dihadiri oleh seorang atau dua orang bhikkhu.
3. Upacara Savgha dana di masa Kathina
Dalam upacara ini biasanya dihadiri oleh empat atau lima orang bhikkhu yang mewakili Savgha; dan persembahan yang dapat kita berikan adalah berupa keperluan para bhikkhu serta jubah dan bahan jubah.
Sdr/i, salah satu dari tiga pilihan upacara Kathina tersebut dapat dilakukan pada salah satu hari di masa Kathina, sehingga dengan demikian kita telah berusaha untuk melaksanakan perbuatan baik melalui berdana.
Sdr/i, selain itu, walaupun persembahan atau dana yang kita berikan mungkin tidak banyak, namun pikiran yang menyertai persembahan tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada akibatnya. Jadi, persembahan yang diberikan hendaknya disertai dengan kehendak (cetana) yang baik, yaitu pada saat sebelum memberi dana, pada saat memberi dana, dan pada saat sesudah memberi dana. Hal ini akan dapat memberikan buah yang lebih besar daripada mereka yang membe-ri dengan tujuan atau dengan niat yang kurang baik. Namun Sdr/i sekalian, penjelasan pengertian ini bukanlah ‘iming-iming’ bagi Sdr/i yang ada di sini supaya mencari buah kamma yang sebesar-besar-nya. Bukan, bukan itu maksudnya.
Sdr/i seDhamma, setelah tadi kita mengetahui ada tiga jenis upacara dalam Kathina ini, lalu bagaimanakah sesungguhnya yang disebut dengan upacara Kathina yang sebenarnya itu? Sdr/i seka-lian, upacara Kathina yang sebenarnya, dalam arti yang sesuai dengan Vinaya, adalah upacara per-sembahan bahan jubah dan pembuatan jubah Kathina. Upacara ini hanya dapat berlangsung jika pada masa vassa berdiam lima orang bhikkhu di satu vihara. Apabila kurang dari lima bhikkhu, maka umat tidak bisa melaksanakan upacara Kathina yang sebenarnya ini. Di Indonesia, upacara Kathina Puja yang sebenarnya ini pernah dilaksanakan untuk pertama kalinya di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya di Jakarta yaitu pada tahun 1988 dan menyusul kemudian pada tahun-tahun yang lain di beberapa tempat yang lain.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, namun, walaupun mungkin di daerah kita sekarang ini ti-dak bisa berlangsung upacara Kathina Puja dalam arti yang sebenarnya tersebut, tetapi kesempatan yang ada untuk berdana sebaiknya tidak kita lewatkan begitu saja. Bahkan, sampai kelak setelah ma-sa Kathina ini berakhir, kita juga hendaknya masih terus melakukan perbuatan baik dengan cara ber-dana atau dengan cara yang lainnya lagi. Jadi, kesempatan untuk berbuat baik ini tidak akan bera-khir. Ladang untuk berbuat baik cukup banyak, demikian pula cara untuk berbuat baik. Semuanya itu dapat kita kembangkan dalam kehidupan sekarang ini juga.
Sdr/i seDhamma sekalian yang berbahagia, tentunya kita semua yang berada di sini sudah siap untuk menyambut perayaan Kathina pada bulan ini, baik di vihara kita sendiri atau juga di viha-ra-vihara yang lainnya. Untuk hal ini, kami mengucapkan ‘Selamat Hari Kathina’. Semoga perbuat-an baik yang telah kita kembangkan dapat menghasilkan kebahagiaan bagi semua pihak selain juga kebahagiaan bagi diri kita sendiri. Terima kasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
___________________

Sumber Acuan: dikutip dari berbagai sumber dengan gubahan seperlunya.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

Berbohong

BERBOHONG

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
NATTHI AKARIYAM PAPAM MUSAVADISSA JANTUNO.
Seorang pembohong tak pernah akan ragu-ragu berbuat jahat.
Khuddakanikaya Itivuttaka.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita tadi membaca Paritta dan bermeditasi, maka marilah sekarang kita pusatkan perhatian dan konsentrasi kita untuk bersama-sama pula mengisi kebaktian ini dengan mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini mengetengahkan tema tentang ‘Berbohong’ atau ‘Berdusta’. Jadi, tema pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Berbohong’ atau ‘Berdusta’.
Sdr/i seDhamma, sebagai seorang umat Buddha yang sudah sering ke vihara dan su-dah sering mendengarkan Dhamma, maka pasti kita semua yang berada di vihara ini sudah mengetahui dengan benar tentang arti berbohong atau berdusta itu. Apalagi, bagi mereka yang benar-benar atau berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan dan menjaga Pabca Sila Buddhis yang sedang dilatihnya, tentu masalah mengatasi berbohong atau berdusta ini pasti sudah menjadi bagian dari hidupnya. Memang Sdr/i sekalian, masalah berbohong atau berdusta ini sedapat mungkin harus kita atasi karena perbuatan ini dapat menimbulkan pende-ritaan bagi pihak lain maupun bagi diri sendiri. Kecuali itu, dengan berusaha menghindari ber-dusta, berarti kita sudah satu langkah maju dalam usaha kita untuk mengikis kekotoran batin yang paling kasar, sehingga nanti dengan seringnya melakukan latihan ini, maka kita akhirnya dapat juga mengikis kekotoran batin yang paling halus, yang paling sukar dicapai. Dan, apabi-la kita sudah berhasil dalam hal ini, yaitu pengikisan kekotoran batin yang paling halus, maka tercapailah cita-cita kita yaitu terbebas dari penderitaan untuk selama-lamanya.
Tetapi Sdr/i sekalian, usaha kita untuk mengurangi atau mengikis perbuatan berdusta ini memang tidak mudah. Sebab-sebabnya mungkin sudah mulai sejak kecil kita sudah terbia-sa dengan lingkungan yang demikian itu, yaitu selalu disuruh tidak boleh ini, atau tidak boleh itu dan harus begini, atau harus begitu, tetapi contoh-contoh yang konsekuen dengan hal-hal tersebut tidak dilakukan oleh yang menyuruh atau yang memberikan nasehat. Untuk lebih mu-dahnya dalam memahami permasalahan ini, maka akan kami berikan beberapa contoh seperti berikut ini. Dahulu waktu kita ini masih kecil, di rumah, ibu kita selalu mengajarkan bahwa kita semua tidak boleh berbohong, karena katanya berbohong itu tidak baik. Selain itu, di ru-mah, ibu kita juga sering melarang banyak hal yang tidak boleh untuk kita lakukan, tetapi ada juga hal-hal yang harus kita lakukan seperti misalnya sebelum tidur harus menggosok gigi, se-belum makan harus cuci tangan, dan masih banyak lagi jumlahnya. Tetapi Sdr/i sekalian, apa-kah dalam hal ini ibu kita tadi juga konsekuen dengan pernyataannya sendiri tersebut? Arti-nya, apakah beliau juga melaksanakan hal-hal yang dinasehatkan kepada kita itu? Bagaimana reaksi kita pada waktu itu ketika melihat hal-hal ini? Inilah salah satu sebab mengapa kita su-dah terbiasa dengan enak sekali untuk cenderung melakukan perbuatan berdusta. Tapi ini ha-nya salah satu kondisi saja bagi kita, sebab yang namanya Lobha, Dosa, dan Moha itu tidak semata-matta disebabkan oleh peristiwa tersebut saja. Ini hanya salah satu contoh waktu kita masih kecil.
Sekarang, demikian pula yang terjadi ketika kita sudah boleh masuk sekolah karena sudah cukup umur. Di sekolah, guru kita juga mengajarkan tidak boleh berbohong, karena berbohong itu tidak baik. Selain itu, guru kita tersebut juga melarang banyak hal yang tidak boleh kita lakukan, misalnya membolos sekolah, menyontek pada saat ulangan, tidak boleh terlambat, kalau ke sekolah harus pakai seragam, pakai sepatu, tidak boleh merokok, dan ma-sih banyak lagi yang lainnya. Tetapi Sdr/i sekalian, apakah guru kita itu juga melakukan hal-hal tersebut sebagai contoh dan teladan bagi murid-muridnya?
Sdr/i sekalian, hal demikian itu juga terjadi setelah kita remaja. Mungkin di antara kita sudah ada yang punya pacar, dan biasanya pacar kita tadi juga mengatakan bahwa kita jangan berbohong, karena berbohong itu tidak baik, tidak jujur, dan berarti tidak setia. Pacar kita tadi sering melarang kita dalam banyak hal dan juga menghendaki kita agar melakukan banyak hal. Tetapi, apakah dia sendiri juga bersikap demikian?
Selanjutnya Sdr/i, demikian pula ketika kita sudah mulai aktif di vihara. Para peng-khotbah biasanya juga mengajarkan kita untuk tidak berbohong, karena berbohong itu me-langgar Sila, dan masih banyak lagi yang dapat menyatakan bahwa kita ini bisa melanggar Sila. Tetapi, apakah dia sendiri juga bertindak demikian?
Dan yang paling celaka Sdr/i, yaitu kalau pada suatu hari kita sendiri yang diminta oleh teman-teman untuk memberikan khotbah di vihara, karena menurut mereka kita sanggup dan memenuhi syarat. Akhirnya, secara otomatis kita sendiripun juga memberikan wejangan-wejangan dan juga mengatakan jangan berbohong karena berbohong itu tidak baik, tidak ter-puji, dan sebagainya. Tetapi, apakah kita sendiri ini juga sudah berbuat demikian itu?
Sdr/i sekalian, seandainya penceramah tersebut mengatakan bahwa dia sudah tidak berbohong lagi, maka mungkin kita akan merenungkan dengan berkata dalam hati ‘Apakah dia juga tidak berbohong dengan berkata demikian itu?’ Sdr/i sekalian, memang demikianlah kondisi-kondisi yang terjadi di dunia ini. Banyak sekali kondisi yang terjadi di dunia ini yang dapat membuat kita menjadi terpancing untuk melakukan tindakan berbohong, di antaranya yaitu kita tidak konsekuen terhadap apa yang kita nyatakan sendiri, atau istilahnya kita masih sering melanggar janji yang kita buat sendiri, kita masih sering tidak menepati kata-kata kita sendiri. Sdr/i sekalian, memang menepati janji kadang-kadang bukan merupakan suatu peker-jaan yang gampang. Karena, bila kondisi tidak baik, mungkin kita terpaksa tidak menepati janji walaupun dalam kondisi yang baik kita selalu berusaha menepatinya. Dan, biasanya apa-bila kita sering tidak menepati janji atau sering tidak konsekuen dengan pernyataan yang kita buat sendiri, maka oleh masyarakat di sekitar kita, kita dikatakan sebagai orang yang suka berbohong. Lain di mulut, lain praktiknya.
Sdr/i seDhamma, kalau kita teliti lebih dalam tentang ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha kepada kita, maka kita dapat melihat bahwa memang untuk umat awam suatu janji yang diucapkan pada umumnya tidak mengikat, tetapi kita hendaknya menyadari dan dapat menilai bahwa janji yang kita ucapkan di dalam ajaran Sang Buddha itu, misalnya Pabca Sila Buddhis, adalah suatu cara untuk bertekad melatih diri, yang hasilnya nanti sebenarnya juga untuk kebahagiaan kita sendiri. Kita menyadari bahwa apa yang telah diberikan oleh Sang Buddha adalah suatu petunjuk yang maha bijaksana, yang dapat mengarahkan kita kepada pembebasan dari derita. Memang, pada dasarnya sangat sulit untuk melatih diri menjalankan Sila. Pelaksanaannya tidak semudah yang diduga, dan itupun harus bertahap serta harus di-ikuti dengan kedisiplinan. Jadi, kalau kita tidak bisa menepati janji dalam berlatih Pabca Sila Buddhis, itu bukan lalu berarti bahwa kita ini berdusta. Hal ini berbeda kasusnya dengan con-toh-contoh yang telah dikemukakan tadi. Oleh sebab itu, supaya lebih jelas lagi, maka kita ha-rus tahu terlebih dahulu apa syarat-syarat bahwa suatu perbuatan itu dikatakan perbuatan ber-dusta. Yang pertama yaitu, ada sesuatu atau hal yang memang tidak benar; kemudian yang kedua yaitu, mempunyai pikiran atau kehendak untuk berdusta; yang ketiga berusaha berdus-ta; dan yang keempat yaitu ada orang atau pihak lain yang mempercayainya sehingga pihak lain tersebut tertipu. Nah, apabila keempat faktor tersebut ada semua, maka perbuatan kita ta-di dapat dikatakan sebagai perbuatan berdusta dan melanggar Sila ke 4 dalam Pabca Sila Buddhis. Tetapi, apabila syarat-syarat keempat hal itu tidak terpenuhi, maka perbuatan kita ta-di belum dapat dikatakan sebagai perbuatan berdusta. Selanjutnya Sdr/i sekalian, setelah kita mengetahui keempat faktor dalam berdusta ini, yaitu (1. …..; 2. …..; 3. …..; 4. ….. ) maka se-karang kita dapat mengetahui apakah dari contoh-contoh peristiwa yang telah kita dengar tadi juga dapat digolongkan dalam berdusta? Untuk itu bisa kita jawab dalam diskusi Dhamma se-telah selesainya kebaktian ini.
Sdr/i sekalian, perbuatan berdusta ini menurut ajaran dalam agama Buddha dapat dibe-dakan dalam dua macam yaitu: 1) yang dapat menyeret pelakunya masuk ke dalam alam-alam rendah, dan 2) ada yang tidak dapat menyeret ke alam rendah. Suatu pendustaa tidak menye-ret pelakunya masuk ke alam rendah apabila tidak menimbulkan kerugian pada pihak yang dibohongi; misalnya ada seorang dokter yang memberikan keterangan palsu kepada pasiennya dengan tujuan mulia supaya tidak menyebabkan kecemasan atau goncangan batin yang dapat memperparah kesehatannya. Juga bagi orang yang berdusta dengan misalnya mengatakan ti-dak punya uang atau makanan tertentu padahal dia punya, dengan tujuan tidak kehilangan mi-likknya apabila ada yang minta, atau dengan kata lain dia adalah seorang yang pelit, maka perbuatannya itu juga hanya menimbulkan akibat yang ringan. Tetapi Sdr/i, apabila pendusta-annya itu mengakibatkan kerugian besar pada pihak lain, misalnya bersaksi palsu dalam suatu sidang perkara, maka hal ini akan berakibat berat. Bagi para bhikkhu, berdusta dengan me-ngatakan bahwa dia sudah berhasil mencapai kemampuan tertentu yang sesungguhnya tidak dimilikinya, akan membawa akibat yang sangat berat. Akibat-akibat dari pendustaan ini me-mang banyak sekali di antaranya menimbulkan akibat pada pelakunya sebagai berikut: bicara-nya tidak jelas, giginya jelek dan tidak rapi, mulutnya berbau busuk, perawakannya tidak nor-mal, yaitu terlalu gemuk atau terlalu kurus, terlalu tinggi atau terlalu pendek, sorot matanya tidak wajar, perkataannya tidak dipercayai walaupun oleh orang-orang terdekatnya atau ba-wahannya sekalipun.
Sdr/i sekalian, perlu juga ditambahkan di sini bahwa berdusta ini adalah suatu perbuat-an buruk yang tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang telah bertekad untuk mencapai Pencerahan Agung atau seorang Bodhisatta. Tidak berdusta atau bersikap jujur adalah salah satu ciri utama seorang Bodhisatta, karena ia bukan pengingkar perkataannya sendiri. Ia ber-tindak seperti yang ia ucapkan dan ia mengucapkan seperti yang ia lakukan (yathavadi tatha-kari yathakari tathavadi). Menurut Harita Jataka (No. 431) seorang Bohdisatta dalam rentang pengembaraan kehidupannya, ia tidak pernah berbohong walaupun suatu ketika ia mungkin melanggar empat peraturan yang lainnya. Dan bahkan di dalam Maha Sutasoma Jataka (No. 537) dikatakan bahwa untuk memenuhi sebuah janji, sang Bodhisatta bersedia untukmengor-bankan hidupnya. Seorang Bodhisatta dapat dipercaya, tulus dan jujur. Apa yang ia pikirkan, ia ucapkan. Terdapat keselarasan yang sempurna dalam pikiran, ucapan, dan perbuatannya. Ia teguh dan berterus terang dalam semua perbuatannya. Ia bukan seorang munafik karena ber-pegang teguh pada prinsip-prinsipnya yang luhur. Tidak ada perbedaan antara batin dan pe-nampilannya. Kehidupan pribadinya sesuai dengan kehidupannya dalam masyarakat.
Sdr/i seDhamma, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yang bertemakan tentang ‘Berdusta’, dan semoga dengan bertambahnya pengertian kita terhadap hal ini, maka kita akan semakin giat untuk selalu berusaha mengikisnya.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
-------------------

Daftar Kepustakaan:
1. Tanpa Nama, “Bias Kotbah, Nasehat dan …”, HIKMAHBUDHI, No. 1/XX/ Tahun 1991, hal. 45 – 46.
2. Yantoli E, “Janji”, HIKMAHBUDHI, No. 4/XIX/Juni 1990, hal. 16 dan 27.
3. Jan Sanjivaputta, MANGALA BERKAH UTAMA, Lembaga Pelestari Dhamma, 1990. hal. IX – 28.
4. Narada, Mahathera, SANG BUDDHA DAN AJARAN-AJARANNYA II, Yayasan Dhammadipa Arama 1992. hal. 265 – 266.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-

Menanam Kusala Kamma

BERBAGAI CARA MENANAM KEBAJIKAN

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
SUKARAM SADHUNA SADHU.
Sangatlah mudah bagi orang baik untuk melakukan hal-hal yang baik.
Khuddakanikaya Udana.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita bersama-sama membaca Paritta dan bermeditasi, marilah sekarang kita mengadakan perenungan dan pembahasan Dham-ma yang pada hari ini berjudul ‘Berbagai cara menanam kebajikan’. Jadi sekali lagi, judul perenungan dan pembahasan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Berbagai cara menanam kebajikan’.
Sdr/i sekalian, kita tentu sudah tahu apa yang namanya menanam kebajikan. Mena-nam kebajikan berarti menanam bibit atau benih kebaikan, yaitu melakukan amal kebaikan atau melakukan suatu perbuatan baik. Tetapi, bagaimana cara menilai besar kecilnya bibit kebaikan yang kita tanam tersebut? Sdr/i sekalian, umumnya, orang-orang Hongkong, be-gitu berbicara soal melakukan amal kebaikan, pasti mereka akan langsung mengaitkan de-ngan sederetan pengertian yang bunyinya begini:”Wah, itu sih persoalan yang harus dila-kukan oleh orang-orang kaya. Sebab,hasil pendapatanku sedikit, bagaimana mungkin bisa melakukan amal? Masih kah aku harus mendermakan uang?”
Begitulah Sdr/i, suatu pengertian salah yang menganggap melakukan amal kebaik-an disamakan dengan mengeluarkan uang. Jadi, harus mengeluarkan uang dulu, barulah bisa disebut beramal. Padahal, ruang lingkup beramal adalah cukup luas. Ada amal ke-baikan yang memang dengan mengeluarkan uang, misalnya mendirikan rumah sakit, se-kolahan, panti perawatan orang jompo, panti asuhan, memberi uang pada fakir miskin, mengobati atau memberikan obat secara cuma-cuma, membangun jembatan dan jalan, memberi penerangan lampu jalan, menyumbang korban bencana alam dan kelaparan, beli peti mati bagi yang melarat, memperbaiki atau mendirikan vihara, mencetak buku-buku Dhamma untuk disebarluaskan secara gratis, membeli makhluk hidup untuk kemudian dilepaskan, dan lain-lain. Itulah jenis-jenis amal kebaikan yang memang dengan me-ngeluarkan uang. Tetapi, ada juga amal kebaikan yang tanpa mengeluarkan uang, misalnya tidak melakukan pembunuhan terhadap makhluk hidup, menghapus dendam atau memaafkan pada orang lain, menghapus segala pertentangan, menyingkirkan batu-batu di jalanan termasuk kulit pisang, pecahan beling, dan sebagainya yang dapat mem-bahayakan orang lewat, mempersilakan tempat duduk bagi wanita hamil atau orang tua, sedapat mungkin menolong orang yang sedang menderita sakit di perjalanan, menghibur dengan kata-kata bagi penderita penyakit berat dan orang yang frustasi, membantu ter wujudnya cita-cita seseorang, membantu orang lain agar sanak saudaranya dapat berkum-pul kembali, membicarakan sejarah atau riwayat orang-orang yang baik agar orang yang mendengarnya terbebas dari kelaliman atau kebodohan, menasehati orang supaya meng-hindari kemaksiatan dan menuju kebenaran, memaafkan kesalahan orang, secara sukare-la membacakan Paritta untuk orang lain yang sedang menderita maupun yang sedang ba-hagia, menasehati orang agar yakin terhadap adanya hukum sebab-akibat, menolong orang tanpa pamrih, menyumbangkan darah untuk menolong orang lain, dan sebagainya.
Jadi Sdr/i, jelaslah sudah, bahwa beramal tidak pasti harus keluar uang; yang pasti ia harus dengan kesungguhan hati mengerjakannya. Artinya harus benar-benar rela dan ikhlas. Beramal sangat luas ruang lingkupnya. Di manapun terdapat pintu untuk menanam-kan kebajikan. Jadi terserah kita sendiri, dengan kesungguhan hati melakukannya atau ti-dak. Dalam beberapa ajaran dikatakan bahwa tempat yang tidak ada pamrihnya adalah justru merupakan pahala yang besar. Artinya, orang yang selalu berhati tanpa pamrih da-lam berbuat kebaikan apapun, maka pahala dari yang dilakukannya itu adalah pahala yang besar. Oleh sebab itu, kesungguhan hati atau keikhlasan yang tanpa pamrih ini sangat penting sekali peranannya dalam setiap melakukan suatu perbuatan baik. Kesungguhan hati merupakan suatu titik tolak, yaitu titik tolak dari sikap welas asih. Bagi orang yang su-dah cukup memadai pembinaan batinnya atau laku akhlaknya, maka welas asih yang di-pancarkan sangatlah jauh. Orang yang demikian itu, setiap kebaktian mungkin merenung-kan keinginan atau tekadnya, yaitu tekad menolong umatnya semoga terbebas dari keseng saraan. Sikap welas asih yang agung demikian itu adalah sudah merupakan kualitas batin yang besar, yang tidak dapat dinilai dan diukur. Oleh sebab itu, hendaknya setiap kebakti-an kita berlatih merenungkan atau memancarkan sikap welas asih ini dengan bertekad se-moga dengan kebaktian ini dapat mengkondisikan perdamaian dunia, bebas bencana, ba-gi yang punya sawah panennya bisa baik, semoga semua umat yang ikut kebaktian juga hidup tentram dan sejahtera, dan sebagainya. Hal-hal demikian ini juga merupakan perwu-judan pancaran welas asih dari batin kita yang juga merupakan suatu sikap yang luhur yang tak ternilai.
Sdr/i seDhamma, demikian tadi tentang keikhlasan beramal, sekarang bagaimana kita memilih cara beramal yang bisa sering dilakukan tetapi kalau bisa tanpa mengeluarkan uang, atau sedikit sekali mengeluarkan uang, tetapi tetap bisa mendapatkan hasil yang baik? Sdr/i, beberapa cara berikut ini akan kami sajikan, yang menurut kami dapat meng-hemat dan sangat mudah dilakukan.
Yang pertama adalah membaca Paritta. Inilah cara terbaik berbuat kebajikan tanpa biaya satu sen pun. Jadi, baik si kaya maupun si miskin dapat melakukannya. Tetapi harus ada keyakinan dan tekad. Membaca Paritta harus dengan penuh keyakinan dan kejujuran, tidak kenal lelah dan putus asa di tengah jalan, barulah bisa berhasil. Makin lama memba-ca Paritta makin besar hasilnya. Kekuatan Paritta tidak tampak, jika lama membacanya, dapat menghindarkan berbagai bencana atau malapetaka, juga penyakit yang sedang di-derita, bahkan dapat mengubah nasib yang buruk menjadi jalan yang lapang. Sdr/i, kekuat-an Paritta ini tak terduga. Sdr/i, berbagai hambatan perjalanan nasib manusia, pada dasarnya bersumber pada keadaan ‘telah menanam benih kejahatan’ dan sekarang se-dang menerima akibatnya. Nah, kekuatan Paritta dapat menghapus segala siklus ‘benih ja-hat’ yang pernah kita tanam sehingga dengan sendirinya dapat mengubah nasib buruk menjadi agak baik. Yang harus diperhatikan dalam membaca Paritta yaitu kita harus mem-buang segala segala pikiran yang bukan-bukan. Memang, pada permulaannya kurang bisa berkonsentrasi, banyak pikiran yang mengganggu, tetapi tetap harus setapak demi seta-pak kita melatih diri sehingga lambat laun akan tercapai terpadunya ucapan dan pikiran. Jika ada ucapan tetapi tidak bersatu dengan pikiran, maka cara membaca Paritta sema-cam ini biarpun sampai tenggorokan kita serak, tidak akan berguna. Demikianlah Sdr/i, mengenai membaca Paritta.
Yang kedua adalah melepaskan makhluk hidup. Melepaskan makhluk hidup merupa kan cara yang baik pula untuk memupuk kebajikan atau amal kebaikan. Dalam dunia ini, untuk menikmati hidangan yang lezat, manusia telah berusaha memotong makhluk hidup yaitu hewan, sebanyak mungkin. Dalam masyarakat yang sudah menitikberatkan materi, umumnya orang telah kehilangan pengertian tentang makhluk hidup atau hewan ini. Dan ini adalah suatu bagian kehidupan yang menyedihkan. Kita seharusnya memahami bahwa yang namanya makhluk hidup atau hewan itu juga mempunyai jiwa atau roh seperti kita. Jadi mengapa harus makan daging si lemah secara paksa? Benarkah mereka dilahirkan untuk dibantai manusia? Tidak adakah keadilan hukum alam bagi mereka? Apakah tanpa makan darah dan dagingnya lalu manusia tidak dapat hidup? Jadi, apakah manusia yang merupakan ‘pemimpin dari semua makhluk di dunia’ dibentuk atas dasar kelakuan yang sangat kejam ini? Dari penderitaan mereka pada saat para hewan dibantai, telah cukup membuktikan adanya dendam kesumat mereka pada manusia yang sekaligus juga mem-buktikan kelaliman manusia. Oleh karena itu, orang yang memperhatikan amal kebajikan, selalu melakukan sesuatu perbuatan baik yang dalam hal ini yaitu melepaskan makhluk hi-dup. Melepaskan makhluk hidup berarti telah memberi kesempatan kepada mereka untuk lolos dari kematian atau memberikan sebuah jalan kehidupan.
Yang ketiga adalah melakukan vegetarian. Yaitu berjanji tidak makan makhluk berji-wa atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘cia cai’. Hal ini juga merupakan salah satu cara beramal yang tanpa harus mengeluarkan uang. Namun, hal ini harus dilihat dari perbedaan pekerjaan dan situasi setiap orang serta kekuatan janji dan tujuan kita sendiri. Bagi yang berjanji harus benar-benar memegang kata-katanya dan perbuatannya. Jadi apa yang diu-capkan harus dapat dilaksanakan, apabila melanggar, maka akan lebih berat karma buruk-nya daripada yang tidak berjanji.
Yang keempat adalah menolong yatim piatu. Walaupun hal ini harus mengeluarkan harta atau materi, namun tidak mesti dalam jumlah yang banyak, jadi bisa sesuai dengan kemampuan kita. Kita sering membaca dalam surat kabar yang menyerukan agar para pembaca memberikan sumbangan bagi penderita bencana alam, menolong orang yang cacat dan sebatang kara, hingga pengemis di jalan serta orang yang sakit parah tanpa sa-nak saudara yang sedang sengsara. Hal-hal yang menyedihkan semacam itu dapat dite-mui di mana saja. Bagi orang yang mempunyai belas kasihan, pasti akan merasa iba dan oleh karenanya tidak sedikit mereka yang tergerak hatinya lalu mengumpulkan sumbangan lewat surat kabar tersebut untuk diteruskan ke tangan si penderita. Berarti, orang-orang yang berderma tersebut sedang meluku sawah kebajikan, menanam benih kebajikan bagi masa depannya sendiri. Dan, seperti telah diuraikan tadi, bahwa memberikan amal bukan-lah diukur dari banyak sedikitnya uang yang dikeluarkan saja, tetapi juga dari kesungguhan hati kita. Jadi, disesuaikan dengan kemampuan kita masing-masing. Asalkan si pengamal setiap ada kesempatan lalu melakukannya, maka besarlah pahalanya. Bila mungkin, hen-daknya langsung diterimakan pada si penderita. Karena dengan menyaksikan penderitaan mereka, akan lebih mengetuk hati nurani kita dan menimbulkan sikap welas asih. Inilah yang sering disebut dengan ‘hati bodhisatta’. Selain itu, sebaiknya waktu menyumbang ti-dak mencantumkan nama kita. Kita kan bermaksud berbuat baik dengan tanpa pamrih apa pun, tanpa minta balasan apa pun. Jadi, kita kondisikan agar yang menerima tidak mengi-ngat-ingat di dalam batinnya. Hal ini akan membuat pahala kita menjadi lebih besar. Inilah yang disebut sebagai ‘kebajikan tanpa wujud’.
Yang kelima adalah mengunjungi panti jompo. Dalam hal ini masing-masing orang berdana sesuai dengan kemampuan masing-masing lalu bersama-sama membeli makan-an dan kemudian diberikan pada panti jompo untuk dibagikan pada orang-orang yang ber-usia lanjut. Umumnya, penghuni panti jompo adalah orang sebatang kara, yang berpenya-kitan sehingga dapatlah kita bayangkan kesunyian hati dan kesedihannya. Mereka itu mem butuhkan kehangatan, kemesraan, dan perhatian. Jadi mengunjungi panti jompo juga da-pat dikatakan melakukan perbuatan baik yang nilainya cukup besar. Jika anda pernah mengunjungi panti jompo, anda melihat bagaimana mereka dengan langkah gontai dan ta-ngan gemetar serta derai air mata, mereka menerima pemberian kita dengan kedua ta-ngan yang keriput namun wajahnya menyungging senyum kepasrahan. Ada pula yang se-gera mempergunakan tangannya yang gemetaran mengupas kulit buah-buahan dan me-masukkan buah yang telah dikupas itu ke dalam mulutnya yang telah ompong. Menyaksi-kan adegan yang sungguh mengharukan ini, di samping ikut juga menikmati kegembiraan orang-orang itu, anda juga dapat menyelami betapa besar benih kebaikan yang telah anda lakukan.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah tadi cara-cara berbuat kebaikan yang tidak harus mengeluarkan banyak uang. Jadi kesimpulannya siapa saja bisa berbuat baik sesuai dengan kemampuan masing-masing. Masalahnya adalah mau atau tidak. Itu saja. Nah Sdr/i yang berbahagia, demikianlah perenungan dan pembahasan Dhamma kita pada hari ini yang berjudul ‘Berbagai cara menanam kebajikan’. Dan, jika di antara Sdr/i ada yang ingin bertanya tentang makalah ini, kami persilakan untuk mendiskusikan bersa-ma-sama setelah selesainya kebaktian ini. Terimakasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
____________________

Dikutip dengan gubahan seperlunya dari ‘Berbagai cara menanam benih kebajikan’, Berita Dharmayana Edisi No : 35 tahun 2003, halaman 34 – 36.

PEMIMPIN KEBAKTIAN DAN PEMBACA MAKALAH : HATI – HATI, DALAM ARTIKEL INI BANYAK SEKALI PANCINGAN. MOHON DISKUSIKAN LAGI DENGAN LEBIH CERMAT.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

Belajar Dhamma

BELAJAR DHAMMA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
YONISO VICINE DHAMMAÇ
Periksalah Dhamma dengan amat teliti dan cermat.
Majjhimanikäya Uparipannäsaka.

Saudara/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita membaca Paritta dan bermeditasi, maka marilah sekarang kita pusatkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Belajar Dhamma’. Sekali lagi, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Belajar Dhamma’ atau ‘Memeriksa Dhamma’.
Saudara/i sekalian, tentu kita semua telah mengetahui bahwa agama Buddha merupakan agama yang cukup tua bila dibandingkan dengan agama-agama yang lain. Lebih dari duaribulimaratus ta-hun yang lampau ketika semua masih primitif, Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma-Nya yang memang luar biasa. Namun, walaupun demikian, walaupun telah lebih dari duaribulimaratus tahun yang lalu, bukanlah berarti agama Buddha telah usang, telah ketinggalan jaman, sehingga perlu di-perbaiki, perlu direvisi. Tidak, Saudara! Justru sebaliknya, ajaran Sang Buddha untuk sekarang ini lebih kelihatan relevan dan cocok dengan ilmu pengetahuan. Dan, ini adalah suatu bukti bahwa Dhamma tidak akan pernah usang oleh waktu, dan orang-orang besar di dunia ini pun mengakui hal ini.
Saudara/i sekalian, jika kita mau belajar, mau meneliti dan memeriksa lebih dalam serta lebih seksama tentang ajaran-ajaran Sang Buddha, kita akan memperoleh manfaat yang besar bagi kehi-dupan kita. Tetapi, kalau kita hanya sekedar mengenal agama Buddha, kalau kita hanya sekedar menganut agama Buddha, kalau kemudian hanya sekedar melakukan sembahyang, kebaktian, dan tidak berusaha untuk mencari tahu dan tidak berusaha untuk mengerti dari apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Sang Buddha, kita tidak akan mungkin mendapatkan manfaat yang lebih maju.
Banyak manfaat dari ajaran Sang Buddha yang masih tersembunyi, yang belum pernah kita kenal. Karena itu, semakin banyak kita belajar, semakin banyak kita mengenal, mendalami, dan meneliti apa yang diajarkan oleh Sang Buddha serta semakin menghayati, maka akan semakin ba-nyak manfaat yang dapat kita petik dari ajaran Sang Buddha.
Saudara/i sekalian, lebih dari duaribulimaratus tahun yang lampau hingga sekarang ini, ajaran Sang Buddha telah berkembang mulai dari India sebelah barat sampai ke Jepang sebelah timur, dari Srilanka sebelah selatan sampai ke Tibet sebelah utara, dari Eropa sampai ke Australia dan Amerika. Dalam perjalanan sejarah, selama duaribulimaratus tahun, ajaran Sang Buddha dapat diterima dengan damai oleh bangsa-bangsa di dunia ini tanpa menggunakan kekerasan dan tanpa mendapat-kan perlawanan-perlawanan dari bangsa yang mengenal agama Buddha. Jadi, dari mulai dikenal sampai saat ini, semangat agama Buddha adalah semangat lemah lembut, semangat cinta kedamaian, semangat yang penuh toleransi, tetapi tetap mempertahankan ajaran-ajaran yang mendasar dari ajar-an Sang Buddha itu sendiri.
Sampai saat ini, kalau masyarakat melihat agama Buddha, mereka tidak mudah bersimpati apa-lagi jatuh cinta pada agama Buddha. Apa sebabnya demikian? Karena Saudara/i, kesan pertama yang dilihat oleh mereka adalah kurang menarik. Misalnya saja, dalam hal berpakaian waktu pergi ke vihara, masih kurang mendapat perhatian dari saudara/i kita yang bertindak selaku umat Buddha. Saudara/i kita tersebut akan seenaknya saja memakai kaos atau bahkan ada yang bercelana pendek, atau duduknya yang tidak rapi, gaduh pada saat kebaktian, dan lain-lain. Hal-hal ini Saudara/i, akan memberikan kesan yang kurang baik, sehingga mereka menjadi segan untuk ikut dengan Saudara/i; ditambah lagi masih ada saudara/i kita yang melakukan kebaktian dengan altar penuh dengan patung patung yang kadang kala patung itu besar sekali. Hal ini menyebabkan mereka akan berpikir, tentu agama Buddha mengajarkan orang untuk menggantungkan diri pada patung-patung, memohon-mohon kepada patung, dan seterusnya dan mereka akan berpikir bahwa agama Buddha adalah agama yang sudah ketinggalan jaman, agama yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, agama yang tidak mempunyai daya tarik, dan sebagainya.
Saudara/i, inilah kesan-kesan pandangan pertama masyarakat pada saudara/i kita tersebut dan juga kepada agama kita, yaitu agama Buddha, yang menimbulkan kesan tidak simpatik dan tentunya sulit untuk jatuh cinta kepada Saudara/i, kepada agama Buddha.
Sesungguhnya tidak menjadi soal. Memang, sepintas lalu agama Buddha tidak bisa mengun-dang orang untuk dapat cinta, apalagi bila altarnya banyak patungnya serta bermacam-macam sajian seperti: pisang, jambu, mangga, roti, dan sebagainya sehingga mereka akan berpikir apakah ini suatu agama yang masih dapat kita pakai di jaman sekarang?
Saudara/i seDhamma, memang bukanlah persoalan apabila ada pandangan demikian terhadap kita, terhadap agama Buddha, memang ada yang mengatakan demikian, tetapi satu hal yang penting; hati yang baik. Tak ada gunanya mempunyai wajah yang cantik tetapi hatinya tidak baik. Sebalik-nya, meskipun berwajah jelek, tetapi berhati mulia tentu akan dicari orang, hanya saja tidak mudah untuk menarik simpati orang.
Saudara/i, kalau saja mereka-mereka itu yang mempunyai salah pengertian terhadap agama Buddha tersebut, terhadap agama kita, mau sedikit membuka telinga, mau sedikit mendengar dan mengerti apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Sang Buddha, mau tidak mau mereka akan membe-rikan hormat yang setinggi-tingginya terhadap Sang Buddha, terhadap ajaran-Nya.
Saudara/i seDhamma, kalau Saudara/i membaca buku-buku tentang orang-orang besar dan orang-orang pintar di dunia ini, akan kita ketahui bahwa begitu tingginya mereka menghargai Sang Buddha, menghargai ajaran-Nya. Mengapa demikian? Sebab, ajaran Sang Buddha bukan suatu ajar-an yang membawa kita pada diskriminasi tapi suatu ajaran yang berusaha mengangkat derajat manu-sia dengan usahanya sendiri; suatu ajaran yang mengajak kita untuk berpikir dewasa, suatu ajaran agar kita tidak suka menggantungkan diri pada orang lain, suatu ajaran agar kita mempunyai suatu pegangan yang universal.
Pada kenyataannya, memang sulit untuk melaksanakannya, sulit untuk melaksanakan ajaran yang membangun kita, yang membuat kita sadar dan bertanggung-jawab atas kehidupan kita masing masing. Yang paling mudah adalah, kalau orang lain mau menanggung persoalan kita. Yang paling mudah adalah, memohon sesuatu apabila kita mengalami kesulitan sehingga kita terbebas dari kesu-litan itu. Menggantungkan diri pada sesuatu, mengharapkan sesuatu, merupakan hal yang paling di-sukai oleh manusia, karena merupakan sesuatu yang paling mudah untuk dilaksanakan.
Andaikata Saudara/i, ajaran Sang Buddha ini disulap menjadi demikian, ini andaikata, dan andaikata ajaran Sang Buddha diperbaharui, direvisi, karena dianggap sudah usang, sudah kuno. Dan, ajaran Sang Buddha yang baru itu berbunyi demikian:”Kalau saudara/i mempunyai kesulitan dan persoalan, saudara/i cukup menyebut satu doa, satu mantera, atau satu jampi, dijamin beres dan pasti semua kesulitan teratasi, cita-cita tercapai”.
Nah Saudara/i, siapa yang tidak senang? Siapa yang tidak tertarik? Tetapi ingat, ajaran yang demikian itu sesungguhnya …. Seperti Saudara/i diberi racun yang rasanya madu. Enak memang, tetapi Saudara/i sebentar lagi mati. Maksudnya yang mati bukan Saudara/i melainkan pengertian Saudara/i. Ajaran yang seperti itu, seperti racun yang rasanya madu; seperti baygon yang rasanya jeruk.
Saudara/i, kalau kita mau meneliti apa yang diajarkan oleh Sang Buddha, maka ajaran Sang Buddha sesungguhnya merupakan suatu ajaran yang berusaha menguraikan, menganalisa, menjelas-kan dengan jelas sekali tentang kehidupan kita. Belajar agama Buddha berarti belajar agama kehidup an, karena tidak ada satu kalimat pun dalam ajaran Sang Buddha yang tidak berhubungan dengan ke hidupan. Kalau kita meneliti kehidupan kita dengan jujur, maka akan kita ketahui apa yang menjadi kebutuhan kita, yaitu sandang, pangan, rumah, obat-obatan, pendidikan, uang, nama harum, kekua-saan dan kedudukan yang tinggi serta kehormatan. Tetapi Saudara/i, sebenarnya ada satu lagi yang diperlukan manusia yang justru lebih penting dari semua itu. Tanpa yang satu ini, kehidupan Sauda-ra/i tidak akan mempunyai arah. Memang Saudara/i, makan itu perlu, uang perlu, rumah perlu, perlu Saudara/i, tetapi ada yang lebih perlu yang kadang-kadang kita lupakan, kita abaikan. Nah, apakah yang satu ini? Yang satu ini tidak lain adalah keyakinan.
Orang yang hidup tanpa keyakinan, hidupnya tidak mempunyai arah dan arti. Mengapa demi-kian? Misalnya saja kalau Saudara/i tidak yakin bahwa membaca buku itu membawa manfaat, maka tidak mungkin Saudara/i membacanya. Kalau Saudara/i tidak yakin bahwa sekolah itu ada manfaat-nya, tidak mungkin Saudara/i akan bersemangat untuk bersekolah. Segala sesuatu yang dikerjakan tanpa keyakinan, tidak akan membawa hasil walaupun Saudara/i dipaksa mengerjakannya. Saudara/i akan mengerjakannya dengan terpaksa, tanpa perasaan gembira, tanpa perasaan bahagia, tertekan, dan lain-lain.
Saudara/i seDhamma sekalian, tidak hanya dalam hal-hal tertentu melainkan dalam sepanjang hidup ini, kita harus mempunyai keyakinan. Saudara/i harus mempunyai sesuatu yang benar-benar ‘benar’, yaitu benar yang sesungguhnya benar; dalam hal ini keyakinan itu sebagai penunjuk arah, sebagai kompas, sebagai pemberi semangat dalam hidup ini. Lalu, apakah yang harus kita yakini se-bagai sesuatu yang sungguh-sungguh benar itu? Saudara/i, hal tersebut ada empat dan tidak sulit.
1. Setiap umat Buddha sudah seharusnya yakin bahwa di dunia ini ada dua macam perbuatan. Perbuatan baik dan perbuatan tidak baik. Kedua perbuatan ini berbeda bentuknya dan berbeda akibat yang dihasilkannya. Ada yang mengatakan bahwa antara perbuatan baik dan perbuatan tidak baik adalah relatif. Tergantung kepada yang memberikan pandangan. Oleh karena itu perbuatan baik dan perbuatan tidak baik tergantung pada yang menamakannya. Ini samasekali tidak benar, Saudara/i!
Perbuatan baik dan perbuatan tidak baik tidak dapat dikawinkan, tidak dapat diutak-utik, tidak dapat dikompromikan, menjadi setengah baik dan setengah tidak baik. Tidak dapat demikian! Lalu, apakah yang disebut baik itu, Saudara/i? Ialah semua yang kalau kita kerjakan akan mengakibatkan, akan berakibat berkurangnya penderitaan, yaitu berkurangnya keserakahan, berkurangnya kebenci-an, dan berkurangnya kegelapan batin. Siapapun yang mengajarkan, siapapun yang menamakan dan agama apapun, itu namanya tetap perbuatan baik dan harganya tetap sama yaitu BAIK.
Sekarang, apa yang disebut tidak baik, Saudara/i? Ialah perbuatan apapun juga yang bila diker-jakan akan mengakibatkan bertambahnya keserakahan, bertambahnya kebencian, bertambahnya ke-gelapan batin dan berarti bertambahnya penderitaan. Siapapun juga yang mengajarkan ini, perbuatan itu adalah perbuatan tidak baik. Andaikata Saudara/i berbuat jahat dan dengan segala kepintaran Saudara/i sehingga orang yang mendengarnya akan membenarkan perbuatan Saudara/i tersebut, itu juga tetap perbuatan tidak baik dan hukum kamma akan tetap berjalan sesuai dengan hukumnya. Saudara/i akan tetap merasakan akibatnya, yaitu PENDERITAAN.
2. Setiap perbuatan akan menghasilkan akibat, inilah keyakinan yang kedua yang harus kita miliki. Perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan dan perbuatan tidak baik akan menghasilkan penderitaan. Ini adalah hukum kamma, Saudara/i, yang sudah ada sebelum adanya Sang Buddha. Sang Buddha bukan pembuat hukum, Sang Buddha bukan perangkai hukum. Dalam hal ini, tidak mungkin dan tidak akan pernah terjadi bahwa perbuatan jahat akan menghasilkan kebahagiaan. Ini tidak pernah terjadi. Yang ada yaitu perbuatan baik akan membuahkan kebahagiaan dan perbuatan jahat pasti membuahkan penderitaan.
3. Setiap orang yang melakukan perbuatan, baik atau tidak baik, akan mendapatkan akibatnya. Bukan orang lain. Saudara/i gagal, Saudara/i kecewa, Saudara/i jatuh, penuh kesulitan dalam kehi-dupan Saudara/i, itu adalah akibat dari perbuatan Saudara/i sendiri. Demikian juga sebaliknya, jika kehidupan Saudara/i penuh dengan kebahagiaan, itu adalah hasil dari perbuatan Saudara/i sendiri.
Saudara/i, berdoa itu perlu, sembahyang itu perlu, semua ini hanya untuk menambah keyakin-an kita, memperkuat iman dan keyakinan kita (ini menurut istilah umum), tetapi bukan berarti bah-wa dengan berdoa atau bersembahyang lalu segala sesuatu akan selesai, akan beres. Bukan berarti bahwa dengan berdoa atau bersembahyang lalu kekayaan akan jatuh dari langit begitu saja. Ini tidak mungkin, Saudara/i. Tanpa usaha jangan harap Saudara/i akan berhasil mencapai sesuatu, dan ja-ngan harap hanya dengan meminta (ketika berdoa atau bersembahyang tersebut) lalu segala-galanya dapat terkabul.
Saudara/i yang berbahagia, pada jaman Sang Buddha, masyarakat India waktu itu menganut agama Brahma dengan memuja bermacam-macam dewa. Nah, apakah Sang Buddha menentang de-wa-dewa itu? Tidak! Sang Buddha mengatakan bahwa dewa-dewa itu memang ada, hanya saja dewa-dewa itu juga seperti kita, makhluk hidup, tidak kekal. Mereka terlahir sebagai dewa, suatu saat mereka akan mati, sebab tidak ada kelahiran tanpa kematian. Justru Sang Buddha mengajarkan hukukm kamma, siapa yang berusaha ia akan mencapainya, demikian juga sebaliknya.
Saudara/i, ini adalah suatu ajaran yang masih asing, yang sulit diterima oleh masyarakat pada waktu itu, suatu ajaran yang keras, suatu ajaran yang tidak bisa meninabobokkan manusia, suatu ajaran yang tidak bisa memberikan janji-janji tapi tidak pernah menjadi suatu kenyataan. Memang, bagi banyak orang susah untuk menerima ajaran ini karena ajaran tentang hukum kamma ini meng-ajak kita untuk berpikir dewasa. Jadi, jangan mengharapkan dapat memetik buah tanpa menanam pohon terlebih dahulu. Karenanya, jangan sekali-kali menyalahkan Tuhan bila Saudara/i dicela, dicaci maki, gagal dalam usaha, dan lain-lain. Orang yang mengerti hukum kamma tidak akan me-nyalahkan Tuhan, karena mereka mengerti bahwa suka dan duka, jatuh dan bangun, semuanya ada-lah akibat dari perbuatan sendiri. Karena itu, buatlah banyak kebajikan. hanya perbuatan baiklah yang akan menolong kita, hanya perbuatan baiklah yang akan menghibur kita bila saat kematian datang. Tidak ada yang lain lagi yang dapat menghibur kita menjelang kematian; tidak isteri, tidak anak, maupun cucu-cucu kita. Tidak juga kekayaan, kedudukan, atau nama harum. “Hanya perbuat-an baiklah sesungguhnya pelindung kita”.
4. Keyakinan yang keempat adalah yakin bahwa Sang Buddha Gotama benar-benar telah men-capai penerangan sempurna. Yakin terhadap apa yang diajarkan Sang Buddha bukanlah suatu ajaran hasil peniruan, bukanlah seperti ajaran seorang filosofi, bukan ajaran yang dicocok-cocokkan. Apa yang Sang Buddha ajarkan adalah suatu ajaran yang benar-benar telah Beliau ‘lihat’ sendiri pada saat Beliau mencapai penerangan sempurna, dengan kemampuan-Nya sendiri (dengan kesempurna-an Parami Beliau sendiri pada kehidupan Beliau di masa yang lampau) sehingga Beliau mencapai penerangan sempurna dan ‘melihat’ kebenaran mutlak dan mengajarkannya kepada kita.
Demikianlah Saudara/i tentang empat keyakinan yang harus kita yakini sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh benar.
Saudara/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini, dan semoga bisa bermanfaat untuk kebahagiaan kita sendiri maupun kebahagiaan makhluk-makhluk lain. Terima kasih atas perhatian Saudara/i!
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk berbahagia!
Sädhu! Sädhu! Sädhu!
_____________________

Dipetik dari ceramah Bhikkhu Paññavaro di Vihara Padumuttara, Tangerang.
Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-
-

Belajar Berenang

BELAJAR BERENANG

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
PABBAM NAPPAMAJJEYYA.
Jangan lengah terhadap kebijaksanaan.
Majjhimanikaya Uparipannasaka.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, seperti biasa, setelah kita membaca Paritta dan bermeditasi, marilah sekarang kita isi kebaktian pada hari ini dengan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Belajar Berenang’. Sekali lagi Sdr/i, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Belajar Berenang’.
Sdr/i sekalian, pada pembahasan Dhamma kita beberapa waktu yang lalu, yaitu pada topik yang berjudul ‘Pabba (Kebijaksanaan)’, kita telah mengetahui tentang ada-nya berbagai tingkatan Pabba (Kebijaksanaan) ini. Ada yang disebut Sutamaya Pab-ba, yaitu Pabba yang timbul atau Pabba yang sifatnya hanya menerima begitu saja terhadap apa saja yang kita ketahui, tanpa memikirkan atau mempertimbangkan lagi hal tersebut; jadi, asal terima saja. Kemudian ada lagi yang disebut Cintamaya Pabba, nah, Pabba jenis ini sifatnya sudah mulai mempertimbangkan segala sesuatu yang kita ketahui dengan menggunakan akal atau logika kita. Artinya, kalau hal tersebut masuk akal, bisa diterima dengan logika, oke kita terima; tetapi, kalau tidak masuk akal, ya nanti dulu! Demikianlah jenis Pabba tingkat yang kedua tadi. Dan, tingkat yang ter-akhir, yaitu Bhavanamaya Pabba, Pabba jenis ini sifatnya sudah langsung merasakan atau mengalami sendiri kebenaran Dhamma melalui praktek-praktek Dhamma yang kita lakukan, atau praktek kebenaran yang kita lakukan, yang dialami sendiri secara langsung. Nah Sdr/i sekalian, demikian tadi tentang jenis-jenis Pabba yang kita bahas kembali secara sekilas, karena uraiannya yang panjang lebar telah kita bahas pada waktu kebaktian beberapa waktu yang lalu.
Sdr/i yang berbahagia, sekarang, setelah mengingat kembali pelajaran tentang Pabba atau kebijaksanaan tersebut, mungkin Sdr/i akan bertanya demikian:”Bagaima-na sih sebenarnya proses bekerjanya Pabba itu? Mengapa dalam ajaran Buddha Dham ma hal ini sangat diutamakan sekali? Katanya, Pabba ini bisa membersihkan segala macam kekotoran batin yang ada di dalam diri kita. Sebenarnya, bagaimana sih hal ini bisa terjadi?” Sdr/i sekalian, untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka kita hendaknya harus mengetahui, yaitu mengetahui melalui pengalaman Sdr/i sendiri, bahwa setiap pintu-pintu indera kita, yang dalam hal ini ada enam pintu inde-ra, kontak dengan obyeknya masing-masing, maka pasti, ini pasti, kita pasti mengada-kan reaksi. Coba Sdr/i renungkan sendiri, benar atau tidak, bahwa kalau pintu-pintu indera kita kontak dengan obyeknya masing-masing, maka kita pasti mengadakan re-aksi. Contoh, misalnya Sdr/i melihat ada suatu bentuk makanan, misalnya soto sapi, atau makanan yang enak lainnya, pada saat itu juga, kita pasti terus langsung menga-dakan reaksi, yaitu jadi kepingin. Nah, kepingin itu adalah reaksi, Sdr/i. Reaksi dari batin kita karena adanya kontak tadi. Jadi, begitu pintu indera kontak dengan obyek, maka langsung ada reaksi. Dan, kontaknya ini bisa kontak dengan hal yang menye-nangkan, atau bisa juga dengan hal yang tidak menyenangkan. Yang penting, pasti bereaksi. Hal demikian ini, berlaku terhadap semua pintu indera kita, tidak hanya me-lalui mata saja atau melalui telinga saja, tetapi melalui semua pintu indera kita.
Sdr/i sekalian, setelah Sdr/i mengetahui dan merenungkan sendiri tentang hal tersebut tadi, yaitu kalau ada kontak antara obyek dengan indera pasti ada reaksi, ma-ka hendaknya kita sekarang lebih mengetahui lagi, bahwa hal tersebut tadi, memang sudah merupakan sifat batin kita yang selalu kita pupuk terus menerus hingga sampai saat sekarang ini. Jadi, sampai saat sekarang ini juga, kalau indera kita kontak dengan suatu obyek atau sasaran, maka pasti langsung bereaksi. Demikianlah sifat batin kita sekarang ini. Dan Sdr/i yang berbahagia, perlu diketahui, bahwa selama sifat batin ki-ta ini masih demikian, yaitu begitu kontak langsung bereaksi, maka kita belum bisa terbebas dari dukkha, kita belum bisa terbebas dari kekotoran batin. Mengapa? Kare-na, reaksi sebagai akibat dari adanya kontak tadi, pasti selalu mengandung Lobha, Do sa, dan Moha. Dan, selama masih ada Lobha, Dosa, dan Moha ini, maka selama itu pu la masih ada penderitaan. Jadi sekali lagi kami ulangi, karena reaksi yang merupakan akibat dari adanya kontak antara indera dengan obyeknya tadi pasti mengandung Lo-bha, Dosa, dan Moha, maka selama itu pula masih ada penderitaan.
Sdr/i sekalian, lalu sekarang bagaimana supaya tidak timbul penderitaan, supa-ya tidak timbul dukkha, supaya tidak timbul Lobha, Dosa, dan Moha? Apakah semua pintu indera kita harus kita tutup supaya tidak ada kontak sehingga tidak ada reaksi? Apakah harus demikian? Sdr/i sekalian, hal tersebut sangatlah tidak mungkin untuk kita lakukan. Memang, bisa saja seandainya kita mau menutup pintu-pintu indera kita walaupun hal ini tidak wajar, tetapi coba, bagaimana mungkin kita bisa menutup inde-ra pikiran kita? Coba saja Sdr/i renungkan sendiri, bisa apa tidak? Jadi, sekarang ba-gaimana pemecahannya? Bagaimana caranya supaya tidak timbul dukkha karena ka-lau menghindari kontak, itu tidak mungkin? Sdr/i yang berbahagia, caranya hanya sa-tu, yaitu boleh saja pintu-pintu indera kita kontak dengan obyek, tetapi …. pada saat itu kita harus menjaga supaya tidak timbul reaksi dalam batin kita. Sekali lagi, boleh saja pintu-pintu indera kita kontak dengan obyek, tetapi …. pada saat itu kita harus menjaga supaya tidak timbul reaksi dalam batin kita. Jadi, yang biasanya begitu kon-tak langsung ada reaksi, sekarang kita ubah sifat batin kita menjadi begitu kontak ti-dak langsung reaksi, melainkan …. langsung mengadakan pengamatan, sehingga yang timbul adalah Pabba atau kebijaksanaan. Jadi sekali lagi, kita ubah sifat batin kita, da-ri yang biasanya begitu kontak langsung reaksi, menjadi …. begitu kontak langsung mengadakan pengamatan, sehingga yang timbul adalah Pabba atau kebijaksanaan. Inilah satu-satunya jalan supaya kita bisa terbebas dari Lobha, Dosa, dan Moha; satu-satunya jalan. Selanjutnya Sdr/i, bila begitu kontak, terus kita langsung melakukan pe-ngamatan, lalu apa sih sebenarnya yang diamati saat itu? Sdr/i yang berbahagia, yang harus kita amati saat itu adalah perasaan kita. Sekali lagi, yang harus kita amati saat itu adalah perasaan kita. Bila pintu indera kita kontak dengan obyek, pasti saat itu, se-cara bersamaan, akan timbul pula perasaan, kesan-kesan, dan sebagainya. Nah, yang perlu kita amati adalah perasaan kita tersebut, sebab hal itulah yang paling bisa kita rasakan atau yang paling berasa bagi kita. Jadi begitu kontak, langsung kita amati saja perasaan kita tersebut. Dan, perasaan ini ada tiga macam (Tisso Vedana), yaitu: me-nyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Nah, kita amati saja perasaan kita terse-but dan kita renungkan pula bahwa perasaan itu pasti, pasti … tidak kekal. Jadi, cukup kita amati saja perasaan ini, jangan sekali-kali Sdr/i mencoba melawan atau mengikuti nya. Bila sampai demikian, yaitu mencoba melawan atau mengikuti, berarti sudah tim bul reaksi dalam batin Sdr/i. Oleh sebab itu, amati saja perasaan tersebut dan renung-kanlah bahwa hal itu pasti tidak kekal (Vedana Aniccam). Nah dengan demikian, de-ngan adanya pengamatan atau perenungan terhadap perasaan tadi, maka begitu kontak tidak langsung timbul reaksi, melainkan melalui proses perenungan dan pengamatan tadi, yang timbul adalah Pabba atau kebijaksaan. Jadi begitu kontak, lalu langsung di-renungkan atau diamati, maka yang timbul adalah Pabba. Sdr/i yang berbahagia, demi kianlah proses dan sifat dari batin kita tersebut.
Sdr/i seDhamma, setelah kita mengetahui metode atau cara untuk bisa terbebas dari dukkha, maka hendaknya cara ini harus benar-benar kita latih dan kita alami lang sung dalam kegiatan kita sehari-hari. Kita tidak bisa mengandalkan hal tersebut hanya berdasarkan percaya atau hanya berdasarkan logika saja. Dalam hal ini, kita harus be-nar-benar melatih pengamatan tersebut supaya kita tidak langsung tenggelam dalam reaksi. Karena, kalau kita sampai tenggelam dalam reaksi, berarti kita juga langsung tenggelam dalam dukkha. Jadi, harus benar-benar kita latih sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari supaya menjadi watak batin kita yang baru, yaitu watak yang tidak langsung tenggelam dalam perasaan atau reaksi.
Sdr/i seDhamma, ada sebuah cerita sebagai bahan perbandingan untuk hal terse but. Ceritanya sebagai berikut: pada suatu hari ada seorang profesor yang sangat ting-gi pendidikannya dan gelarnya juga banyak sekali. Profesor ini masih muda dan be-lum dewasa dalam menghadapi masalah kehidupan, dia hanya sangat tinggi dalam pendidikannya saja. Pada suatu ketika, profesor ini berlayar dengan sebuah kapal yang cukup besar; dan di dalam kapal tersebut, juga ada seorang pelaut yang sudah tua serta kurang berpendidikan. Dia menjadi pelaut hanya dari pengalaman hidupnya saja. Nah Sdr/i sekalian, secara tidak sengaja, pada suatu saat pelaut tua ini iseng-iseng pergi ke tempat profesor tadi, sebab, dia telah mendengar bahwa profesor ini pendidikannya sangat tinggi, jadi siapa tahu bisa menambah pengetahuan bila berte-mu dengannya. Akhirnya, dia bisa bertemu dengan profesor itu, dan begitu bertemu, profesor itu langsung bertanya padanya:”Hai pak pelaut tua, apakah bapak pernah be-lajar geologi?” “Apa itu tuan profesor?” “Itu lho, ilmu pengetahuan yang mempela-jari tentang bumi”. “Oh, tidak tuan profesor, saya tidak pernah belajar di sekolah maupun di perguruan tinggi. Saya tidak pernah belajar apa-apa”. “Wah, pak tua, ka-lau begitu, berarti bapak sudah kehilangan seperempat dari seluruh kehidupan bapak karena ternyata bapak, sebagai pelaut, tidak tahu tentang ilmu bumi”. Sdr/i sekalian, mendengar hal ini, pelaut tua itu menjadi sangat sedih. Karena, kalau yang bilang de-mikian itu adalah seorang profesor, berarti hal itu memang benar. Oleh sebab itu, dia menjadi sangat sedih karena merasa telah kehilangan seperempat dari hidupnya. Arti-nya, seperempat bagian dari kehidupannya telah sia-sia karena tidak punya pengetahu an tentang geologi tadi. Sdr/i sekalian, hari berikutnya, ketika dia berjumpa lagi de-ngan profesor tersebut, lagi-lagi profesor itu bertanya:”Pak tua, pak tua, apakah bapak pernah belajar oceanologi? Pernah tidak?” “Apa sih itu, tuan profesor?” “Itu lho, il-mu yang mempelajari soal laut, soal samudera”. “Wah, tidak pernah tuan, khan saya sudah bilang, bahwa saya tidak pernah belajar apa-apa”. “Wah, pak tua, kalau begitu, berarti sekarang bapak telah kehilangan setengah dari kehidupan bapak; karena, seba-gai pelaut, bapak tidak tahu tentang ilmu samudera”. Sdr/i, pelaut tua itu sekarang tam bah sedih lagi karena dikatakan demikian oleh sang profesor. Dan Sdr/i sekalian, pada saat berikutnya lagi, lagi-lagi profesor itu bertanya kepada pelaut tua tersebut:”Pak tua, pak tua, apakah bapak pernah belajar metereologi?” “Apa lagi sih itu, tuan profe-sor, saya tidak tahu”. “Itu lho, ilmu yang mempelajari tentang cuaca, hujan, angin, dan sebagainya”. “Wah, tidak pernah tuan profesor, saya benar-benar tidak pernah be lajar apa-apa”. “Nah, pak tua, kalau begitu, berarti sekarang bapak telah kehilangan tiga perempat dari seluruh kehidupan bapak”. Sdr/i sekalian, pelaut tua itu sekarang benar-benar menjadi sangat sedih sekali karena profesor tadi telah mengatakan demi-kian. Artinya, dia merasa telah kehilangan tiga perempat dari seluruh kehidupannya. Sdr/i seDhamma, tetapi tidak lama kemudian, pelaut tua itu tiba-tiba berlari-lari mene mui sang profesor sambil berteriak-berteriak:”Tuan profesor, tuan profesor, apakah anda belajar swimologi? Cepat katakan tuan, apakah anda pernah belajar swimologi?” “Belum pak tua, belum pernah. Apa itu swimologi?” “Ilmu berenang tuan, apakah tuan profesor bisa berenang?” “Wah, saya tidak bisa berenang, pak tua. Kenapa?” “Wah, tuan profesor, kalau begitu berarti tuan telah kehilangan seluruh kehidupan tuan, bukan hanya tiga perempat. Sebab, baru saja kapal ini menabrak karang, dan se-karang sedang akan tenggelam. Jadi, siapa saja yang bisa berenang, dia bisa mencapai pantai; kalau tidak bisa, ya tenggelam. Maka, maafkan saya tuan profesor, karena tidak bisa menolong tuan”.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikian tadi cerita tentang seorang profe-sor sebagai bahan perbandingan dalam praktek Dhamma kita sehari-hari. Kebanyakan dari kita masih seperti sang profesor tadi, yaitu banyak sekali gelarnya, kepandaian-nya, akan tetapi ilmu yang penting malah dia tidak bisa. Atau, mungkin dia belajar be-renang hanya berdasarkan buku-buku saja dan tidak pernah mencebur ke air. Jadi, be-gitu ada musibah, dia lalu langsung tenggelam. Kita pun demikian, Sdr/i, kita belajar Dhamma ini, belajar Dhamma itu, tetapi prakteknya kurang, sehingga kalau pintu inde ra kita kontak dengan obyek, maka kita langsung, artinya langsung tenggelam, yaitu berupa reaksi atau tindakan. Sebagai contoh, ada seorang umat Buddha yang sangat rajin. Artinya, ke vihara rajin, ke Dhamma Class juga rajin, berdananya rajin, dia juga cukup pandai dan cerdas dalam mempelajari Buddha Dhamma. Dia tahu Metta dan Karuna, tahun Empat Kebenaran Mulia, tahu Paticcasamuppada, tahu hukum Kamma, Tilakkhana, dan sebagainya lagi. Pokoknya banyak sekali Dhamma yang dia tahu. Tetapi Sdr/i, pada suatu hari, ketika dia sedang membereskan buku, tiba-tiba muncul binatang yang dia takuti, yaitu cecak, nah, tanpa tunggu-tunggu lagi, secara spontan, dia langsung bereaksi, yaitu ‘bluk’ , sandalnya dipukulkan ke cecak tersebut sehingga binatang itu langsung mati. Nah Sdr/i sekalian, mengapa bisa demikian? Inilah Sdr/i, yang dinamakan ‘belajar berenangnya masih kurang lihai’. Jadi masih tenggelam. Oleh sebab itu Sdr/i sekalian, marilah kita semua, mulai dari sekarang ini, lebih giat lagi berlatih ‘berenang’, yang artinya berlatih praktek Dhamma secara langsung, agar kita bisa mencapai pantai seberang, yaitu merealisasi Nibbana, terbebas dari dukkha.
Sdr/i yang berbahagia, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini, dan bila ada hal-hal yang kurang berkenan, maka bisa kita diskusikan bersama-sama sesudah kebaktian ini selesai. Terimakasih.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
____________________

Buku acuan:
The Art of Living Vipassana Meditation as Taught by : S.N. Goenka.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-

Ogha

BANJIR (OGHA)

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
NATTHI TANHÄSAMÄ NADÍ.
Tidak ada arus sungai yang dapat menyamai arusnya nafsu keinginan.
Khuddakanikäya Dhammapadagäthä.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita tadi membaca Paritta dan bermeditasi bersama-sama, maka marilah kita sekarang mengarahkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Banjir (Ogha)’. Sekali lagi Sdr/i, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yai-tu ‘Banjir (Ogha)’.
Sdr/i sekalian, kalau kita mendengar atau membaca berita-berita yang terjadi di nega-ra kita sendiri maupun di negara-negara lain, kita dapat mengetahui bahwa beberapa tempat di daerah-daerah tersebut sering terserang oleh bencana banjir. Beberapa contoh misalnya di daerah Jawa Timur, juga kemudian di sekitar daerah Bandung, Jawa Barat, dan sebagainya. Sdr/i yang berbahagia, berbagai tindakan sudah dilakukan masyarakat guna mengatasi masa-lah perbanjiran ini. Hal tersebut dilakukan untuk meringankan beban penderitaan bagi mere-ka yang sedang tertimpa musibah banjir ini.
Sdr/i seDhamma sekalian, berdasarkan adanya peristiwa banjir tersebut, maka pem-bahasan Dhamma hari ini juga berkenaan dengan kata ‘banjir’ tadi, mengapa? Karena de-ngan harapan supaya ajaran Dhamma ini lebih mudah teringat atau lebih dapat berkesan di dalam diri kita, sehingga akhirnya bisa menambah kemajuan dan kebahagiaan batin kita. Sdr/i sekalian, kalau kita membaca kitab Saçyuttanikäya Mahäväravagga bab 19 ayat 88, maka di sana kita bisa mengetahui tentang pembahasan Dhamma yang bertemakan mengenai banjir ini. Di dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa ‘banjir’ atau yang istilahnya dalam bahasa Pali disebut ‘Ogha’, mempunyai empat macam maksud yaitu:
1. Banjir kenafsuan atau yang disebut dengan ‘kama-ogha’.
2. Banjir perwujudan atau yang disebut dengan ‘bhava-ogha’.
3. Banjir pandangan-pandangan atau yang disebut dengan ‘ditthi-ogha’.
4. Banjir ketidaktahuan atau yang disebut dengan ‘avijja-ogha’.
Sdr/i sekalian, sekali lagi kami tegaskan tentang empat macam ‘banjir’ tersebut yaitu: 1. …. ; 2. …. ; 3. …. ; 4. …. . Sdr/i, jadi itulah tadi yang dimaksud dengan ‘banjir’ yang berkenaan dengan ajaran Dhamma yang terdapat di dalam Saçyuttanikäya Mahäväravagga. Keempat hal tadi disebut sebagai banjir, karena mereka memiliki kekuatan untuk mengha-nyutkan makhluk-makhluk yang telah jatuh menjadi korban kekuatan-kekuatan mereka. Sdr/i sekalian, selanjutnya marilah sekarang kita ikuti uraian pembahasan dari keempat hal terse-but tadi yang bisa disebut sebagai ‘banjir’.
Yang pertama Sdr/i, yaitu yang dimaksud dengan banjir kenafsuan atau ‘kama-ogha’. Sdr/i, menurut kitab Khuddakanikäya Mahävagga 29/1, yang dimaksud ‘käma’ atau nafsu-nafsu indera ini, ada dua bagian.
1. Yaitu nafsu inderanya itu sendiri atau yang disebut kilesa-kama, dan
2. Yaitu obyek dari nafsu indera tersebut, yang dalam hal ini disebut vatthu-kama.
Jadi, nafsu indera yang muncul dari keinginan untuk memuaskan hawa nafsu, atau dengan kata lain hawa nafsunya itu sendiri, disebut sebagai kilesa-kama. Misalnya keinginan memu-askan hawa nafsu itu sendiri, yang dalam hal ini disebut ‘raga’, kemudian ada lagi misalnya keserakahan (lobha), lalu kerinduan (icchä), iri hati (issä), keinginan jahat (byapada), dan ke-tidakpuasan (arati). Demikianlah yang dimaksud dengan nafsu indera atau kilesa-kama. Dan selanjutnya, marilah kita membahas tentang hal-hal yang dapat menimbulkan nafsu indera tersebut. Sekali lagi, hal-hal yang dapat menimbulkan adanya nafsu indera tersebut, inilah yang disebut sebagai vatthu-kama. Jadi, vatthu-kama adalah hal-hal yang menimbulkan ada-nya nafsu keinginan atau nafsu indera tadi. Contoh vatthu-kama ini misalnya bentuk-bentuk yang dapat dilihat, suara yang dapat didengar, bau-bauan, rasa, dan juga sentuhan-sentuhan yang menyenangkan. Dalam hubungannya dengan Pañcakkhandha atau lima kelompok kehi-dupan, maka kilesa-kama termasuk di dalam kelompok bentuk-bentuk batin (saékharakkhan-dha), sedangkan vatthu-kama termasuk dalam kelompok ‘rupa’ atau materi. Dan kalau ditin-jau dalam hubungannya dengan godaan, maka kilesa-kama ini diperbandingkan sebagai penggodanya yang dalam hal ini juga disebut sebagai ‘mara’, sedangkan vatthu-kama dapat dikatakan sebagai tali jeratnya si penggoda tadi, yang dapat mengikat makhluk-makhluk yang terjerat oleh mereka. Demikianlah Sdr/i sekalian, penjelasan tentang banjir kenafsua atau yang disebut kama-ogha ini.
Sdr/i sekalian, selanjutnya yang kedua yaitu yang disebut sebagai banjir perwujudan atau bhava-ogha. Sdr/i, yang dimaksud dengan banjir perwujudan ini yaitu perwujudan atau timbul di alam-alam kehidupan, yang dalam hal ini ada 31 (tigapuluh satu) alam kehidupan. Namun, hal ini dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Kamavacara-bhumi, yaitu alam-alam yang makhluk-makhluknya masih mempunyai atau masih dikuasai oleh kesenangan-kesenangan indera. Alam manusia dan enam alam dewa adalah kamavacara-bhumi ini, yaitu kamavacara-bhumi yang menyenangkan.
2. Rupavacara-bhumi, yaitu yang merupakan perkembangan selanjutnya, adalah alam-alam bagi mereka yang telah mencapai meditasi tingkat ‘rupa jhana’ atau jhana bermateri, yai-tu meditasi yang didasarkan pada suatu obyek yang bermateri atau memiliki bentuk. Pada tingkatan alam ini, makhluk-makhluknya sudah dapat mengatasi keinginan atau kese-nangan-kesenangan nafsu indera, dan sebaliknya terserap ke dalam kegiuran dan kebaha-giaan yang timbul dari meditasi tadi.
3. Arupavacara-bhumi, yaitu juga merupakan perkembangan selanjutnya lagi, adalah alam-alam bagi mereka yang telah mencapai atau telah memasuki meditasi tingkat arupa jhana atau jhana tidak bermateri, yaitu meditasi yang didasarkan pada suatu obyek yang tidak bermateri atau obyek tanpa bentuk.
4. Lokuttara-bhumi, merupakan tingkat tertinggi dari semua alam-alam pikiran tadi, yaitu alam-alam pikiran dari mereka yang telah menyadari ‘keadaan di atas keduniawian’. Ba-tin yang sudah demikian ini, tidak dapat mengalami kemunduran apapun juga, dan batin yang demikian ini dimiliki oleh para siswa mulia atau makhluk-makhluk ‘ariya’ (suci).
Sdr/i, itulah tadi yang dimaksud dengan bhava-ogha atau banjir perwujudan, hanya saja per-lu kami jelaskan bahwa yang dimaksud dengan alam-alam kehidupan di sini yaitu merupa-kan tingkat-tingkat atau tahap-tahap dari perkembangan batin.
Sdr/i, selanjutnya yaitu pembahasan yang ketiga, yang disebut banjir pandangan-pan-dangan atau ditthi-ogha. Yang dimaksud dalam hal ini yaitu pandangan-pandangan salah, yang dalam hal ini ada tiga macam pandangan salah yaitu sebagai berikut:
1. Akiriya Ditthi atau ajaran yang menolak akibat kamma. Ajaran ini beranggapan bahwa-sanya tidak ada akibat nyata dari hal-hal yang disebut baik atau buruk. Jadi, apabila ada seseorang melakukan perbuatan baik atau buruk yang tidak dilihat atau diketahui oleh orang lain, maka secara mutlak tidak ada akibat baik atau buruk yang diharapkan dari perbuatan itu. Perbuatan baik atau buruk akan ada hasilnya bila ada orang lain yang tahu atau melihatnya. Contoh, misalnya ada seseorang menerima hadiah, itu karena ada orang lain yang melihat perbuatan baiknya tersebut; demikian pula halnya dengan seseorang yang menerima hukuman. Tetapi bila perbuatan baik atau buruknya itu tidak diketahui oleh orang lain, maka akibatnya tidak ada. Jadi, keyakinan semacam ini menolak akibat (vipaka) dari kamma atau perbuatan. Inilah yang disebut dengan pandangan ‘Akiriya Ditthi’.
2. Ahetuka Ditthi atau ajaran yang menolak adanya sebab-sebab dari kamma. Ajaran ini mengajarkan tentang faham nasib atau takdir. Jadi, dengan demikian dapat disebut seba-gai ‘determinisme’. Seseorang yang menganut ajaran ini beranggapan bahwasanya orang -orang mengalami kebahagiaan atau penderitaan itu, adalah sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan bagi mereka. Selama saat-saat beruntung, maka apapun yang mereka lakukan pasti akan memberikan hasil-hasil baik, seperti kenaikan pangkat, kekayaan, nama harum dan sebagainya. Sedangkan pada saat tidak beruntung, mereka dapat dipecat, gagal, dan putus asa, tidak perduli bagaimana bersemangatnya mereka telah berjuang untuk berbuat baik. Jadi, ajaran ini menolak adanya kekuatan kamma sebagai sebab yang mendasari ke-bahagiaan dan penderitaan itu. Inilah yang dimaksud dengan pandangan ‘Ahetuka Dit-thi’.
3. Natthika Ditthi atau ajaran yang menolak semuanya, atau ajaran tentang ketiadaan. Pan-dangan ini mengajarkan bahwasanya tidak ada apapun juga dari apa yang disebut manu-sia atau binatang. Wujud-wujud ini adalah hasil-hasil pengelompokan dari apa yang dise-but unsur-unsur, yang kadang-kadang saling membantu satu dengan yang lain tetapi ka-dang-kadang juga berlawanan satu dengan yang lain. Demikianlah keadaan ini, yaitu ka-rena sifat dasar dari masing-masing, maka tidak ada apapun juga yang dapat dianggap sebagai perbuatan baik atau buruk itu sendiri. Apabila, misalnya, setelah turun hujan pohon-pohon berbunga dan menghasilkan buah, adalah tidak masuk akal untuk berpikir bahwasanya terdapat suatu perbuatan berjasa pada pihak sang hujan. Selanjutnya, apabila suatu api di dalam hutan membakar seluruh pohon-pohon di dalamnya, maka tak ada seorang pun yang berpikiran waras akan pernah beranggapan bahwasanya terdapat suatu perbuatan jahat yang dilakukan oleh api. Jadi, demikianlah juga keadaannya, tidak ada yang dapat dianggap sebagai perbuatan berjasa ataupun perbuatan jahat apapun bilamana seseorang melukai atau membantu orang lain. Inilah yang dimaksud dengan pandangan ‘Natthika Ditthi’.
Sdr/i, selanjutnya sekarang marilah kita lihat pembahasan yang keempat, yaitu ten-tang banjir ketidaktahuan atau yang disebut dengan avijja-ogha. Yang dimaksud dengan ban-jir ketidaktahuan ini adalah tidak tahu terhadap ‘Empat Kebenaran Mulia’, yaitu tidak tahu mengenai penderitaan, tidak tahu mengenai sebab penderitaan, tidak tahu mengenai terhenti-nya penderitaan, dan tidak tahu mengenai jalan yang membawa pada pengikisan penderitaan.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah renungan dan pembahasan Dhamma kita pada hari ini, yang berkenaan dengan kata ‘banjir’ atau ‘ogha’, dan bila di antara Sdr/i ada yang ingin bertanya tentang makalah ini, maka kami persilahkan untuk membahasnya nanti setelah selesainya kebaktian ini.
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk berbahagia!
Säddhu! Säddhu! Säddhu!
____________________

Buku Acuan:
Disalin dengan gubahan seperlunya dari buku ‘Dhamma Vibhaéga, Penggolongan Dhamma’ disusun oleh Prince Vajirananavarorasa, alih bahasa oleh Bhikkhu Jeto.

Dibacakan pada tanggal:
- 17 April 1994.
-
-
-
-
-
-
-

Aroghya

AROGYA ( KESEHATAN )
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
AROGYA PARAMA LABHA ; SANTUTTHI PARAMAM DHANAM.
Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar ;
Kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga.
Khuddakanikaya Dhammapadagatha.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah membaca Paritta dan bermeditasi, marilah sekarang kita pusatkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengadakan pem-bahasan dan perenungan Dhamma yang pada hari ini berjudul ‘Arogya atau Kesehat-an’. Jadi sekali lagi, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini ya-itu ‘Arogya atau Kesehatan’.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, kesehatan dapat dikatakan sebagai faktor un-tuk memperoleh keuntungan. Bahkan, dapat pula dikatakan bahwa kesehatan sering di anggap sama dengan harta kekayaan atau sejenis dengan harta kekayaan. Hal ini se-sungguhnya tidak berlebih-lebihan, karena hal-hal yang merupakan tujuan seseorang, misalnya kekayaan, nama harum, persahabatan, dan sebagainya tidak dapat dicapai tanpa adanya faktor kesehatan ini. Bagaimana mungkin seseorang bisa mencapai ke-suksesan yang diinginkannya apabila ia selalu menderita sakit-sakitan? Bagaimana mungkin seseorang dapat melaksanakan pekerjaan atau rencananya dengan baik apa-bila badannya sering terserang penyakit dan pikirannya sering terganggu?
Sdr/i seDhamma sekalian, badan jasmani manusia ini dapat diibaratkan seperti sebuah mesin. Apabila sebuah mesin digerakkan dengan uap atau sumber-sumber tena ga lainnya, maka tubuh manusia juga bisa dikatakan demikian karena adanya tenaga yang juga bergerak dan bekerja. Hanya saja Sdr/i, di dalam tubuh manusia, kemauan atau kekuatan untuk bergerak dan bekerja ini, tergantung pada fungsi-fungsi yang sa-ling berhubungan di antara organ-organnya. Jika ada sesuatu yang keliru atau tergang-gu dalam hubungan-hubungan tersebut, maka akibatnya dapat terwujud timbulnya ra-sa nyeri dan sakit, lelah, gelisah, hilangnya nafsu makan, dan meningkatnya suhu tu-buh atau gejala-gejala lainnya. Ini adalah yang disebut sebagai tanda-tanda menurun-nya kesehatan.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, terdapat beberapa langkah umum untuk men cegah timbulnya penyakit. Memang, di dunia ini terdapat banyak sekali penyakit yang tidak terhitung jumlahnya, yang diagnosa dan pengobatannya secara medis dapat dipe lajari dalam buku-buku kedokteran. Tetapi, di sini kita hanya akan membahas menge-nai langkah-langkah pencegahan untuk menjaga kesehatan yang telah dikenal oleh masyarakat dan telah dilaksanakan secara umum. Hal ini juga menerangkan apa yang terdapat di dalam kitab-kitab suci dan untuk memperlihatkan bagaimana cara merawat dan mencegah penyakit-penyakit, baik menurut cara-cara fisik maupun batin. Hal-hal yang dapat diungkapkan secara umum guna mendapatkan kesehatan antara lain yaitu:
1. Hanya berhubungan dengan hal-hal yang sesuai dan menghindari hal-hal yang ti-dak sesuai. Hal ini meliputi barang-barang materi seperti makanan, pakaian, tem-pat tinggal, obat-obatan, dan teman bergaul; dan juga hal yang bukan materi misal nya cara hidup dan norma-norma susila. Atau singkatnya, meliputi apa saja yang sesuai ataupun tidak sesuai menurut keadaan jasmani, rasa, dan selera seseorang.
2. Tidak berlebih-lebihan dalam hal makan dan minum. Walaupun beberapa macam makanan sesuai untuk badan dan pikiran, tetapi menikmatinya secara berlebih-le-bihan akan sama bahayanya dengan makan makanan yang tidak sesuai. Demikian juga dalam hal minuman.
3. Tidak berlebih-lebihan dalam hal tidur. Tidur adalah perlu sekali untuk kesehatan badan dan pikiran, tetapi tidur berlebih-lebihan menjadikan orang lemah dan ma-las. Demikian pula jika tidur terlampau sedikit, akan melelahkan dan menyebab-kan seseorang tidak dapat melanjutkan pekerjaan.
4. Mengubah-ubah sikap badan (duduk, berbaring, berdiri, berjalan, dan sebagainya). Jangan tetap berada dalam satu sikap tertentu terlalu lama karena hal itu akan da-pat melelahkan secara keseluruhan.
5. Bersikap waspada terhadap perubahan cuaca. Janganlah membuka diri pada cuaca yang sangat panas atau sangat dingin walaupun badan rasanya cukup kuat. Juga jangan memaksa diri untuk menahan lapar dan haus serta menahan untuk buang air kecil atau besar.
6. Selalu bersikap waspada dan sadar, tidak bersikap lalai dalam setiap gerakan. Ini juga berlaku untuk setiap gerakan badan, setiap kita berbuat atau berbicara, terma-suk saat sebelum atau sewaktu berbuat, berbicara, bergerak, atau mengubah sikap badan.
7. Selalu mengendalikan diri. Artinya selalu waspada terhadap bentuk-bentuk nafsu seperti marah, senang, susah yang berlebih-lebihan dan lain-lainnya. Hal-hal seper ti itu dapat merusak kesehatan mental. Kemampuan mengendalikan diri semacam itu akan memberikan kepada kita suatu keseimbangan batin.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikian tadi nasehat-nasehat secara umum guna mendapatkan kesehatan. Sudah tentu masih banyak nasehat untuk menjaga kese-hatan, tetapi untuk dapat mengetahui lebih mendetail lagi, tentu sebaiknya diperiksa oleh seorang dokter atau seorang yang ahli dalam bidang tersebut. Sedangkan cara-ca-ra yang telah diuraikan tadi adalah cara-cara yang telah disebutkan dan digolongkan secara umum menurut apa yang dijelaskan di dalam kitab-kitab suci, yang memperli-hatkan bagaimana orang-orang pada jaman dahulu selalu berbuat sesuai dengan ilmu kesehatan.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, jadi di sini dapat dilihat, bahwa unsur kese-hatan untuk mencapai kekayaan materi, kemashuran, dan persahabatan, adalah meru-pakan suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan atau ditiadakan. Oleh sebab itu, se-seorang perlu mengetahui bagaimana menjaga kesehatannya dan bagaimana mengo-bati dirinya bila ia sakit supaya ia dapat menjadi sembuh kembali untuk dapat mene-ruskan pekerjaannya seperti semula.
Sdr/i seDhamma sekalian, di dalam dunia internasional, kesehatan juga merupa kan masalah pokok yang utama. Kesehatan dapat dikatakan sebagai kualitas hidup ba-gi seseorang. Menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan itu me-liputi kesehatan mental, fisik, kesehatan sosial (pergaulan), tidak cacat dan tidak le-mah gizi. Sedangkan penanggulangannya meliputi pencegahan, terapi (penyembuhan) dan rehabilitasi (pemulihan).
Sdr/i seDhamma, kalau kita mau meneliti, ternyata ajaran Sang Buddha juga sa-ngat erat hubungannya dengan kesehatan. Dari ajaran Beliau yang paling sederhana, misalnya tentang Sila (kemoralan), kita dapat mengambil manfaatnya untuk kesehat-an. Dengan melaksanakan Sila secara benar, maka semua perbuatan kita dikendali-kan, misalnya dalam hal makan, kita menjadi tidak terlalu banyak makan, semua as-pek hidup menjadi teratur, dan sebagainya. Juga, dengan menjalankan Sila yang perta ma, yaitu menghindari membunuh makhluk hidup, maka kita dapat terhindar dari umur pendek, sakit-sakitan, dan pada kehidupan yang akan datang nanti kita tidak ter-lahir sebagai manusia cacat. Lalu dengan menjalankan Sila ketiga, yaitu menghindari berbuat asusila, maka kita dapat terhindar dari segala macam bentuk penyakit kela-min. Dan dengan menjalankan Sila kelima, kita dapat melihat pengaruhnya, yaitu bila kita menghindari segala macam minuman keras atau barang-barang yang memabuk-kan, maka kita dapat terhindar dari penyakit radang otak, kanker, dan sebagainya.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikian pula dengan melaksanakan Sama-dhi atau meditasi. Bila kita selalu melatih Samadhi dengan benar, maka hidup akan te rasa lebih tenang, tidur dapat lebih nyenyak, sehingga kesehatan akan bertambah. Ju-ga bila kita memiliki Pabba atau kebijaksanaan, maka kita akan bisa menerima seba-gaimana adanya apa yang terjadi pada diri kita. Artinya, kita mengetahui bahwa kese-hatan juga tidak kekal, pasti selalu ada gangguan sakit. Kita mengetahui bahwa kondi-si kesehatan adalah bersyarat. Artinya, kalau syaratnya tidak terpenuhi maka kesehat-an bisa berubah menjadi tidak sehat. Jadi, kalau pada suatu saat kita menderita suatu penyakit, hendaklah kita jangan terlalu mengeluh. Sadarilah bahwa itu adalah hasil dari karma kita sendiri. Karena, di dalam agama Buddha tidak ada sesuatu yang terja-di secara kebetulan. Semua yang terjadi adalah akibat dari karma kita sendiri. Jadi, yang penting adalah pikirkanlah hal yang baru untuk mengatasi bagaimana penyakit tersebut, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Sebab, bila kita bisa segera menyadari terhadap apa yang sedang terjadi pada diri kita, maka kita segera pula menyadari un-tuk memperbaikinya, sehingga semakin cepat dikenal penyakitnya, maka kemungkin-an untuk menjadi parah akan semakin sedikit.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, jadi semakin jelas, bahwa dengan melaksana kan ajaran Sang Buddha, ternyata kita bisa mencegah banyak hal yang dapat merugi-kan kesehatan kita. Dan, hendaknya kita juga selalu menyadari bahwa semua masalah itu dapat diselesaikan atau diatasi dengan Dhamma.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yang berjudul ‘Arogya atau Kesehatan’. Dan bila di antara Sdr/i ada yang ingin bertanya tentang makalah ini, kami persilakan untuk mendiskusi-kan bersama-sama setelah selesainya kebaktian. Terimakasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
____________________

Dibacakan pada tanggal :
-
-
-
-
-

Ramalan dan Kamma

ANTARA RAMALAN DAN HUKUM KAMMA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
KAMMUNÄ VATTATI LOKO.
Semua makhluk di dunia tergantung oleh karmanya sendiri.
Majjhimanikäya Majjhimapaêêäsaka.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita membaca Paritta dan bermeditasi, ma-rilah kita sekarang mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Antara Ramalan dan Hukum Kamma’. Jadi sekali lagi Sdr/i, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Antara Ramalan dan Hukum Kamma’. Dan, makalah ini merupakan ringkasan dari salah satu khotbah Bhikkhu Subalaratano.
Sdr/i sekalian, dewasa ini seringkali kita melihat bahwa masih banyak umat Buddha yang sangat menggantungkan sikapnya kepada ramalan ahli nujum. Apalagi, kalau umat Buddha tersebut masih awam dan belum mengerti Buddha Dhamma. Mereka itu umumnya belum mempunyai pengertian yang mendalam mengenai apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha Gotama. Kecuali itu, ternyata situasi kemajuan materi juga merupakan pendorong bagi suburnya praktik ramal meramal ini. Hal ini tidak lain karena manusia yang sedang mengejar materi biasanya lupa untuk membina batin atau menghayati ajaran agama (yang da-lam hal ini adalah Dhamma) secara benar. Sehingga, masalah yang berkaitan dengan ‘keba-tinan’ ini lalu diserahkan kepada para peramal. Maka, tidaklah mengherankan bila kita men-dengar bahwa beberapa pemimpin negara maju di bidang materi juga masih terikat dan per-cara kepada ramalan para ahli nujum.
Sdr/i sekalian, raja-raja pada jaman dahulu, di samping memiliki penasehat pemerin-tahan biasanya juga memiliki penasehat batin yang tugasnya memberikan pendapat mengenai arti ramalan, mimpi, atau kejadian-kejadian yang terjadi dan dianggap merupakan ramalan di masa yang akan datang.
Sdr/i seDhamma, Buddha Dhamma yang telah diwariskan oleh Buddha Gotama bu-kan menolak ramal-meramal atau memojokkan para ahli nujum. Dengan membabarkan Hu-kum Kesunyataan tentang Kamma, Sang Buddha berusaha mendidik manusia agar lebih mandiri daripada bergantung kepada ramalan saja. Sebab, manusia yang cara berpikirnya se-lalu tergantung kepada ramalan, tidak akan menjadi ‘manusia dewasa’ sehingga bisa menem-patkan soal ramal meramal ini pada tempat yang tepat dan bukan sebagai tujuan hidup.
Sdr/i sekalian, memang, dalam riwayat Buddha Gotama dapat kita baca bagaimana para peramal yang ahli dari Raja Suddhodana memberikan arti ramalan mereka setelah meli-hat putra mahkota Kapilavatthu, yang kelak kemudian menjadi Buddha Gotama. Mereka itu, yang katanya tergolong ahlipun, masih tidak bisa memberikan ramalan yang tepat, sehingga mereka menjawab dengan dua kemungkinan, yaitu bila pangeran menjadi raja, maka ia akan menjadi raja dunia; tetapi, bila pangeran menempuh hidup bertapa, maka ia akan menjadi orang suci.
Sdr/i seDhamma, begitu pula dengan permaisuri Raja Bimbisara yang sedang me-ngandung. Ia diramalkan oleh ahli ramalnya bahwa putra yana akan lahir itu nantinya akan menjadi musuh dari Raja Bimbisara. Maka, supaya tidak menjadi kenyataan, dibuatlah ‘kias’ kepada putra yang akan lahir dengan diberi nama Ajatasattu yang artinya ‘semoga tidak ter-lahir sebagai musuh’. Tetapi, ternyata di kemudian hari ‘kias’nya itu kurang manjur, karena Ajatasattu benar-benar membunuh ayahnya secara tidak langsung. Namun, setelah Sang Buddha memberikan ajaran Dhamma, barulah Ajatasattu menjadi raja yang baik.
Demikian pula Sdr/i sekalian, dalam cerita mengenai YA. Angulimala. Dikisahkan bahwa ketika beliau dilahirkan, seluruh senjata di istana kerajaan Pasenadi Kosala bersinar gemerlapan. Menurut para ahlli nujum, anak yang lahir pada saat demikian itu pasti akan menimbulkan mala petaka. Maka, ayahnya yang seorang bendahara kerajaan lalu memberi nama Ahimsaka, yang artinya ‘tidak menimbulkan kekerasan’. Namun, yang terjadi di ke-mudian hari adalah, karena fitnahan dari saudara-saudara seperguruannya, Ahimsaka menja-di pembunuh yang kejam sampai diberi julukan Angulimala. Baru setelah mendapat wejang-an Dhamma dari Sang Buddha, Angulimala insaf dan menjadi bhikkhu yang akhirnya dapat mencapai tingkat kesucian Arahat.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, jadi jelas bahwa ilmu ramal meramal itu memang ada. Tetapi, hendaknya umat Buddha janganlah beranggapan bahwa ramal meramal itu terle-pas dari Hukum Kamma, apalagi kalau mempertentangkannya. Sdr/i sekalian, ramalan itu hanyalah merupakan sebagian kecil saja yang mengungkapkan tentang proses Hukum Kam-ma. Oleh sebab itu, Sang Buddha tidak merasa perlu untuk mengajarkan ilmu tersebut, meng ingat keterbatasan daya pikir manusia yang masih penuh dengan kilesa (noda-noda batin). Padahal, bilamana kekotoran batin ini telah dilenyapkan, maka kemampuan mengetahui yang akan terjadi bisa dimiliki. Hal tersebut seperti awan gelap yang telah dihembus angin, sehing ga angkasa akan dapat terlihat menjadi terang benderang.
Sdr/i, dalam Sinsapa Sutta, jelas sekali Sang Buddha Gotama telah mengingatkan kita bahwa apa yang diajarkan oleh Beliau itu, meskipun sangat sedikit, tetapi yang sedikit ini adalah ‘jalan langsung’ (ekayana maggo) untuk merealisasi Nibbäna. Sedangkan yang sa-ngat banyak tidaklah diajarkan, yaitu termasuk di dalamnya segala jenis ilmu ramal meramal. Sebab, bila diajarkan bukan saja hanya mengakibatkan berputar-putar dalam lingkaran tu-mimbal lahir, tetapi malah bisa menyesatkan manusia masuk ke Apaya Bhumi (alam yang menderita). Oleh karena itu, umat Buddha dewasa ini hendaknya berhati-hati agar tidak salah mengerti mengingat dalam ajaran materialistis orang sering ‘mencatut’ nama Sang Buddha untuk mencari sesuap nasi. Sehingga, banyak ilmu ramal meramal yang dikait-kaitkan de-ngan nama dan ajaran Sang Buddha demi mendapatkan ‘income’ yang berlimpah ruah.
Sdr/i sekalian yang berbahagia, dalam suatu uraian cerita ‘Perjalanan ke Barat’ (See Yu Kie), dikisahkan tentang Siluman Monyet (Sun Go Kong) ketika belajar ilmu kepada Potecousu, seorang Arahat, ditanyakan mau belajar ilmu apa. Sebab, ada 36.000 ilmu Jalan Samping dan hanya ada satu ilmu Jalan Tengah. Siluman Monyet kemudian bertanya ilmu mana yang dapat membawa menuju keabadian (tidak mati). Arahat itu menjawab kalau mau abadi harus belajar ilmu Jalan Tengah, bukan ilmu-ilmu Jalan Samping yang jumlahnya sa-ngat banyak itu. Dan, ternyata Siluman Monyet itu memilih ilmu Jalan Tengah. Oleh sebab itu Sdr/i sekalian, bilamana seekor monyet saja mau mencari jalan lurus, mengapa kita yang manusia sukanya jalan yang serong saja? Khan sayang sekali!
Sdr/i sekalian, mengingat ramal meramal dewasa ini sering sekali membingungkan umat Buddha, maka marilah kita letakkan hal tersebut di tempat yang tepat. Hal ini dapat di-ibaratkan seperti seorang yang belum mengerti tentang listrik, karena setiap kali menghidup-kan lampu selalu menekan saklar di tembok. Terhadap hal ini ia lalu berpikir bahwa sumber listrik adanya di dalam saklar itu. Tetapi, ternyata sumbernya arus listrik bukanlah pada sa-klar itu, namun dibangkitkan oleh generator di tempat lain dan juga masih banyak lagi faktor pembentuknya. Tidak begitu sederhana seperti yang dibayangkan oleh mereka yang tidak mengerti tentang listrik.
Jadi Sdr/i, Buddha Dhamma tidak menolak seluruh ramalan, tetapi menempatkannya sebagai suatu peta hidup, yang masih bisa berubah dan bergantung kepada orangnya, yaitu bagaimana perbuatannya setelah ia diramalkan. Sekali lagi, Buddha Dhamma menempatkan ramalan hanya sebagai suatu peta hidup, yang masih bisa berubah dan bergantung kepada orangnya, yaitu bagaimana perbuatan orang itu setelah ia diramalkan. Kalau misalnya ada orang yang diramal akan mendapat bahaya, lalu ia pasif dan tidak mau berusaha berbuat ke-bajikan, maka bahaya itu dengan bebas akan dapat menimpa dirinya. Seperti sudah tahu akan kehujanan, tetapi tidak mau mencari payung, pasti akan basah kuyup. Tetapi kalau punya pa-yung, meskipun kehujanan, pasti tidak sampai basah kuyup. Sebaliknya, kalau ada orang yang diramalkan akan mendapatkan rejeki besar, lalu ia pasif dan malahan malas bekerja, pasti rejekinya itu juga tidak jadi datang. Atau, kalau senadainya datang, ya tidak besar. Te-tapi, kalau ia berusaha giat dan tekun, maka rejeki itu pasti bisa berlimpah ruah.
Maka jelaslah Sdr/i, bahwa ramalan itu hanya mengungkapkan sebagian kecil dari proses Hukum Kamma dan Punabbhava. Jadi, memang tidak bertentangan, tetapi juga ja-nganlah menjadikan kondisi untuk salah tafsir sehingga lalu dijadikan ‘gantungan hidup’. Oleh sebab itu, bila umat Buddha sudah memiliki keyakinan terhadap Hukum Kesunyataan yang dalam hal ini yaitu Kamma Niyama, maka tidak perlu ragu-ragu lagi akan keabsahan Hukum Niyama tersebut. Apalagi, kalau masih mau mencari ramalan yang sebenarnya, maka hal itu sudah tercakup dalam uraian YA. Buddhaghosa yang tentunya akan kita bahas tersen-diri dalam pelajaran Kamma dan Tumimbal lahir melalui program Dhamma Class.
Sdr/i seDhamma, dengan demikian Buddha Dhamma telah membabarkan prinsip dari Hukum Kamma sebagai suatu Paramattha (Kesunyataan Mutlak) yang mengatur alam semes ta ini termasuk isinya. Apakah manusia menerima atau tidak, bukanlah masalah bagi Hukum Kesunyataan itu. Seperti juga pada hukum fisika lainnya, kita dapat melihat apakah manusia menerima atau tidak, hukum itu tetap berjalan terus tanpa menghentikan prosesnya.
Sdr/i yang berbahagia, demikianlah pembahsan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yang berjudul ‘Antara Ramalan dan Hukum Kamma’. Dan semoga dengan dilaksana kannya perenungan ini, yaitu pada saat kita mengagungkan ajaran Sang Buddha, kita semua menjadi bertambah dalam untuk menghayati Dhamma dan Vinaya sehingga keyakinan kita menjadi semakin kuat. Terima kasih!
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk berbahagia!
Sädhu! Sädhu! Sädhu!
____________________

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-
-

Ajaran Buddha dan Modernisasi

AJARAN SANG BUDDHA DAN KEADAAN DUNIA DEWASA INI

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammäsambuddhassa (3x).
KODHÄBHIBHÌTO PURISO DHANAJÄNAÇ NIGACCHATI.
Barang siapa yang pemarah, dapat mengakibatkan berkurangnya kesejahteraan.
Aéguttaranikäya Sattakanipäta.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah membaca Paritta dan bermeditasi, marilah kita sekarang mengadakan perenungan dan pembahasan Dhamma, yang pada hari ini berju-dul ‘Ajaran Sang Buddha dan Keadaan Dunia Dewasa Ini’. Sekali lagi, judul prenungan dan pembahasan kita pada hari ini yaitu ‘Ajaran Sang Buddha dan Keadaan Dunia Dewasa Ini’. Dan sekarang, marilah kita mulai saja merenungkan bagaimana ajaran Sang Buddha ini da-lam kaitannya dengan keadaan dunia dewasa ini. Apakah ajaran Sang Buddha tersebut ber-tentangan dengan keadaan dunia dewasa ini ataukah ajaran Sang Buddha masih bisa mene-rima keadaan dunia dewasa ini.
Sdr/i yang berbahagia, seperti sudah kita ketahui, bahwa biarpun Buddha Dhamma menganjurkan adanya kemajuan materiil, tetapi juga selalu menekankan pentingnya perkem bangan watak, moral, dan spiritual untuk menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, aman, dan sejahtera. Sdr/i seDhamma, Sang Buddha juga mempunyai pengertian mendalam tentang politik, perang, dan damai. Sudah terlalu terkenal bahwa Sang Buddha selalu mem-bela dan mengkhotbahkan cara-cara tanpa kekerasan dan perdamaian sebagai ajaran univer-sal dan tidak dapat dibenarkan dengan dalil apapun juga penggunaan kekerasan dan peng-hancuran penghidupan. Menurut agama Buddha, tidaklah ada apa yang dinamakan peperang an yang adil, yang sebenarnya hanya merupakan istilah palsu dan disebarluaskan untuk membenarkan dilancarkannya kebencian, kekejaman, kekerasan, dan penyembelihan.
Sdr/i, sebenarnya siapa sih yang menentukan apakah suatu peperangan itu adil atau tidak adil? Biasanya, yang kuat dan yang menang ialah yang benar dan adil, sedangkan yang lemah dan kalah adalah yang tidak benar dan tidak adil. Peperangan, dilaihat dari pi-hak sini selalu benar dan peperangan dilihat dari pihak sana selalu tidak benar. Nah, agama Buddha dengan tegas menolak penafsiran-penafsiran ini.
Sdr/i sekalian yang berbahagia, Sang Buddha, ternyata bukan hanya mengajarkan tentang tanpa kekerasan dan perdamaian saja, tetapi pada suatu ketika Beliau sendiri pergi ke medan perang dan menjadi orang penengah untuk menghindari terjadinya peperangan antara suku Sakya dan suku Koliya, yang sudah bersiap-siap dan saling berhadapan untuk melakukan peperangan perihal air sungai Rohini. Juga pada kesempatan lain, nasihat Sang Buddha telah dapat membatalkan niat dari Raja Ajätassatu untuk menyerbu wilayah keraja-an Vajji.
Sdr/i seDhamma sekalian, dunia dewasa ini senantiasa hidup dalam ketakutan, pera-saan curiga mencurigai, dan ketegangan. Ilmu pengetahuan menciptakan senjata-senjata ampuh yang mempunyai kemampuan menghancurkan maha dahsyat. Dengan menonjol-nonjolkan senjata maut tersebut, negara-negara besar saling menakut-nakuti dan menantang satu sama lain dan dengan tidak malu-malu menggembar-gemborkan bahwa yang satu dapat lebih banyak melakukan penghancuran dan malapetaka dari yang lain. Mereka sudah berja-lan sedemikian jauh dalam hal itu, sehingga satu langkah lagi ke depan, bukan saja mereka saling memusnahkan, melainkan seluruh dunia akan menghadapi kehancuran total dari kehi dupan. Jadi, manusia yang sekarang ini, berada dalam ketakutan oleh keadaan yang mereka ciptakan sendiri dan akhirnya dengan sekuat tenaga berusaha untuk mencari jalan keluar dan pemecahan dari persoalan ini.
Tetapi Sdr/i sekalian, ternyata selama ini belum terdapat jalan keluar atau pemecah-an masalah kekerasan tersebut, kecualli atas dasar yang Sang Buddha telah ajarkan, yaitu tentang ‘tanpa kekerasan dan perdamaian’, cinta kasih dan belas kasihan, toleransi dan pe-ngertian, kebenaran dan kebijaksanaan, penghormatan dan sayang terhadap segala sesuatu yang hidup; bebas dari perasaan mementingkan diri sendiri, kebencian, dan kekerasan. Sang Buddha pernah bersabda:”Tidak pernah kebencian dapat dihilangkan dengan membalas membenci; tetapi kebencian akan hilang dengan cinta kasih. Ini merupakan Kebenaran Aba-di” (Dhammapada 5 atau Majjhimanikäya 128). Orang dapat menaklukkan kemarahan de-ngan cinta kasih, menaklukkan kejahatan dengan kebaikan, dan menaklukkan mementing-kan diri sendiri dengan suka menolong orang, serta menaklukkan kepalsuan dengan kebe-naran.
Sdr/i sekalian, tidak mungkin akan ada perdamaian dan kebahagiaan, selama negara-negara besar atau para penguasa masih saja haus akan kemenangan dan ingin menguasai ne-gara atau pihak lain. Sang Buddha pernah bersabda:”Yang menang akan mendapat kebenci-an dan yang kalah akan jatuh dalam kemelaratan. Ia yang menolak kemenangan dan keka-lahan adalah bahagia dan penuh perdamaian. Satu-satunya kemenangan yang dapat memba-wa perdamaian adalah kemenangan atas nafsu-nafsu sendiri. Orang dapat saja menaklukkan berjuta-juta orang dalam peperangan, namun orang yang telah dapat menaklukkan nafsu-naf-sunya sendiri adalah yang paling mulia”.
Sdr/i sekalian, mungkin anda akan mengatakan bahwa pernyataan Sang Buddha tadi adalah bagus sekali, mulia, dan sempurna. Tetapi sayangnya, apakah bisa dipraktikkan? Sdr/i untuk menjawab pertanyaan anda tersebut, maka baiklah sekarang kita merenungkan sendiri jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini dengan sejujurnya. Apakah baik untuk mendendam kepada orang lain? Untuk saling membunuh? Apakah baik untuk hidup dalam ketakutan dan perasaan curiga mencurigai dengan tidak ada habisnya seperti binatang liar di hutan? Apakah ini lebih menyenangkan? Jadi, apakah kebencian dapat dihilangkan dengan membalas mem-benci pula? Apakah pernah ada kejahatan ditaklukkan dengan kejahatan pula?
Sdr/i seDhamma sekalian, mungkin akhirnya kita mulai dapat menyadari juga bahwa memang terdapat contoh, sedikitnya dalam hal perorangan, di mana kebencian dapat dihilang kan dengan cinta kasih dan pengertian, serta kejahatan dimenangkan dengan kebaikan. Teta-pi hal ini akhirnya juga akan menimbulkan pertanyaan lagi karena anda mungkin akan berka-ta bahwa hal-hal itu memang dapat dijalankan dalam hal perorangan, tetapi apakah bisa ber-laku dalam hal yang sifatnya nasional atau bahkan internasional? Apakah benar ajaran Sang Buddha dapat berlaku untuk seluruh dunia?
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, bila kita berpandangan demikian, maka berarti se-cara psikologis, batin kita seolah-olah ditutup dan terpengaruh oleh istilah-istilah ‘nasional’, ‘internasional’, dan ‘negara’ yang digunakan hanya untuk maksud-maksud politik dan pro-paganda. Marilah sekarang kita kaji bersama-sama istilah-istilah tersebut. Apakah sebenar-nya ‘negara’ itu?
Negara sebenarnya adalah sekelompok besar individu (orang). Satu negara tidak da-pat berbuat apa-apa, tetapi individulah yang dapat berbuat. Apa yang dipikir dan diperbuat oleh individu itu merupakan juga pikiran dan perbuatan negara itu. Oleh karena itu, sesuatu yang dapat berlaku bagi satu individu, berlaku juga bagi satu negara. Jika kebencian dapat dihilangkah dengan cinta kasih dan pengertian oleh seseorang, maka sudah pasti hal inipun dapat dilaksanakan dalam hubungan nasional dan internasional. Dalam hal perorangan, un-tuk dapat menaklukkan kebencian dengan cinta kasih memerlukan keberanian yang luar bia-sa, ketabahan, kepercayaan, dan keyakinan yang kuat. Apalagi mengenai hal-hal internasio-nal. Jadi, kalau dengan perkataan ‘tidak dapat dipraktikkan’ yang artinya ‘tidak mudah’ ber-arti maksud anda memang benar. Tentu saja hal demikian itu memang tidak mudah. Tetapi, apakah hal itu lalu tidak dapat dicoba? Sdr/i semua mungkin akan menjawab bahwa hal itu memang bisa dicoba, tetapi mungkin berbahaya sekali untuk mencobanya. Tetapi Sdr/i seka-lian, apakah mencoba hal itu lebih berbahaya daripada kemungkinan akan meletusnya satu perang nuklir?
Sdr/i sekalian, membicarakan perdamaian dunia melalui imbangan kekuatan atau de-ngan ancaman bom nuklir adalah ‘sinting’. Kekuatan senjata hanya dapat menciptakan keta-kutan dan bukan perdamaian. Tidaklah mungkin terdapat perdamaian yang kekal abadi atas dasar ketakutan. Ketakutan hanya dapat menimbulkan kebencian, keinginan jahat, dan permu suhan, yang mungkin hanya dapat ditekan untuk beberapa waktu lamanya, tetapi pada suatu saat ia pasti akan meledak. Perdamaian yang kekal abadi hanya dapat dicapai dalam alam Metta, cinta kasih universal, bebas dari ketakutan, bebas dari curiga mencurigai dan ancaman bahaya.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, agama Buddha bertujuan menciptakan suatu ma-syarakat dunia yang dengan tegas menolak adu kekuatan yang gila-gilaan, yang dapat me-musnahkan segala sesuatu di dunia ini; dunia di mana ketenangan dan perdamaian dapat menggantikan kemenangan dan kekalahan; di mana orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri lebih dihargai dari orang yang menaklukkan berjuta-juta orang melalui peperangan secara milliter dan ekonomis; di mana kebencian dikalahkan oleh keramahtamahan dan keja-hatan dikalahkan oleh kebaikan; di mana permusuhan, iri hati, keinginan jahat, dan kesera-kahan tidak lagi mengotori batin manusia; di mana cinta kasih dan belas kasihan merupakan satu-satunya pendorong untuk berbuat; di mana semua makhluk yang hidup di dunia ini di-perlakukan dengan adil, penuh pengertian, dan cinta kasih; di mana orang hidup dalam per-damaian dan persesuaian di dunia yang keadaan materiil serba cukup; dan smua usaha seha-rusnya ditujukan kepada satu tujuan yang tertinggi dan mulia, yaitu penyelaman dari Kesu-nyataan Mutlak, Nibbäna.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah perenungan dan pembahasan Dham-ma kita pada hari ini yang berjudul ‘Ajaran Sang Buddha dan Keadaan Dunia Dewasa Ini’, dan jika di antara Sdr/i ada yang ingin bertanya tentang makalah ini, kami persilakan untuk mendiskusikan bersama-sama setelah selesainya kebaktian ini. Terimakasih!
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk berbahagia!
Sädhu! Sädhu! Sädhu!
____________________

Dibacakan pada tanggal:
- sudah pernah.
-
-
-
-
-
-