Senin, 25 Februari 2008

Fase Fase Ketuhanan

KETUHANAN YANG MAHAESA DALAM AGAMA BUDDHA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
NIBBANAM PARAMAM SUKHAM.
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi.
Khuddakanikaya Dhammapadagatha.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, pada hari ini, setelah kita membaca Paritta dan bermedita-si, marilah sekarang kita bersama-sama membahas dan merenungkan Dhamma ajaran Sang Buddha yang bertemakan tentang ‘Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha’. Jadi sekali lagi, tema pembahasan Dhamma kita pada hari ini adalah ‘Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha’.
Sdr/i yang berbahagia, sebagai bangsa Indonesia yang mempunyai dasar negara Panca Sila, tentu kita semua yang berada di vihara ini tidak akan merasa asing lagi bila ada yang menyebut atau berkata tentang Ketuhanan Yang Mahaesa. Tetapi Sdr/i sekalian yang berbahagia, walaupun kita su-dah tidak asing lagi dengan perkataan tersebut, namun, kalau kita ditanya mengapa kata-kata itu bisa ada di dalam dasar negara kita ini? Atau mungkin dengan pertanyaan yang lain yaitu, mengapa da-lam kata-kata itu disebutkan dengan Yang Mahaesa? Apakah tidak bisa bila digunakan kata-kata yang lain? Maka, dalam diri kita mungkin bisa menjadi bingung tidak menentu.
Sdr/i, supaya tidak berlarut-larut pertanyaan tersebut ada di dalam diri kita, maka marilah se-karang kita renungkan bersama-sama jawaban dari pertanyaan tersebut. Dan, kalau di antara Sdr/i sekalian nanti masih ada yang kurang jelas, maka kami persilakan untuk melanjutkan lagi setelah se-lesai kebaktian pagi hari ini dalam forum diskusi Dhamma.
Sdr/i, konsep ketuhanan, yang merupakan salah satu Sila dari dasar negara kita Panca Sila, memang sudah merupakan sikap hidup bangsa kita sejak jaman dahulu kala. Bila kita masih ragu-ragu terhadap hal tersebut, maka marilah kita telusuri ceritanya mulai dari jaman yang paling awal sekali. Jadi, kita akan mengupas secara sosiologis pertumbuhan masyarakat manusia dari jaman da-hulu sampai jaman sekarang. Sdr/i sekalian, manusia jaman dahulu tidak sama dengan manusia ja-man sekarang. Sekarang ada lampu listrik, ada sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata, ada kapal udara, dan lain-lain. Dulu tidak! Dulu manusia hidup di hutan-hutan, di gua-gua. Kita nama-kan saja itu fase pertama dari kehidupan manusia di dunia ini. Yaitu fase dari kehidupan manusia sebagai manusia. Pada fase pertama ini mereka mencari penghidupan dengan memburu dan mencari ikan. Memburunya bukan dengan senjata Mauser atau Lee Enfield, tidak! Tapi jaman dulu itu de-ngan batu dan sepotong kayu. Cara hidup ini penting untuk disebutkan karena cara hidup manusia dari segala jaman sangat dipengaruhi oleh pikiran manusia di jamannya itu. Itulah sebabnya cara hidup manusia pada tiap-tiap fase jaman perlu kita ketahui, seperti cara manusia saat itu men-cari makan, mempertahankan hidupnya, dan lain-lain.
Sdr/i sekalian, seperti tadi disebutkan bahwa cara hidup manusia dipengaruhi oleh alam pi-kirannya, maka hal ini juga sangat mempengaruhi pada alam persembahannya. Tatkala ia masih hi-dup di dalam hutan, di dalam gua-gua, apa yang ia sembah? Pada waktu malam gelap gulita di da-lam hutan, ia hidup dalam alam yang gelap, penuh dengan ketakutan. Akhirnya, ia melihat bulan dan bintang-bintang yang bercahaya yang dapat memberikan kepuasan, maka ia sembah bulan dan bintang-bintang itu. Pada waktu hujan lebat, ia takut pada petir yang seolah-olah mau menyambar-nya, maka ia menyembah petir itu. Demikianpun ia menyembah pada sungai yang memberi ikan ke-padanya. Ia menyembah kepada pohon yang rindang di mana ia bisa bernaung di bawahnya. Ia me-nyembah kepada awan yang berarak. Ia menyembah kepada matahari yang memberi cahaya yang cemerlang pada siang hari. Ia menyembah pada barang-barang demikian itu. Itulah Tuhannya pada waktu itu. Dan jaman ini tidak sebentar, tetapi lama … sekali. Dalam hal ini Tuhannya ia materikan, misalnya ia mengira Tuhan itu adalah petir, Tuhan itu adalah air sungai, angin, dan lain-lain.
Sdr/i yang berbahagia, sekarang kita lihat pada fase yang kedua. Tetapi janganlah dikira bahwa fase yang kedua ini datangnya sekonyong-konyong. Tidak! Ini terjadi secara lambat laun dari fase yang pertama tadi. Fase kedua ini manusia mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara. Tadi-nya ia berburu, lambat laun timbul pengetahuan bahwa binatang-binatang itu dapat ditangkap, diku-rung, anaknya dipelihara, dan sebagainya. Maka pada fase kedua ini cara hidup manusia adalah dari peternakan, memelihara binatang. Karena cara hidupnya berpindah, maka bentuk pikiran tentang Tuhannya-pun juga ikut berpindah. Oleh karena binatanglah yang memberi susu, daging, kulit, dan oleh karena sebagian besar hidupnya tergantung pada binatang, maka ia punya Tuhan lantas dirupa-kan sebagai binatang. Akhirnya ia malahan mengatakan kepada orang yang masih menyembah batu demikian:”Masak batu disembah, pohon disembah, sungai disembah. Ini lho Tuhan yang betul, be-rupa binatang”.
Sdr/i sekalian, lambat laun, setelah pemeliharaan binatang tadi, dan setelah lama ia mening-galkan adat kebiasaannya berburu, ia agak lebih terikat kepada tempat. Ia harus juga memberi ma-kan kepada ternak itu. Lama-lama ia perlu tanaman yang bisa dimakan dan juga bisa diberikan kepa-da ternaknya itu. Akhirnya, ia menjadi berpengalaman bahwa tanaman pun bisa ditanam dan diambil hasilnya. Ini adalah bentuk dari fase ketiga, yaitu manusia hidup dari pertanian. Tentu saja dalam hal ini pikiran tentang Tuhannya juga ikut berpindah. Oleh karena pertanian tergantung dari iklim, hujan, dan banyak hal lain; misalnya kalau iklimnya baik bisa untung, kalau kebanyakan hujan bisa mati, dan lain-lain, maka Tuhannya itu lantas dibentukkan dengan sesuatu yang berhubungan de-ngan pertanian. Ia mempunyai tempat permohonan, misalnya mohon supaya tanamannya tumbuh se-lamat dan baik. Akhirnya, ia mulai memberi bentuk kepada ia punya Tuhan, yaitu berbentuk manu-sia yang dianggap menguasai pertanian. Akhirnya timbul bentuk-bentuk seperti Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci, dan lain-lain. Tentang mengapa bentuknya sebagai wanita (dewi) dapat dite-rangkan sesudah kebaktian ini. Jadi, pada fase ketiga ini bentuk Tuhannya sudah berupa manusia.
Sdr/i sekalian, oleh karena bercocok tanam tadi, maka akhirnya manusia juga memerlukan alat, misalnya alat untuk menggarap tanah, ia membuat semacam linggis dari batu atau kayu, pacul, alat angkutan, dan sebagainya. Ini adalah fase keempat, yaitu orang mulai membuat alat sehingga sudah mulai terbentuk semacam industri kecil. Lalu bagaimanakah bentuk pikiran ketuhanannya? Sdr/i, karena dalam pembuatan alat itu penentunya yang terutama sekali yaitu akal, misalnya akallah yang bisa melahirkan adanya sabit, bajak, jarum, dan sebagainya. Maka Tuhan manusia dalam fase keempat ini yaitu akal. Jadi yang tadinya berupa batu, pohon, dan sebagainya pindah berupa bina-tang, kemudian berupa dewi, dan sekarang menjadi gaib. Gaib artinya tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Tadinya masih bisa diraba. Batu bisa diraba, sungai bisa diraba, binatang bisa, dewi juga bisa diraba, tetapi sekarang Tuhan dimasukkan di dalam alam gaib. Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib! Mengapa gaib? Oleh karena sekarang akallah yang menjadi penentu dari hidup manusia.
Sdr/i, fase yang terakhir adalah fase industrialisme. Itu adalah sifat di mana kita hidup seka-rang ini atau kita sendiri mengalami, melihat sekarang ini terutama sekali yang terjadi di dunia Ba-rat, di Amerika dan Eropa. Pada fase ini Tuhan malahan lebih daripada digaibkan. Karena di sini se-bagian manusia sudah merasa dirinya sebagai Tuhan. Sebab, di jaman industrialisme ini apa saja bisa dibikin oleh manusia. Mau petir, aku bisa bikin petir. Mau suara dikirim ke Amerika, aku bisa membuatnya. Mau hujan? Sekarang ada pesawat-pesawat yang bisa membuat hujan. Mau ke luar angkasa? Aku bisa, aku akan menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa! Tuhan? Persetan, tidak ada Tu-han itu. Jadi, sebagian manusia berkata bahwa Tuhan tidak ada. Ini terjadi pada fase kelima.
Sdr/i sekalian yang berbahagia, apakah Sdr/i bisa mengikuti analisa ini? Dari Tuhannya ber-bentuk batu atau pohon, pindah menjadi binatang, pindah lagi ke dewi atau dewa, lalu pindah ada Tuhan tetapi tidak bisa dilihat, gaib, dan akhirnya ada yang berkata bahwa Tuhan tidak ada.
Jadi, Sdr/i sekalian, kalau kita ikuti tadi, ternyata bangsa Indonesia sudah percaya akan ada-nya Tuhan sejak jaman dulu. Oleh sebab itu wajar saja bila sekarang ini memang ada tentang ketu-hanan tersebut di dalam dasar negara kita. Hanya saja dalam hal ini, bentuk ketuhanannya itu yang berbeda-beda. Nah, sekarang sebagai bangsa Indonesia yang beragama Buddha, apakah juga menge-nal konsep ketuhanan? Pasti Sdr/i sekalian akan menjawab bahwa saya juga mempunyai konsep ke-tuhanan. Tetapi, apakah Sdr/i sekarang juga mengetahui bagaimana konsep ketuhanan dalam agama Buddha itu? Apakah sama dengan salah satu konsep ketuhanan dari kelima fase yang telah dijelas-kan tadi?
Sr/i sekalian, sebelumnya perlu diketahui bahwa memang tiap-tiap agama tentu mempunyai konsep ketuhanan yang berlainan. Tetapi di negara Indonesia ini, kita saling menghormati antara agama satu dengan yang lain tentang adanya pandangan terhadap Tuhan ini. Karena, setiap agama mempunyai faham ketuhanan yang walaupun berbeda satu dengan yang lain; tetapi untuk menyata-kan keberadaan dari ketuhanan itu, maka disepakati sebagai pemersatu bangsa Indonesia dengan se-butan ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, yang maksudnya bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan walaupun faham ketuhanannya berbeda-beda.
Konsep ketuhanan dalam agama Buddha dinyatakan oleh Sang Buddha sendiri seperti yang terdapat di dalam kitab Udana VIII: ayat 3, yang berbunyi sebagai berikut:
“Ketahuilah para bhikkhu, bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjel-ma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak”.
“Duhai para bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari ke-lahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”.
“Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Ti-dak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelma-an, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”.
Jadi Sdr/i sekalian, ungkapan tadi merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam aga-ma Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah “Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asavkhatam”, yang artinya adalah “Suatu yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Dicip-takan, dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah suatu yang ‘tanpa aku’ (Anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa-pun. Tetapi, dengan adanya Yang Mutlak, Yang Tidak Berkondisi (Asavkhata) maka kita dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (Samsara) dengan cara bermeditasi; atau secara leng-kapnya dengan mempraktikkan Sila, Samadhi, dan Pabba.
Jadi Sdr/i sekalian, dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat meli-hat bahwa konsep ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan tentang konsep ketuhanan ini perlu ditekankan di sini sebab masih banyak umat Buddha yang mencampuradukkan konsep ketuhanan menurut agama Bud-dha dengan konsep ketuhanan menurut agama-agama lain. Akibatnya, banyak umat Buddha yang berpandangan bahwa konsep ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep ketuhan-an dalam agama-agama lain.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, sebagai kesimpulan terakhir, dapatlah dikatakan bahwa pandangan manusia tentang ketuhanan memang sudah ada sejak jaman dulu kala. Hanya bagaimana perbandingannya dengan konsep ketuhanan dalam lima fase tadi, dapatlah kita diskusikan bersama-sama setelah selesainya kebaktian ini.
Sdr/i seDhamma, demikianlah uraian Dhamma hari ini yang bertemakan ‘Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha’, yaitu tentang mengapa konsep ketuhanan itu perlu ada di Indone-sia. Semoga dengan adanya uraian Dhamma hari ini, batin kita dapat menjadi lebih maju lagi dalam pengetahuan Dhamma, dan akhirnya dapat membuat kita semua berbahagia. Terima kasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
___________________

Sumber Acuan:
1. Panca Sila sebagai Dasar Negara, oleh Sukarno.
2. Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha Mazhab Theravada di Indonesia.
3. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha, oleh Cornelis Wowor.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: