Selasa, 18 Maret 2008

PENCURI PENCURI YANG TERHORMAT

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
ADHURAYAM NIYUBJATI.
Orang jahat selalu melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Khuddakanikaya Jataka Terasanipata.

Sdr/i seDhamma sekalian yang berbahagia, marilah sekarang kita bersama-sama mengarah-kan perhatian dan konsentrasi kita untuk mengisi kebaktian di pagi hari ini dengan pembahasan dan perenungan Dhamma yang berjudul ‘Pencuri-pencuri yang Terhormat’. Sekali lagi, judul pembahas-an dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Pencuri-pencuri yang Terhormat’.
Sdr/i sekalian, belum lama ini, di suatu majalah psikologi, diberitakan tentang beberapa ka-sus pencurian; dan rupanya kasus pencurian ini bukanlah seperti pada kasus-kasus pencurian biasa lainnya seperti yang biasa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yang dilakukan oleh orang-orang yang mungkin saja sedang kepepet atau tidak punya pekerjaan; tetapi, kasus ini justru dilaku-kan oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kedudukan tinggi atau sebagai orang yang terhor-mat. Juga beberapa tahun yang lalu, sebuah kasus pencurian pernah terjadi di toko serba ada ‘Mata-hari’, Bandung. Pelakunya empat orang wanita cantik dari kalangan berpunya, yang datang ke toko itu bermobil mewah. Mereka tertangkap basah, yaitu mengambil 61 potong pakaian seharga lebih dari Rp. 1 Juta. Namun, dalam proses pengadilan yang banyak dihadiri karyawan ‘Matahari’ itu, dua tertuduh, yaitu Ny. L (41) dan Ny. F (31), oleh Hakim Pengadilan Negeri Bandung, dinyatakan tidak bersalah. Sementara itu dua wanita lainnya, yaitu Nn. P (18) dan Ny. Li (30) malah tidak mengalami proses peradilan. Tentu saja keputusan ini menimbulkan protes para karyawan ‘Matahari’ yang ha-rus menanggung kerugian perusahaan itu. Nah, Sdr/i sekalian, mengapa bisa terjadi demikian? Me-ngapa mereka bisa dinyatakan tidak bersalah? Sdr/i seDhamma, nanti dapat kita ikuti pemecahan masalahnya mengapa hal tersebut bisa terjadi demikian.
Sdr/i sekalian, kasus lainnya, seperti yang terjadi pada tahun 1979, ada seorang manajer pe-rusahaan penerbangan Perancis di Jakarta, yang bernama Mr. Mech, terbongkar terlibat dalam kasus pencurian alat-alat rumah tangga. Manajer ini menyewa sebuah rumah, namun ternyata ia ingkar janji. Rumah yang disewanya itu dikatakan kemasukan pencuri. Barang-barang yang mahal berupa meja, kursi, lemari antik, hilang dari tempatnya. Padahal Sdr/i, menurut penyelidikan, kerusakan yang terjadi di rumah itu dilakukan dengan sengaja. Setelah diusut, ternyata memang benar bahwa barang-barang antik itu ada di rumah lain yang ternyata disewa oleh sang manajer Perancis itu.
Sdr/i seDhamma sekalian, kasus berikut yang tidak kalah serunya, dan juga menghiasi media massa, adalah yang juga terjadi pada tahun 1979, yaitu melibatkan empat warga negara Indonesia di Tokyo. Kali ini mereka dituduh melakukan pencopetan. Berikutnya lagi, sebuah kasus yang melibat-kan anggota DPR kita pada tahun 1980. SS, demikian nama pelaku tersebut, tertangkap basah se-dang mengambil barang (shop lifting) di toko serba ada Peter Robinson, di London. SS, harus mem-bayar denda sebesar 340 pound. Tapi, berhubung dalam interogasi SS mengaku tidak bermaksud mengambil barang itu, ia lalu dibebaskan dari tuduhan. Kemudian, masih di sekitar tahun-tahun itu juga, media massa memberitakan ada seorang artis Indonesai yang juga melakukan pencurian di se-buah toko di Singapore. Tapi, artis itu membantah dengan keras. Kesudahannya, pihak toko itu yang kemudian malah meminta maaf. Apa arti semua ini?
Sdr/i seDhamma, kasus-kasus seperti yang telah diceritakan tadi, menunjukkan bahwa tu-duhan pencurian ternyata memang tidak selalu terjadi pada orang-orang dengan kemampuan ekono-mi rendah. Orang-orang dengan kemampuan ekonomi baik pun seringkali mendapat tuduhan mela-kukan pencurian. Masalahnya, kenapa mereka sampai mencuri? Kenapa orang-orang terhormat sam-pai mencuri? Benarkah mereka sekedar mencari perhatian orang? Sdr/i sekalian, inilah sebuah kenya taan baru, seiring dengan mewabahnya supermarket dan department store.
Sdr/i sekalian, menurut pandangan umum, tindakan pencurian seperti pada kasus-kasus yang baru saja kita dengar tadi itu, disebut dengan istilah ‘kleptomania’. Dan, gambaran umum tentang kleptomania itu, menurut beberapa psikolog, adalah merupakan penyimpangan tingkah laku. Pende-ritanya secara umum mengalami gangguan pada sistem syarafnya. Jika ada gangguan pada sistem syaraf ini, maka kontrol penderita terhadap perilakunya juga menjadi melemah. Atau dengan kata lain, antara pikiran dan perbuatan menjadi tidak kompak lagi. Ketidakkompakan tindakan dan pikir-an inilah yang menimpa para penderita kleptomania. Pikiran mereka mengatakan tindakan pencurian itu jelek, tapi tubuh tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukannya. Dengan kata lain, para klep-toman ini memang sudah tidak bisa mengendalikan emosi. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, me-reka sesungguhnya tidak membutuhkan barang-barang yang mereka curi itu. Mereka melakukannya demi suatu kepuasan batin, kepuasan yang tidak bisa dikontrol oleh kesadaran. Para pelaku sendiri tidak sadar kenapa mereka melakukan tindakan seperti itu. Dan, mereka kadang-kadang juga tidak tahu sebenarnya barang-barang yang telah mereka curi itu akan diapakan. Sebagai contoh, pada pen-derita yang hanya mengambil barang-barang tertentu, korek api misalnya. Kalau melihat korek api, penderita kleptomania jenis ini rasanya langsung ingin sekali mengambilnya, namun sesudah itu, ka-dang-kadang dia tidak tahu lagi barang itu mau diapakan.
Sdr/i seDhamma sekalian, menurut pandangan psikolog, penyebab tidak kompaknya tindak-an dan pikiran itu bisa berupa gangguan pisik, misalnya karena benturan keras yang pernah dialami penderita; tapi bisa juga penyebabnya menyangkut psikis, misalnya stress berat. Dan menurut ketua LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, Nursyahbani Katjasungkana,S.H. jika pelaku pencurian adalah penderita kelainan jiwa seperti kleptomania, maka ia tidak dapat dihukum. Kepadanya tidak bisa diberlakukan hukum-hukum tentang pencurian. Dan, itu tidak hanya berlaku di Indonesia. Hu-kum di negara mana pun akan memberikan perlakuan hukum istimewa terhadap orang yang mende-rita kelainan jiwa .
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, sekarang bagaimanakah pandangan kita sebagai umat Buddha dalam menanggapi kasus-kasus pencurian seperti itu? Benarkah kita setuju bahwa penderita kleptomania itu tidak bersalah karena mereka melakukannya tanpa didasari dengan kesadaran? Be-narkah demikian? Yaitu tanpa didasari dengan kesadaran? Sdr/i, untuk itu sekarang marilah kita tin-jau bersama-sama tentang beberapa ajaran dalam Buddha Dhamma yang nantinya dapat dihubung-kan untuk memecahkan masalah tentang kleptomania tersebut.
Sdr/i sekalian, menurut ajaran Buddha Dhamma, disebutkan bahwa kesadaran adalah keada-an mengetahui sesuatu. Sekali lagi, kesadaran adalah keadaan mengetahui sesuatu. Jadi, bila kita bi-sa tahu sesuatu, maka berarti kita sadar. Bila kita bisa tahu bahwa di sana ada barang yang indah, maka berarti kita sadar. Jika kita bisa tahu bahwa ada suara yang merdu atau ada bau-bauan yang enak, maka berarti kita sadar. Jadi, kesadaran itu adalah keadaan mengetahui sesuatu yaitu melalui pintu-pintu indera-indera kita. Dan Sdr/i sekalian, satu hal yang harus kita ketahui lagi yaitu, bila di sana ada kesadaran sedang berlangsung, atau di sana sedang timbul kesadaran, maka di sana pula pasti timbul bentuk-bentuk pikiran yang di antaranya yaitu: kehendak, perasaan, kesan atau ingatan, dan sebagainya. Jadi, jika ada kesadaran, misalnya kita melihat benda, maka pada saat tersebut pasti juga muncul perasaan, misalnya senang karena benda itu indah, muncul pula kesan-kesan yang baik, kemudian muncul pula kehendak. Dan Sdr/i sekalian, hal tersebut tentunya dapat kita rasakan sendi-ri kebenarannya. Cobalah untuk merenungkannya, betul atau tidak hal tersebut? Oleh sebab itu, me-nurut pandangan agama Buddha, khususnya pandangan kita sebagai umat Buddha, pencurian yang dilakukan oleh penderita kleptomania tadi, adalah jelas sekali dilakukan dengan kesadaran yang penuh. Sebab, dia jelas-jelas tahu ada barang yang menurutnya bagus atau indah, dan jelas-jelas pula bahwa dia lalu ingin mengambil sehingga akhirnya barang itu terambil.
Sdr/i sekalian, lalu apakah sebabnya sampai ada orang yang bisa menderita kleptomania? Sampai katanya kalau dia mengambil barang rasanya sudah tidak berasa mengambil? Sdr/i sekalian, dalam ajaran agama Buddha dikatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi, pasti ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Tidak mungkin sesuatu itu ada dengan sendirinya atau tahu-tahu memang su-dah begitu. Itu tidak mungkin. Menurut ajaran Hukum Kamma yang ditinjau berdasarkan sifat hasil-nya, di sana disebutkan tentang Acinna Kamma atau Bahula Kamma, yaitu kamma kebiasaan. Arti-nya, perbuatan itu sudah merupakan kebiasaan bagi seseorang. Dan, karena seringnya dilakukan, maka seolah-olah sudah merupakan watak baru. Sebagai contoh misalnya, ada orang yang kalau me-minjam barang milik temannya, ia segan atau malas mengembalikan. Pada mulanya, memang dia hanya sekedar malas mengembalikan saja, tetapi lama kelamaan, hal tersebut menjadi kebiasaan se-hingga terbentuklah suatu watak baru yaitu kalau pinjam barang maunya selalu tidak mengembali-kan. Jadi di sini sudah jelas, bahwa suatu watak itu bisa terbentuk akibat dari adanya perbuatan yang sering sekali kita lakukan atau kita pupuk sehingga menjadi suatu kebiasaan atau watak baru.
Nah, Sdr/i seDhamma, demikian pula dengan watak yang maunya selalu saja mencuri. Hal ini tentu tidak tiba-tiba menjadi berwatak demikian. Hal ini tentu diakibatkan dari adanya suatu per-buatan yang sering dia lakukan sehingga akhirnya menjadi wataknya yang baru; yaitu kalau tidak melakukan, rasanya tidak enak atau rasanya belum puas. Jadi, dia lebih baik melakukan pencurian itu walaupun sekedar untuk memenuhi hasrat keinginannya yang sudah tidak terbendung tadi. Dan hal ini, bila kita tinjau dari kadar kemelekatan kekotoran batinnya, maka jelas sekali bahwa penderi-ta kleptomania yang demikian itu kadar kemelekatannya terhadap perbuatan mencuri justru lebih be-sar jika dibandingkan dengan kadar kemelekatan orang yang mencuri karena ia sedang terpaksa me-lakukannya. Jadi Sdr/i seDhamma sekalian, sekarang sudah jelas bagi kita semua, bahwa suatu wa-tak yang maunya selalu mencuri itu, ternyata tidak timbul begitu saja dengan sendirinya, tetapi hal tersebut terjadi karena adanya pemupukan perbuatan yang terus menerus dilakukan sehingga akhir-nya dapat menimbulkan suatu watak baru. Dan ini, kadar kemelekatannya lebih berat jika dibanding kan dengan mereka yang mencuri karena terpaksa. Oleh sebab itu Sdr/i sekalian, kleptomania yang secara umum bisa dianggap lumrah atau bisa dimaklumi, bahkan secara hukum negara juga tidak bi-sa disalahkan, namun kalau ditinjau secara Buddha Dhamma, ternyata bobot kemelekatan kekotoran batinnya justru lebih berat jika dibandingkan dengan pencurian biasa. Memang, sebagai umat Bud-dha, kita harus kritis dalam menanggapi setiap kejadian.
Sdr/i sekalian yang berbahagia, setelah kita mengetahui hal-hal yang menjadikan ada seorang bisa mempunyai watak selalu ingin mencuri atau dengan kata lain kleptomania, lalu apakah ada obat nya? Sdr/i seDhamma yang berbahagia, berhubung pembahasan Dhamma ini sudah terlalu panjang, maka marilah kita diskusikan saja masalah pengobatan kleptomania tersebut di dalam diskusi Dham ma setelah selesainya kebaktian ini. Semoga dengan bertambahnya pengertian kita terhadap Dham-ma, akan dapat membahagiakan diri sendiri dan semua makhluk.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
_________________

Buku Acuan:
1. Majalah TIARA, No. 02 Tahun I, hal. 63 – 66.
2. Abhidhammatthasavgaha II, hal. 39 – 40.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: