Senin, 10 Maret 2008

KEBODOHAN

KEBODOHAN

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
YO BALO MABBATI BALYAM, PANDITO VAPI TENA SO.
Orang bodoh yang menyadari kebodohannya, sesungguhnya bukanlah orang bodoh.
Khuddakanikaya Dhammapadagatha.

Sdr/i seDhamma sekalian, seperti biasanya, yaitu setelah kita bersama-sama membaca Paritta dan bermeditasi, maka marilah kita sekarang bersama-sama membahas serta merenungkan Dhamma, ajaran Sang Buddha, yang pada hari ini berjudul ‘Kebodohan’. Sekali lagi Sdr/i sekalian, judul pem-bahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini adalah ‘Kebodohan’.
Sdr/i sekalian yang berbahagia, pengertian umum tentang kebodohan yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, adalah diartikan sebagai sangat tumpul otaknya atau tidak cerdas. Mi-salnya saja seorang anak dikatakan bodoh karena ia tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolahnya. Atau, ia dikatakan bodoh karena ia tidak punya akal untuk mengatasi suatu permasalahan yang diha-dapinya. Jadi, kalau kita amati, arti kebodohan dalam pengertian umum tersebut, cenderung hanya mengarah pada kelemahan kadar intelektual atau segi kecerdasan saja, tetapi kurang begitu berkaitan dengan kualitas batiniah seseorang. Padahal Sdr/i sekalian, yang dimaksud dengan arti kebodohan di sini sesungguhnya mengandung makna agamis yang mengarah langsung pada kualitas batin seseo-rang. Maksudnya yaitu, bahwa yang dimaksud dengan orang bodoh di sini adalah orang yang tidak bijaksana. Dalam kitab Paramatthajotika, yaitu suatu kitab ulasan dari Khuddakapatha, Buddhagho-sa Thera mendefenisikan orang bodoh sebagai orang yang menjalani kehidupan hanya sekedar kare-na bernapas – dalam arti hanya sekedar hidup saja, tidak menjalani kehidupan dengan kebijaksanaan
Sdr/i seDhamma sekalian, oleh sebab itu, di dalam ajaran agama Buddha, istilah kebodohan ini lebih tepat diartikan sebagai kebodohan batin. Artinya, tidak tahu sebab dan akibat menurut kea-daan yang sebenarnya, menurut hakekat yang sesungguhnya dari segala sesuatu. Jadi, ia tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar. Atau, ia tidak tahu mana keadaan yang bersyarat (berkondi-si) dan yang tidak bersyarat (tidak berkondisi). Di dalam istilah Buddha Dhamma, pikiran yang me-ngandung kebodohan batin ini disebut Mohamulacitta, yang artinya kesadaran atau pikiran yang mempunyai kebodohan, kegelapan, ketidaktahuan. Atau, kesadaran atau pikiran yang tidak mampu untuk mengetahui sesuatu dengan sewajarnya. Kata Moha dan Avijja mempunyai arti yang sama, yaitu kebodohan batin atau kegelapan batin.
Sdr/i sekalian, selanjutnya perlu kita ketahui, bahwa kesadaran atau pikiran yang mengan-dung kebodohan ini, dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Kebodohan yang bersekutu dengan keragu-raguan, disertai masa bodoh.
2. Kebodohan yang bersekutu dengan kegelisahan, disertai masa bodoh.
Sekarang Sdr/i sekalian yang berbahagia, untuk lebih jelasnya tentang kedua hal kebodohan tersebut maka marilah kita renungkan maknanya dengan lebih seksama lagi satu persatu.
1. Kebodohan yang bersekutu dengan keragu-raguan, disertai masa bodoh.
Sdr/i sekalian, sebelumnya perlu diketahui, bahwa yang dimaksud dari masa bodoh di sini yaitu ka-rena disebabkan tidak tahu, bukan karena mempunyai sedikit kesenangan. Sedangkan yang dimak-sud bersekutu dengan keragu-raguan di sini yaitu kurang yakin. Bahkan, berarti ia tidak yakin atau masih ragu-ragu kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Savgha. Hal ini juga berarti bahwa ia tidak ya-kin akan adanya Hukum-Hukum Kebenaran Mutlak seperti: Empat Kebenaran Mulia, Kamma dan Tumimbal-lahir, Paticcasamuppada, dan Tiga Corak Umum yang universal. Hal yang demikian ini mudah kita ketahui, misalnya pada saat kita melihat ada orang yang tidak yakin akan adanya kamma vipaka (hasil dari perbuatan), baik dari kehidupan yang lampau, sekarang, dan yang akan datang. Jadi, ia masih ragu-ragu terhadap hal tersebut, yaitu apakah hal itu benar atau tidak.
Sdr/i sekalian, jadi sekali lagi, maksud dari bersekutu dengan keragu-raguan di sini yaitu ku-rang yakin terhadap Hukum-Hukum Kebenaran Mutlak tersebut dan tidak dapat memutuskan sesua-tu. Sedangkan kalau pembahasannya lebih diperinci lagi, maka yang dimaksud dengan keragu-ragu-an di sini ada 8 macam, yaitu sebagai berikut:
1. Keragu-raguan terhadap Sang Buddha, yaitu apakah Sang Buddha itu memang benar-benar ada atau tidak. Atau, keragu-raguan terhadap Buddhaguna 9 (9 macam kualitas Sang Buddha). Betul-kah Sang Buddha memiliki 9 macam kualitas?
2. Keragu-raguan terhadap Dhamma, yaitu apakah Magga 4, Phala 4, dan Nibbana 1 itu benar-benar ada? Atau, benarkah Dhamma itu dapat membebaskan kita dari penderitaan?
3. Keragu-raguan terhadap Savgha, yaitu apakah betul ada anggota Savgha yang sudah berhasil mencapai tingkat-tingkat kesucian atau mencapai Magga 4 dan Phala 4?
4. Keragu-raguan terhadap Sikha (latihan), yaitu apakah betul ada cara-cara latihan yang terdiri dari Sila, Samadhi, dan Pabba, yang kalau dijalankan dapat mencapai ‘pembebasan’.
5. Keragu-raguan terhadap Khandha 5 (5 Kelompok Kehidupan); Ayatana 12 (12 unsur dari indera untuk mengetahui sesuatu); dan Dhatu 18 (18 unsur), yang akan datang; yaitu apakah hal-hal itu memang betul-betul ada? Atau, keragu-raguan terhadap adanya kehidupan yang akan datang; apakah betul bahwa hal itu memang ada?
6. Keragu-raguan terhadap Khandha 5 (5 Kelompok Kehidupan); Ayatana 12 (12 unsur dari indera untuk mengetahui sesuatu); dan Dhatu 18 (18 unsur), yang telah lalu; yaitu apakah hal-hal itu memang betul-betul ada? Atau, keragu-raguan terhadap adanya kehidupan yang lalu; apakah be-tul bahwa hal itu memang ada?
7. Keragu-raguan terhadap Khandha 5 (5 Kelompok Kehidupan); Ayatana 12 (12 unsur dari indera untuk mengetahui sesuatu); dan Dhatu 18 (18 unsur), yang telah lalu dan yang akan datang; yaitu apakah hal-hal itu memang betul-betul ada? Atau, keragu-raguan terhadap adanya kehidup-an yang telah lalu dan yang akan datang; apakah betul bahwa hal itu memang ada?
8. Keragu-raguan terhadap Paticcasamuppada Dhamma atau Hukum Sebab Akibat yang saling mengkondisikan. Apakah betul bahwa Hukum Sebab Akibat yang saling mengkondisikan ini ada?
Sdr/i seDhamma, itulah tentang 8 macam keragu-raguan, dan setelah kita mengetahui 8 ma-cam keragu-raguan tersebut, lalu bagaimanakah cara untuk mengatasinya? Sdr/i sekalian, keragu-ra-guan tidak dapat diatasi hanya dengan berspekulasi tentang sesuatu yang tidak membawa kita men-capai tujuan. Keragu-raguan hanya dapat diatasi dengan mempelajari Dhamma, sehingga Pabba (kebijaksanaan) menjadi berkembang. Bila Pabba sudah berkembang, maka keragu-raguan tidak akan muncul lagi. Sebagai contoh yaitu apabila kita melihat masalah-masalah yang ada di dunia ini. Bila kita perhatikan, maka terlihatlah bahwa ternyata masalah-masalah di dunia ini adalah hanya masalah dari Nama dan Rupa atau batin dan jasmani. Ya, benar, semua hanyalah merupakan masa-lah Nama dan Rupa. Nama dan Rupa ini adalah tidak kekal, saling timbul dan padam silih berganti. Nah, bilamana Pabba atau kebijaksanaan telah timbul, maka orang dapat memahami sifat-sifat dari Nama dan Rupa yang ditanggapi melalui enam pintu indera tersebut dengan wajar atau sebagaimana adanya. Jadi, bila kita dapat mempelajari tentang Nama dan Rupa yang sedang kita hadapi sekarang, sehingga dapat melihat segala sesuatu dengan sebagaimana adanya, maka di situlah muncul kebijak-sanaan dan tidak akan timbul lagi keragu-raguan.
Sdr/i seDhamma sekalian, sekarang marilah kita merenungkan tentang bentuk kebodohan je-nis yang kedua, yaitu kebodohan yang bersekutu dengan kegelisahan, disertai masa bodoh. Untuk hal ini, sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu bahwa pengertian bersekutu dengan kegelisahan arti-nya yaitu, kesadaran atau pikiran itu gelisah, dan terlepas dari konsentrasi pada berbagai macam obyek, tidak tenang atau tidak tetap berada dalam obyek. Jadi Sdr/i sekalian, bilamana ada kegelisah an, tentu pada saat itu tidak akan ada Sati (perhatian jeli). Sati merupakan perhatian untuk melihat atau mengamati sifat-sifat Nama dan Rupa sebagaimana adanya. Sati dapat dilatih dalam setiap tin-dakan kita sehari-hari. Bila seseorang Sati-nya lemah, maka ia cenderung untuk tidak dapat melihat sifat-sifat Nama dan Rupa dengan sebagaimana adanya. Akibatnya, ia selalu berada dalam keadaan pikiran yang bodoh atau Moha. Moha merupakan akar dari dari semua pikiran atau kesadaran yang buruk (Akusala Citta). Moha melandasi Lobha (ketamakan) sehingga tenggelam di dalam tipuan naf su-nafsu indera. Moha juga melandasi Dosa (kebencian), tetapi Moha hanya mempunyai sifat yaitu ketidaktahuan, dan timbulnya adalah tanpa ajakan.
Sdr/i sekalian yang berbahagia, sekarang marilah kita melihat bagaimana proses timbulnya Moha ini yang terjadinya melalui ke enam pintu indera kita. Misalnya, bila kita mendengar suara ka-rena ada orang yang mengetuk pintu; lalu kalau kita tidak mengenal suara itu, dan kita masih memi-i liki kekotoran batin, maka pada saat itu juga langsung dapat timbul keragu-raguan dalam diri kita dan berpikir apakah ketukan ini disertai dengan sesuatu atau tidak? Atau, pada saat itu juga dapat timbul kegelisahan, misalnya lalu berpikir jangan-jangan ada perampok yang akan masuk, dan seba-gainya lagi. Jadi, dalam pikiran kita tersebut selalu ada keragu-raguan dan kegelisahan.
Sdr/i sekalian, namun untuk hal ini, seorang Ariya Puggala (orang suci), misalnya yang telah mencapai tingkat pertama dari pencapaian Penerangan Sempurna, yaitu Sotapanna, telah dapat mele nyapkan macam-macam Moha yang diikuti oleh keragu-raguan. Ia tidak lagi meragukan tentang Pa-ramattha Dhamma, ia telah memahami hal tersebut sungguh-sungguh. Ia telah yakin, betul-betul ya-kin terhadap Buddha, Dhamma, dan Savgha. Ia telah yakin kepada ‘jalan’ yang menuju terkikisnya semua hambatan, yaitu kekotoran batin. Tetapi Sdr/i sekalian, meskipun demikian, ternyata, baik So tapanna, Sakadagami, dan Anagami, ternyata masih memiliki Moha yang diikuti oleh kegelisahan.. Jadi, mereka ini masih memiliki Moha yang diikuti oleh kegelisahan. Hanya Arahat sajalah yang te-lah terbebas total dari kegelisahan ini.
Jadi Sdr/i sekalian, kebodohan merupakan penutup mata kita terhadap kenyataan akan ada-nya Empat Kebenaran Mulia, atau lebih tepatnya terhadap Hukum-Hukum Mutlak. Hanya dengan melakukan Vipassana (pandangan terang) yang dapat membantu kita untuk mengikis kebodohan ter-sebut. Di dalam naskah Samyuttanikaya Salayatana Vagga, dikisahkan tentang Jambukhadaka, yaitu seorang kelana yang bertanya kepada YA. Sariputta tentang pengertian kebodohan. Dia bertanya de-mikian:”Sahabatku Sariputta, jelaskanlah padaku, apakah yang dimaksud dengan kebodohan itu?” Kemudian YA. Sariputta menjawab:”Sahabatku Jambukhadaka, yang diartikan dengan kebodohan adalah mereka yang tidak mengerti tentang Empat Kebenaran Mulia, yaitu tentang Dukkha, Sebab timbulnya Dukkha, Terhentinya Dukkha, dan Cara yang Menuju ke Terhentinya Dukkha. Itulah yang diartikan dengan kebodohan atau Moha”. Lalu Sdr/i, selanjutnya Jambukhadaka bertanya lagi demikian:”Apakah ada cara untuk menghindari Dukkha itu, sahabatku?” YA. Sariputta menjawab lagi:”Sahabatku, Sang Buddha telah memberikan jawabannya, yaitu dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan cara untuk mengikis kebodohan (Moha)”.
Sdr/i seDhamma sekalian yang berbahagia, demikianlah perenungan dan pembahasan Dham-ma kita pada hari ini yang berjudul ‘Kebodohan’. Bila di antara Sdr/i sekalian ada yang kurang jelas dengan makalah ini, atau mungkin di dalam makalah ini ada kesalahan-kesalahan, maka kami persi-lakan untuk membahasnya kembali bersama-sama di dalam diskusi Dhamma setelah selesainya ke-baktian ini. Terima kasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
____________________

Sumber Acuan:
1. Abhidhammatthasavgaha, oleh J. Kaharuddin.
2. Buddha Dhamma dalam Kehidupan Sehari-hari, oleh Nina van Gorkom.
3. Mimbar Agama Buddha Harian Sinar Pagi tanggal 2 dan 9 Maret 1988 “Kebodohan”, oleh Dhar-ma Kusumah.
4. Untaian Dhammakatha, oleh Jan Sabjivaputta.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: