Senin, 10 Maret 2008

JADIKAN TUAN

JADIKAN TUAN BAGI PIKIRAN SENDIRI

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
TELAPATAM YATHA PARIHAREYYA EVAM SACITTAMANURAKKHE
Hendaklah orang selalu memperhatikan pikirannya sendiri seperti orang yang memba-wa tempayan penuh dengan minyak.
Khuddakanikaya Jataka Ekanipata.

Sdr/i seDhamma, setelah membaca Paritta dan bermeditasi, marilah sekarang kita me-ngarahkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma yang pada hari ini berjudul ‘Jadikan Tuan bagi Pikiran Sendiri’. Jadi sekali lagi, ju-dul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Jadikan Tuan bagi Pikiran Sendiri’.
Sdr/i sekalian, sudah kita ketahui bahwa yang namanya manusia ini, semenjak lahir sudah memiliki jasmani dan batin. Dalam jasmani ada panca indera yang setiap saat dapat mengadakan kontak dengan obyeknya atau lingkungannya sehingga terjadilah reaksi atau pro-ses batin yang sering kita kenal dengan nama pikiran atau kesadaran. Pikiran inilah yang sela-lu mengendalikan kita di dalam kehidupan. Pikiran merupakan gejala atau gelombang dari ba-tin. Segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini dapat dibeberkan dalam pikiran manusia. Su-ka, duka, cinta, benci, timbul oleh karena pikiran kita. Maka dari itu barang siapa yang mau hidup dengan penuh kedamaian, tenang, dan bahagia, maka haruslah melatih atau merawat pi-kirannya sendiri dengan teguh.
Sdr/i seDhamma, pikiran adalah sesuatu hal yang tidak memiliki tubuh, sehingga bila hendak kita tunggangi, sudah pasti tidak dapat, bila hendak kita pukul, tidak kena. Oleh sebab itu, melatih pikiran haruslah dengan menggunakan teknik tertentu. Menjalankan puasa atau makan hanya sedikit mungkin juga merupakan suatu cara untuk melatih pikiran dan sekaligus juga melatih tubuh kita. Banyaknya makanan yang kita masukkan ke dalam tubah kita dapat menyebabkan beban di dalam perut yang menjadikan kita cepat mengantuk. Hal tersebut sa-ngat membuang waktu dan merupakan musuh bagi orang yang hendak mawas diri. Memang, bagi umat awam yang hidupnya tidak pernah mengendalikan dan menguasai pikirannya, akan selalu cenderung mencari kenikmatan atau kesenangan melalui panca indera, yang oleh keba-nyakan orang hal ini justru dipandang sebagai berkah, kesenangan, dan kebahagiaan. Namun, kenyataan yang sebenarnya, hal ini merupakan kekotoran batin yang tidak pernah puas, selalu dalam keadaan bingung dan kacau. Jika pikiran tidak menemukan obyek yang baik dan benar, akan menjadi sebab utama dari munculnya beraneka ragam kejahatan.
Sdr/i sekalian, bilamana indera kita kontak dengan obyeknya masing-masing, di sana-lah akan timbul rasa senang atau tidak senang, puas atau tidak puas, benar atau salah, dan lain lainnya. Semua itu merupakan gejala dari batin yang negatif, yaitu yang disebut ‘Kilesa’ atau kekotoran batin. Bilamana kekotoran batin ini timbul, serasa bagaikan kobaran api yang me-nyala-nyala, yang siap menyulut apa saja. Dalam hal ini, kita harus mengetahui latar belakang penyebabnya dan kondisinya, sehingga tidak sempat terwujud dalam ucapan atau dalam ting-kah laku perbuatan kita. Di dalam keadaan demikian, lebih baik kita bersikap diam dan tutup mulut meskipun batin kita terasa panas sekali. Kita amati saja keadaan batin kita yang sedang demikian itu. Nanti kita jadi tahu bahwa batin yang panas, benci, serakah, sedih, kacau, dan lain-lainnya, merupakan sebab dari berbagai macam tingkah laku yang buruk atau pembicara-an yang tajam dan menusuk, yang mengakibatkan bertambahnya musuh dan berkurangnya sa-habat. Inilah kerugian bagi mereka yang tidak mampu mengendalikan dan menguasai dirinya sendiri, sehingga wajarlah penderitaan itu diterima dan dirasakan sendiri.
Sdr/i yang berbahagia, seorang yang bijaksana pasti memiliki keyakinan dan kepastian akan Hukum Kamma. Ia yakin bahwa perbuatan apapun yang dilakukannya, ia sendirilah yang akan menuai hasilnya. Perbuatan yang baik akan menghasilkan kebahagiaan, dan perbu-atan yang buruk akan mendatangkan kesengsaraan. Oleh karena itu, ia takut akan akibat dari perbuatan yang buruk. Perbuatan apapun yang dilakukan, akibatnya akan diterima oleh diri sendiri, dan perbuatan ini mungkin tidak hanya sekali saja terjadi akibatnya, melainkan dapat beratus-ratus kali terhadap satu perbuatan yang telah dilakukannya. Seorang yang bijaksana akan cepat menguasai dan menaklukkan pikirannya sendiri andaikata gelora panas kekotoran batin seperti misalnya menerima fitnah, cacian, pemukulan, dan sebagainya sedang menimpa-nya. Pada saat itu tindakan yang terbaik yang dilakukan adalah berdiam diri dan tanpa mem-berikan reaksi apapun. Orang yang berdiam diri dan tanpa memberikan reaksi apapun ketika tahu batinnya sedang panas membara, adalah seorang pemenang, karena ia mampu menakluk-kan dan menguasai pikirannya yang sedang diliputi Kilesa itu. Inilah pahlawan yang amat sa-ngat sulit dicari. Maka, jadikanlah diri tuan sebagai pahlawan. Seorang yang melakukan tin-dak kejahatan, sebenarnya ia adalah budak dari batinnya yang kotor, yang hanya mengikuti apa saja yang timbul di dalam pikirannya yang penuh dengan Kilesa itu tanpa sempat dan mau serta mampu mengendalilkannya.
Sdr/i seDhamma, sebagai umat Buddha yang baik, hendaknya seseorang harus serta wajib menjalankan Pabca Sila Buddhis di dalam kehidupan sehari-hari, yaitu melatih untuk ti-dak membunuh, tidak mengambil barang yang tidak diberikan, tidak berbuat asusila, tidak berkata yang tidak benar, dan tidak menggunakan makanan atau minuman atau barang yang dapat menyebabkan ketagihan dan lemahnya kewaspadaan. Kekuatan untuk merealisasikan Pabca Sila Buddhis tersebut sebenarnya disebabkan oleh satu faktor saja yaitu kendalikan atau kuasailah pikiran. Mengapa? Karena pada dasarnya pikiran kitalah yang melatarbela-kangi segala wujud aktifitas kita sehari-hari. Jadi, sebab kejahatan harus kita stop agar tidak tersalur ke mulut atau ke perbuatan jasmani kita dengan cara berdiam diri tanpa memberikan reaksi apapun. Karena, dengan tidak melakukan sesuatu apapun, di sana pulalah tiada kesalah-an yang akan dilakukan. Menjalankan Pabca Sila Buddhis berarti pula menyempurnakan Sila atau kemoralan kita sehingga batin kita yang jernih pun akan semakin berkembang.
Sdr/i yang berbahagia, orang yang bijaksana, bila mengetahui seseorang itu melaku-kan kejahatan, maka ia tidak akan menyalahkan orang itu, tidak pula menyalahkan agamanya, dan tidak pula menyalahkan suku bangsanya. Mengapa? Karena ia tahu bahwa kesalahan itu terletak pada pikiran orang yang sudah terbiasa melakukan kejahatan tersebut, yang tidak per-nah melatih dan menguasai pikirannya sendiri. Pikiran manusia itu hampir sama saja menye-rupai komputer. Bila pikiran itu selalu terisi oleh hal-hal yang rendah, kotor, penuh kebencian, keserakahan, dan beraneka macam kejahatan, maka jawaban dan tanggapan yang didapat se-suai pula dengan isi program yang telah ada di dalam pikiran orang itu sendiri. Dengan me-mahami kondisi yang seperti ini, orang yang bijaksana tidak akan bergaul di dalam lingkung-an yang tidak baik karena ia tahu lingkungan yang tidak baik dapat menyeret orang untuk me-lakukan hal-hal yang tidak baik pula.
Sdr/i sekalian, pada umumnya, sifat yang biasa dari pikiran manusia adalah selalu da-lam keadaan bergerak, loncat ke sana lari ke mari, selalu bergetar dan tidak pernah diam sedi-kitpun. Inilah yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk pikiran buruk seperti kebingungan atau kekacauan bagi mereka yang tidak pernah melatih dan menguasai pikirannya sendiri. Oleh sebab itu, dengan melihat sifat dasar dari pikiran tersebut, wajiblah bagi kita semua un-tuk mau dan tekun melatih menguasai pikiran kita sendiri. Untuk melatih pikiran itu agar ti-dak liar dan binal, kita harus memberikan pada pikiran itu suatu obyek yang akan mengikat-nya, yakni memperhatikan terus menerus pada obyek tersebut. Misalnya, bilamana pikiran lari dari obyek yang telah kita tetapkan itu, kita harus mengembalikan kembali pikiran tersebut mengarah pada obyek itu lagi. Pikiran lari ke sana, tarik ke obyek lagi. Pikiran mengarah ke lain hal, kembalikan ke obyek itu lagi terus menerus hingga akhirnya nanti mencapai kesatuan dengan obyek itu. Obyek yang paling baik untuk melatih pikiran tersebut adalah dengan memperhatikan sentuhan dari pernafasan, yaitu di antara bibir atas dan ujung hidung. Dengan melatih terus menerus cara demikian ini, akhirnya pikiran itu akan kelelahan dan masuk ke dalam obyek tersebut. Saat itulah pikiran mengalami istirahat yang sebenarnya. Ke manapun kita pergi, di sana pulalah pikiran tersebut berada. Oleh sebab itu, bila ada waktu senggang dan merasa tiada sesuatu pekerjaan yang harus dikerjakan, pergunakanlah waktu tersebut un-tuk melatih pikiran itu ke arah pernafasan meskipun hanya 10 – 15 menit saja. Ini dapat dila-kukan oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Usahakanlah pada setiap waktu yang lu-ang untuk melatih pikiran, agar kita menjadi tuan bagi pikiran kita sendiri; bahwa kita adalah arsitek dari kehidupan kita sendiri. Inilah kekayaan dalam menggunakan waktu. Dengan me-latih pikiran seperti ini terus menerus, berarti pula kita mengecilkan atau mengurangi penderi-taan-penderitaan kita, sehingga dalam hal ini sudah jelas bahwa ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan akan bertambah besar dan teguh.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yang berjudul ‘Jadikan Tuan bagi Pikiran Sendiri’. Semoga uraian Dhamma ini dapat berguna untuk kebahagiaan kita semua. Dan, bila di antara Sdr/i sekalian ada yang ingin bertanya tentang makalah ini, maka kami persilakan untuk mendiskusikan bersama-sama setelah selesainya kebaktian ini. Terima kasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
--------------------

Dipetik dari khotbah Bhikkhu Dhammavijayo dengan gubahan seperlunya.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: