Senin, 10 Maret 2008

CULA SIHANADA

CÌLASÍHANÄDA SUTTA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
SABBE DHAMMÄ NÄLAÇ ABHINIVESÄYA.
Semua Dhamma mengajarkan hendaknya orang tidak melekat terhadap sesuatu.
Majjhimanikäya Mìlapannäsaka.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah membaca Paritta dan bermeditasi, marilah sekarang kita pusatkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengadakan pembahasan dan pe-renungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Cìlasíhanäda Sutta’. Sekali lagi Sdr/i, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Cìlasíhanäda Sutta’, yang kami ambil dari kitab Majjhima Nikäya bagian Síhanäda Vagga. Sekarang, marilah kita ikuti bersama-sama pembahasan Sutta ini.
Sdr/i sekalian, pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di Jetavana, di taman milik Anathapindika, di Savatthi. Pada saat itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu demikian:”Para bhikkhu”. “Ya, Bhante”, jawab mereka. Selanjutnya Sang Bhagava berkata lagi:”Para bhikkhu, hanya di sini ada samana, hanya di sini ada samana kedua, hanya di sini ada samana ketiga, dan hanya di sini ada samana keempat. Dalam ajaran lain tidak ada samana; beginilah hal itu harus diraungkan (síhanäda)”.
Sdr/i yang berbahagia, begitulah Sang Bhagava mulai bersabda kepada para bhikkhu, dan sebelum dilanjutkan, terlebih dahulu kami jelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kata ‘samana’ oleh Sang Buddha di sini artinya yaitu Sotapanna. Sedangkan ‘samana kedua’ arti-nya ‘Sakadagami’; ‘samana ketiga’ artinya ‘Anagami’; dan ‘samana keempat’ artinya adalah ‘Arahat’. Sekarang, marilah kita lanjutkan uraian Sutta ini, yaitu lanjutan dari sabda Sang Bhagava tadi.
“Para bhikkhu, mungkin pertapa dari sekte lain ada yang bertanya begini:’Apakah se-babnya maka Anda mengatakan demikian, yaitu bahwa dalam ajaran lain tidak ada samana (orang suci)?’ Untuk itu, pertanyaan tersebut harus dijawab demikian:’Saudara, empat Dhamma telah dinyatakan oleh Sang Bhagava, yaitu:
1. Kami yakin pada guru (Sang Buddha).
2. Kami yakin kepada Dhamma.
3. Kami memiliki Síla yang sempurna.
4. Kami mencintai saudara-saudara pelaksana Dhamma (sahadhammika) apakah mereka umat awam atau pabbajja.
Berdasarkan hal-hal itulah maka kami menyatakan begitu”.
“Namun para bhikkhu, meskipun demikian, para pertapa dari sekte yang lain masih dapat berkata begini:’Kami juga yakin kepada guru, yaitu guru kami. Kami juga yakin kepada Dhamma, yaitu dhamma kami. Síla kami sempurna, yaitu sesuai dengan Síla kami. Dan, kami juga mencintai saudara-saudara pelaksana Dhamma yang hidup sebagai umat awam atau pabbajja. Jadi, apakah perbedaannya?’
“Para bhikkhu, hal itu harus dijawab dengan bertanya lagi begini:’Apakah tujuannya hanya satu, atau banyak?’ “Mereka pasti akan menjawab dengan benar:’Tujuannya hanya satu’.
“Apakah tujuan itu bebas dari nafsu, kebencian, kebodohan, keinginan, dan kemelekatan?” “Ya, tujuan itu bebas dari nafsu, kebencian, kebodohan, keinginan, dan kemelekatan”.
“Apakah tujuan itu disertai penglihatan, tanpa pro dan kontra, maupun perbedaan?’ “Ya, tu-juan itu disertai penglihatan, tanpa pro dan kontra, maupun perbedaan”.
“Demikianlah para bhikkhu, jawab mereka tersebut dengan benar”.
“Tetapi para bhikkhu, meskipun demikian, selanjutnya ada hal-hal yang perlu dijelaskan lagi yaitu sebagai berikut: ada dua ditthi (pandangan), yaitu bhava ditthi (pandangan tentang ada nya makhluk), dan vibhava ditthi (pandangan tanpa ada makhluk).
* Para samana atau brahmana yang berpaham bhava ditthi menentang paham vibhava ditthi.
* Para samana atau brahmana yang berpaham vibhava ditthi menentang paham bhava ditthi.
Para samana dan brahmana yang tidak mengerti sebagaimana adanya tentang sebab, terhenti-nya, kesenangan, bahaya, dan jalan ke luar dari ditthi (pandangan) itu, adalah diliputi oleh nafsu, kebencian, kebodohan, keinginan, kemelekatan, tanpa penglihatan, terlibat pro dan kontra, menyenangi dan menikmati perbedaan. Mereka tidak dapat bebas dari kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka-cita, dan putus asa. Mereka tidak da-pat bebas dari dukkha (penderitaan).
Para samana dan brahmana yang mengerti sebagaimana adanya tentang sebab, terhentinya, kesenangan, bahaya, dan jalan ke luar dari dua ditthi (pandangan) itu, adalah tidak diliputi oleh nafsu, kebencian, kebodohan, keinginan, kemelekatan. Mereka berpenglihatan, tidak ter libat dalam pro dan kontra, tidak menyenangi dan tidak menikmati perbedaan. Mereka dapat bebas dari kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka-cita, dan putus asa. Mereka dapat terbebas dari dukkha.
Selanjutnya para bhikkhu, ada empat macam kemelekatan (upadana), yaitu:
1. Kemelekatan pada nafsu indera (kama upadana).
2. Kemelekatan pada pandangan salah (ditthi upadana).
3. Kemelekatan pada upacara dan ritual (silabbata upadana).
4. Kemelekatan pada pandangan tentang adanya jiwa yang kekal (attavada upadana).
Ada samana dan brahmana yang menyatakan berpengetahuan jelas tentang semua kemelekat-an, tetapi tidak secara rinci menerangkan ‘pengetahuan jelas tentang semua kemelekatan’ nya itu. Mereka menerangkan ‘pengetahuan jelas tentang kemelekatan pada nafsu indera’, tetapi tanpa menerangkan tentang kemelekatan pada pandangan salah, kemelekatan pada upacara dan ritual, maupun kemelekatan pada pandangan adanya jiwa yang kekal. Mengapa demiki-an? Karena mereka itu tidak mengerti dengan jelas sebagaimana adanya tentang tiga macam kemelekatan tersebut. Akibatnya, mereka itu menyatakan berpengetahuan jelas tentang se-mua kemelekatan, tetapi mereka hanya menerangkan tentang pengetahuan jelas yang berke-naan dengan nafsu indera saja, tanpa menerangkan tiga macam kemelekatan lainnya.
Ada pertapa dan brahmana yang menyatakan berpengetahuan jelas tentang semua kemelekat-an, . . . . Mereka menerangkan dengan pengetahuan jelas tentang kemelekatan pada nafsu in-dera dan kemelekatan pada pandangan salah., tetapi tanpa menerangkan tentang kemelekatan pada upacara dan ritual serta kemelekatan pada pandangan tentang adanya jiwa yang kekal. Mengapa demikian? Karena mereka tidak mengerti.
Ada pertapa dan brahmana yang menyatakan berpengetahuan jelas tentang semua kemelekat-an, . . . . Mereka menerangkan dengan pengetahuan jelas tentang kemelekatan pada nafsu in-dera, kemelekatan pada pandangan salah, dan kemelekatan pada upacara ritual, tetapi tanpa menerangkan tentang kemelekatan pada pandangan tentang adanya jiwa yang kekal. Menga-pa demikian? Karena mereka tidak mengerti.
Dalam ‘Dhammavinaya’ seperti itu, adalah biasa menyatakan keyakinan kepada guru dan Dhamma, namun tidak terarah dengan benar; pelaksanaan Síla sempurna juga tidak terarah dengan benar; mencintai saudara-saudara pelaksana Dhamma yang hidup sebagai umat awam atau pabbajja juga tidak terarah dengan benar. Mengapa demikian? Karena Dhamma-vinaya itu salah diuraikan, salah dinyatakan, tanpa tujuan, tidak mengarah pada kedamaian, dan dibabarkan oleh bukan seorang Sammä Sambuddha.
Jika Tathagata, Arahat Sammä Sambuddha, yang membabarkan pengetahuan jelas tentang semua macam kemelekatan tersebut, Beliau tentu dengan sempurna menguraikan semua ma-cam kemelekatan tersebut, yaitu kemelekatan pada nafsu indera, kemelekatan pada pandang-an salah, kemelekatan pada upacara dan ritual, serta kemelekatan tentang adanya jiwa yang kekal.
Dalam ‘Dhammavinaya’ seperti itu, adalah biasa menyatakan keyakinan kepada guru dan Dhamma yang terarah dengan benar, pelaksanaan Síla sempurna yang terarah dengan benar, mencintai saudara-saudara pelaksana Dhamma yang hidup sebagai umat awam atau pabbajja yang terarah dengan benar. Mengapa demikian? Karena Dhammavinaya itu benar diuraikan, benar dinyatakan, bertujuan, mengarah pada kedamaian, dan dibabarkan oleh seorang Sam-mä Sambuddha.
Lalu, apa yang dimaksud dengan ‘sumber’ atau sebab, tempat kelahiran, dan yang mempro-duksi empat macam kemelekatan tersebut?
Empat macam kemelekatan itu bersumber atau bersebab dari keinginan (tanha), lahir dari keinginan, dan diproduksi oleh keinginan.
Lalu, apakah sumber atau sebab dari keinginan itu?
Keinginan bersumber atau bersebab dari perasaan (vedana), lahir dari perasaan, dan dipro-duksi oleh perasaan.
Apakah sumber atau sebab dari perasaan itu?
Perasaan bersumber atau bersebab dari kontak (phassa), lahir dari kontak, dan diproduksi oleh kontak.
Apakah sumber atau sebab dari kontak itu?
Kontak bersumber atau bersebab dari enam landasan indera (salayatana), lahir dari enam lan dasan indera, dan diproduksi oleh enam landasan indera.
Apakah sumber atau sebab dari enam landasan indera itu?
Enam landasan indera bersumber atau bersebab dari batin dan jasmani (nama - rupa), lahir dari batin dan jasmani, dan diproduksi oleh batin dan jasmani.
Apakah sumber atau sebab dari batin dan jasmani itu?
Batin dan jasmani bersumber atau bersebab dari kesadaran tumimbal lahir (vinnana), lahir dari kesadaran tumimbal lahir, dan diproduksi oleh kesadaran tumimbal lahir.
Apakah sumber atau sebab dari kesadaran tumimbal lahir itu?
Kesadaran tumimbal lahir bersumber atau bersebab dari bentuk-bentuk perbuatan (sankhara) lahir dari bentuk-bentuk perbuatan, dan diproduksi oleh bentuk-bentuk perbuatan.
Apakah sumber atau sebab dari bentuk-bentuk perbuatan itu?
Bentuk-bentuk perbuatan bersumber atau bersebab dari kebodohan batin (avijja), lahir dari kebodohan batin, dan diproduksi oleh kebodohan batin.
Segera setelah kebodohan batin (avijja) dihentikan dan pengetahuan muncul, maka ia tidak lagi melekat pada nafsu indera, pandangan salah, upacara dan ritual, serta pandangan tentang adanya jiwa yang kekal. Ketika tidak ada kemelekatan, maka ia tidak menderita. Ketika ia ti-dak menderita, maka ia merealisasi Nibbäna: kelahiran telah terhenti, kehidupan suci telah dicapai, apa yang harus dikerjakan telah dilaksanakan, tidak ada sesuatu yang melebihi ini”.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah pembahasan dan perenungan Dham-ma kita pada hari ini yang berjudul ‘Cìlasíhanäda Sutta’, yang kami petik dari kitab Majjhi-ma Nikäya bagian Síhanäda Vagga, Sutta ke 11. Semoga dengan telah dibahasnya Sutta ini bersama-sama, maka kebijaksanaan dan kebahagiaan kita menjadi bertambah sehingga dapat bermanfaat bagi kesejahteraan kita sendiri maupun bagi kesejahteraan semua makhluk.
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk berbahagia!
Sädhu! Sädhu! Sädhu!
____________________

Buku Acuan:
1. Kitab Suci Sutta Pitaka II, Materi Pokok Universitas Terbuka modul 7 - 12, disusun oleh Corneles Wowor, hal. 35 - 37.
(Catatan: dengan gubahan seperlunya).
2. Dhamma Vibhaga Penggolongan Dhamma II, disusun oleh Vajirananavarorasa, alih ba-hasa Bhikkhu Jeto, hal. v.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: