Senin, 10 Maret 2008

DHAMMA YANG ALAMIAH

DHAMMA YANG ALAMIAH

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
SATAM DHAMMO DURANVAYO.
Dhamma orang bijaksana, sangat sulit dimengerti.
Samyuttanikaya Sagathavagga.

Sdr/i seDhamma sekalian yang berbahagia, seperti biasanya, yaitu bila kita melakukan ke-baktian, maka kita akan mengisi pula dengan pembahasan dan perenungan Dhamma. Hal ini selalu kita lakukan setiap kita melakukan kebaktian. Oleh sebab itu Sdr/i seDhamma, dapatlah dikatakan bahwa selama ini kita tentu sudah mempunyai pengertian Dhamma yang cukup banyak. Apalagi, ki-ta juga sudah sering berdiskusi dan menelaah Dhamma sesudah kita selesai melakukan kebaktian. Tetapi Sdr/i sekalian, untuk hari ini, Dhamma yang akan kita bahas bersama agak berbeda dari pem-bahasan-pembahasan Dhamma sebelumnya. Hari ini, kita akan membahas Dhamma yang alamiah. Dalam pembahasan Dhamma yang alamiah ini, kita harus lebih seksama lagi karena untuk menjaga supaya tidak terjadi timbulnya salah tanggapan.
Sdr/i seDhamma, ketika pohon sedang berbunga, angin berhembus dan menjatuhkan bunga-bunganya ke tanah. Bunga-bunga yang tidak jatuh akan berkembang menjadi buah yang kecil. Teta-pi, bila angin berhembus lagi, ia akan menjatuhkan juga beberapa buah yang kecil ini. Hanya sisa-nya saja mungkin yang tetap tumbuh menjadi buah sampai hampir masak atau sampai ranum, sebe-lum mereka akhirnya jatuh ke tanah.
Sdr/i seDhamma, begitu pula halnya dengan manusia. Seperti bunga dan buah yang tertiup angin tadi, mereka juga berguguran dalam keadaan yang berbeda. Ada yang meninggal sejak masih dalam rahim, ada pula yang meninggal beberapa hari sejak kelahirannya. Ada yang hidup beberapa tahun lalu meninggal sebelum mencapai kedewasaannya. Ada yang meninggal dalam masa remaja, ada pula yang mencapai usia yang sangat tua sebelum akhirnya meninggal dunia.
Sdr/i seDhamma, jika kita merenungkan tentang manusia ini, membandingkan dengan buah-buah tadi, kedua-duanya sangat tidak menentu atau tidak kekal. Ketidakkekalan ini dapat juga dili-hat dalam kehidupan keviharaan. Beberapa orang datang untuk ditahbiskan, tetapi kemudian pikir-annya berubah dan meninggalkan kehidupan kebiaraan. Ada yang setelah ditahbiskan lalu memutus-kan untuk melepas jubah. Ada pula yang hanya menjalani kehidupan biarawan selama satu vassa. Jadi, seperti buah-buah tadi, semua tidak menentu.
Sdr/i seDhamma, pikiran kita pun demikian. Pikiran baik muncul dan padam dari batin kita, sama seperti buah-buah tadi. Sang Buddha memahami ketidakkekalan dari semua benda. Beliau memperhatikan peristiwa buah-buahan yang ditiup angin dan membandingkannya dengan para bhik-khu dan samanera yang menjadi murid-muridNya. Beliau menemukan bahwa sesungguhnya mereka adalah sama, yaitu tidak kekal.
Sdr/i, bagi mereka yang selalu melatih kesadaran atau kewaspadaan, tidaklah terlalu membu-tuhkan orang lain untuk menasehati dan mengajarkan segala sesuatu, baru bisa mengerti. Sebagai contoh adalah Sang Buddha, yang dalam kehidupanNya yang lampau pernah menjadi raja Chanoko-mun (Cakkavati). Beliau tidak membutuhkan banyak belajar, yang dilakukannya adalah mengamati sebuah pohon mangga.
Sdr/i seDhamma, pada suatu hari, ketika raja sedang mengunjungi sebuah taman bersama pa-ra pengawal dan menterinya, dari punggung gajahnya ia melihat beberapa pohon mangga penuh de-ngan buah yang masak. Karena tidak ada yang boleh berhenti pada waktu itu, raja lalu bertekad da-lam hati untuk memetik mangga-mangga itu dalam perjalanan pulang nanti. Tetapi, tanpa sepengeta-huan raja, para menteri secara sembunyi-sembunyi telah memetik mangga-mangga itu. Mereka menggunakan tongkat untuk memukul ranting, sehingga daun-daun mangga itu berhamburan.
Ketika kembali ke hutan mangga pada petang harinya, raja telah membayangkan kelezatan buah mangga itu. Tetapi ia hanya menemukan bahwa mangga-mangga itu telah habis. Bahkan, ran-ting dan daunnya pun berserakan di tanah. Raja menjadi kecewa dan bingung, kemudian ia memper-hatikan pohon mangga lainnya yang masih utuh. Dalam hatinya ia bertanya, mengapa demikian? Kemudian ia sadar bahwa pohon itu ternyata tidak ada buahnya. Jika pohon tidak ada buahnya atau tidak mempunyai buah, maka tidak akan ada orang yang menyentuhnya. Pelajaran ini membuatnya asyik berpikir dalam perjalanan pulang ke istananya. “Tidak menyenangkan, menyusahkan, dan su-lit untuk menjadi raja. Kedudukannya harus dijaga sungguh-sungguh. Bagaimana kalau ada yang mencoba menyerang, merampok, dan merampas kerajaanku?” Akhirnya, raja tidak dapat beristira-hat dengan tenang, bahkan dalam tidurnya ia sering diganggu mimpi-mimpi yang tidak menyenang-kan. Dia merenungkan sekali lagi, pohon mangga yang tanpa buah yang tidak diganggu. “Jika saya sama seperti pohon itu, maka daun dan rantingku tidak akan diganggu”. Demikian pikir raja. Dalam kamarnya ia duduk bermeditasi. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi seorang pertapa setelah mendapat ilham dari pohon mangga. Ia membandingkan dirinya dengan pohon mangga lalu berke-simpulan bahwa jika seseorang tidak terlibat dalam cara-cara duniawi, ia akan benar-benar bebas, bebas dari kecemasan dan kesulitan. Bahkan pikirannya pun tidak akan terganggu.
Sdr/i seDhamma, sejak saat itu, kemanapun ia pergi, jika ditanya siapa gurunya, maka ia akan menjawab:”Sebuah pohon mangga”. Ia tidak membutuhkan begitu banyak pelajaran. Pohon mangga menyebabkan timbulnya pengertian pada ‘Opanayiko Dhamma’, yaitu ajaran yang menun-tun ke dalam batin. Dan dengan pengertiannya ini, ia menjadi pertapa, yaitu orang yang sedikit ke-butuhannya, puas dengan yang sedikit, dan menyukai kesepian. Kedudukannya sebagai raja dilepas-kan, sehingga akhirnya pikirannya penuh dengan ketenangan.
Sdr/i seDhamma, dalam cerita ini, kita dapat melihat ketika Sang Buddha masih sebagai Bo-dhisatta yang selalu terus menerus mengembangkan latihannya. Jadi, seperti halnya Sang Buddha ketika masih menjadi Bodhisatta Raja Cakkavati, kitapun seharusnya melihat sekeliling kita dan mengamatinya, sebab segala sesuatu di dunia ini sesungguhnya telah siap untuk mengajar kita. Bah-kan dengan sedikit kebijaksanaan, kita dapat melihat peristiwa-peristiwa di dunia ini dengan jelas. Kita akan mengerti bahwa semua yang ada di alam ini adalah seorang guru. Pohon dan tanaman menjalar misalnya, dapat membuka pikiran kita terhadap kenyataan Kebenaran Mutlak. Dengan ke-bijaksanaan tersebut, kita tidak perlu bertanya atau belajar dari orang lain. Kita cukup belajar dari alam untuk mendapatkan penerangan, seperti dalam cerita Raja Cakkavati tadi. Sebab, segala sesua-tu di alam ini selalu mengikuti jalannya Hukum Kebenaran Mutlak. Tidak pernah menyimpang dari Hukum Kebenaran Mutlak tersebut.
Sdr/i seDhamma, hal lain yang berkaitan dengan kebijaksanaan adalah ketenangan dan pe-ngendalian nafsu. Hal ini akan membawa kita pada pemahaman mendalam tentang kebiasaan alam. Dalam hal ini kita akan mengetahui tentang kebenaran mutlak dari semua benda, yaitu Anicca, Duk-kha, dan Anatta. Pada mulanya mereka akan muncul, kemudian tumbuh dan berkembang, selalu ber-ubah terus, dan akhirnya mati. Demikian pula manusia dan hewan, mereka terlahir, tumbuh, dan ber-kembang, dan sampai tiba saatnya mereka harus mati. Keanekaragaman yang terjadi dalam kehidup-annya menunjukkan ‘Jalan Kebenaran’. Itulah yang dikatakan bahwa semua benda tidak kekal, akan gugur dan hancur sebagai kondisinya yang alamiah.
Sdr/i sekalian, jika kita memiliki kesadaran dan pengertian, jika kita belajar dengan penuh perhatian, maka kita akan dapat melihat bagaimana Dhamma yang sesungguhnya. Dalam hal ini, berarti kita akan melihat manusia sebagai suatu benda yang lahir, berkembang, dan akhirnya mati. Tiap orang adalah subyek dalam lingkaran kelahiran dan kematian. Oleh karena itu, tiap orang di dunia ini adalah ‘satu’ benda. Jadi, dengn melihat satu orang dengan jelas adalah sama dengan meli-hat semua orang di dunia ini.
Sdr/i seDhamma, dalam cara yang sama, sebenarnya segala sesuatu adalah Dhamma. Bukan saja hanya apa yang dapat kita lihat dengan mata, tetapi juga mencakup semua yang kita lihat de-ngan pikiran kita. Sebuah pikiran muncul, kemudian berubah, dan akhirnya padam. Itulah yang di-namakan ‘Nama Dhamma’, yaitu suatu keadaan batin yang selalu muncul, berlangsung, dan padam. Inilah sesungguhnya sifat alamiah dari pikiran itu. Semua ini adalah Kebenaran Mulia dari Dham-ma. Jika seseorang tidak dapat melihat dan mengamati dengan cara ini, maka ia sesungguhnya ‘tidak melihat’. Dan, jika seseorang telah ‘melihat’, ia akan memiliki kebijaksanaan untuk mendengarkan Dhamma sebagaimana yang telah dibabarkan oleh Sang Arahanta Samma Sambuddha.
Di manakah Sang Buddha berada?
Sang Buddha berada di dalam Dhamma.
Di manakah Dhamma berada?
Dhamma berada di dalam Sang Buddha.
Nah, sekarang!
Di manakah Savgha berada?
Savgha berada di dalam Dhamma.
Sdr/i sekalian, dalam hal ini, berarti Sang Buddha, Dhamma, dan Savgha, berada dalam pi-kiran kita, tetapi kita harus melihat mereka dengan jelas. Banyak orang yang berkata demikian:”Oh, Sang Buddha, Dhamma, dan Savgha berada dalam pikiranku”. Tetapi, ternyata tingkah laku mereka tidak pantas. Jika demikian, maka tidak benar bahwa Sang Buddha, Dhamma, dan Savgha dapat di-temukan dalam pikiran orang yang seperti itu. Sebab, pikiran adalah awal dari segalanya, sehingga pikiranlah yang mengenal Dhamma. Dengan melihat segala sesuatu berdasarkan Dhamma, maka ki-ta akan dapat mengetahui bahwa di dunia ini Kebenaran Mutlak itu ada, dan karena itulah maka kita memiliki kemungkinan untuk berlatih dan merealisasikannya.
Sdr/i sekalian, dalam hal ‘Nama Dhamma’, yaitu perasaan, pikiran, khayalan, dan lain-lain, semua tidak kekal. Ketika kemarahan timbul, ia akan tumbuh dan berkembang dan akhirnya padam. Perasaan senang pun juga demikian, ia akan timbul, berlangsung, dan kemudian padam. Jadi, sesung guhnya semua itu ‘kosong’ belaka. Semua itu sesungguhnya bukanlah ‘sesuatu’. Hal tersebut hanya-lah proses dari semua benda baik mental maupun material. Dalam diri kita ini mereka adalah batin dan jasmani. Sedangkan di luar diri kita, misalnya pepohonan atau tumbuh-tumbuhan dan sebagai-nya, mereka adalah aneka ragam benda-benda yang memperlihatkan hukum universal tentang keti-dakkekalan.
Baik pohon, gunung, ataupun hewan, semua adalah Dhamma. Segala sesuatu adalah Dham-ma. Di manakah Dhamma ini berada? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa apa yang bukan Dhamma itulah yang tidak ada. Dhamma adalah alamiah. Inilah yang dikatakan sebagai ‘Sacca Dhamma’, Dhamma Kebenaran, Dhamma Sejati. Jika seseorang melihat alam, ia melihat Dhamma, jika ia melihat Dhamma, maka ia telah melihat alam. Dengan melihat alam, secara otomatis kita me-ngetahui Dhamma.
Sdr/i seDhamma, jadi apa gunanya banyak belajar kalau dalam kenyataannya bahwa kehidup an ini setiap saat, setiap perbuatan, hanyalah sebuah lingkaran dari kelahiran dan kematian yang tak pernah berakhir. Jadi, jika kita penuh perhatian dan selalu sadar akan keadaan kita, misalnya ketika sedang duduk, berdiri, berjalan, atau berbaring, maka pengetahuan kita itu telah siap untuk dilahir-kan. Itulah pengetahuan tentang Dhamma Sejati yang ada di sini sekarang ini juga.
Jadi Sdr/i, sekarang ini Sang Buddha, yaitu Sang Buddha yang sesungguhnya, masih tetap ada. Beliau adalah Dhamma itu sendiri, yaitu yang disebut Sacca Dhamma. Dan, Sacca Dhamma ini, yang memungkinkan seseorang menjadi Buddha, masih tetap ada. Ia tidak akan pergi ke mana pun. Sacca Dhamma ini membangkitkan dua Buddha. Satu dalam tubuh jasmani, dan satunya lagi dalam pikiran.
Dhamma Sejati, menurut sabda Sang Buddha kepada Bhikkhu Ananda, hanya dapat dicapai dengan berlatih. Siapapun yang melihat Dhamma, ia melihat Buddha. Dan siapapun yang melihat Buddha, ia juga melihat Dhamma. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Tentu kita semua sudah dapat memahaminya.
Sdr/i, dahulu kala, Sang Buddha juga belum ada. Beliau baru ada ketika Siddharta Gotama menemukan Dhamma dan menjadi Buddha. Jadi, Beliaupun sama seperti kita. Jadi, jika kita menger ti akan Dhamma, maka kita akan dapat menjadi Buddha. Ini dikatakan Buddha dalam pikiran atau ‘Nama Dhamma’.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini tentang Dhamma yang alamiah. Semoga perbuatan baik kita ini dapat menambah kebi-jaksanaan kita dan kebahagiaan semua makhluk. Terima kasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
____________________

Dipetik dari Bodhinyana, Dhamma Nature, halaman 27 – 33.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-

Tidak ada komentar: