Senin, 10 Maret 2008

GEMPA BUMI

GEMPA BUMI
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
DHAMMO HAVE RAKKHATI DHAMMACARIM
NA DUGGATIM GACCHATI DHAMMACARI.
Dhamma akan melindungi mereka yang melaksanakan
Mereka yang melaksanakan Dhamma tak akan hidup sengsara.
Khuddakanikaya Jataka Theragatha.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, marilah sekarang kita bersama-sama menga-rahkan perhatian dan konsentrasi kita untuk mengisi kebaktian ini dengan mengada-kan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Gempa Bu-mi’. Jadi sekali lagi, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini ya itu ‘Gempa Bumi’.
Sdr/i sekalian, kalau kita membaca atau mendengar berita-berita yang terdapat di berbagai media massa, baik melalui radio, koran, majalah, ataupun melalui teve, ki-ta dapat mengetahui bahwa sekarang ini sedang banyak sekali terjadi peristiwa gempa bumi di mana-mana, di bumi kita ini. Gempa bumi itu ada yang terjadi di luar negeri, misalnya di India, di California (Amerika Serikat), di Jepang, di beberapa negara di be nua Eropa, dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak sempat kita ketahui berita-nya. Demikian pula Sdr/i, gempa bumi itu juga ada yang terjadi di dalam negeri, seper ti misalnya di Maluku, di Jakarta, di Lampung, dan yang sekarang sedang terjadi yaitu di daerah …..
Sdr/i sekalian, bagi kita yang sudah pernah belajar tentang ilmu bumi, maka pe-ristiwa gempa bumi itu adalah hanya suatu gejala alam yang biasa saja, tidak ada hal-hal istimewanya. Tetapi Sdr/i sekalian, ternyata, cara berpikir kita ini tidak hanya sam pai di situ saja. Memang benar, bahwa gempa bumi itu hanyalah merupakan suatu pe-ristiwa gejala alam saja, tetapi mengapa kok terjadinya gejala alam itu tempatnya seo-lah-olah ‘milih’. Jadi, gejala alam itu seolah-olah ‘milih’ tempat. Mengapa kok terjadi nya tidak di tengah-tengah hutan yang lebat yang tidak ada penduduknya sama sekali? Mengapa kok terjadinya gempa itu tidak di tengah-tengah gurun pasir raksasa saja, yang juga tidak ada penduduknya? Mengapa tidak demikian? Mengapa gempa bumi itu terjadinya justru di daerah yang cukup padat penduduknya? Bukankah ini bisa me-nimbulkan banyak penderitaan? Cobalah Sdr/i renungkan, bila di negara-negara yang sudah maju saja, seperti Amerika dan Jepang, kalau mereka terkena gempa bumi ini, mereka masih kalang kabut tidak keruan. Nah, apalagi kalau gempa itu terjadi di nega ra-negara yang belum maju misalnya seperti negara-negara di benua Afrika; atau juga di negara-negara yang sedang berkembang, seperti di India, Filipina, bahkan di Indo-nesia sendiri; sudah tentu hal itu akan menimbulkan keadaan yang lebih kalang kabut lagi bila dibandingkan dengan mereka yang sudah maju dan sudah biasa menghadapi gempa bumi tersebut. Nah, jadi mengapa demikian? Benarkah gempa bumi itu juga ‘milih’ tempat dan sasaran untuk terjadinya dia? Benarkah demikian?
Sdr/i yang berbahagia, ternyata banyak sekali pendapat-pendapat yang memba-has tentang masalah gempa bumi ini, termasuk dengan masalah pertanyaan tadi, baik ditinjau dari segi ilmu pengetahuan ataupun dari segi yang lainnya lagi, misalnya dari segi keagamaan. Ada yang menjawab bahwa gempa bumi itu adalah suatu peristiwa alam yang sudah tidak bisa diatur oleh siapapun juga di dunia ini. Jadi, menurut dia, manusia itu hanya bisa mengatur untuk mencegah terjadinya bencana alam dalam ba-tas-batas tertentu saja, tetapi tidak bisa mencegah dalam keadaan yang lebih jauh lagi, seperti gunung meletus, banjir, gempa bumi, dan sebagainya. Lalu Sdr/i, ada juga pen dapat yang mengatakan bahwa bencana alam yang sudah tidak bisa diatasi manusia ini disebabkan karena memang sudah merupakan hukuman dari Yang Mahakuasa. Ja-di, manusia tidak bisa mencegahnya biar bagaimanapun canggihnya ilmu pengetahu-an. Itu sudah merupakan hukuman dari Yang Mahakuasa untuk manusia-manusia yang sudah penuh dengan ‘dosa’. Namun Sdr/i, di antara manusia yang menjadi kor-ban gempa itu ternyata ada yang bertanya demikian:”Mengapa saya yang sering berbu at baik kok juga ikut dihukum terkena gempa ini? Mengapa anak-anak yang masih ke-cil-kecil, yang belum banyak berbuat salah, kok juga ikut dihukum terkena gempa bu-mi ini?” Demikianlah Sdr/i, kira-kira jawaban dan pendapat tentang gempa bumi ini yang ternyata juga masih simpang siur. Bahkan, salah seorang penyair dan penyanyi yang sudah cukup terkenal, melalui salah satu lagunya, dia mengatakan bahwa untuk mengetahui tentang terjadinya bencana alam ini, kita disuruh untuk bertanya pada rum put yang bergoyang.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita tahu bagaimana kira-kira pan-dangan secara umum tentang gempa bumi ini, sekarang marilah kita tinjau hal itu dari sudut pandangan Buddha Dhamma. Sdr/i sekalian, di dalam ajaran agama Buddha, ter nyata dengan jelas sekali Sang Buddha menerangkan tentang sebab-sebab terjadinya gempa bumi ini. Di dalam cerita tentang riwayat Sang Buddha, diceritakan bahwa be-berapa bulan sebelum Sang Buddha parinibbana, Beliau masih selalu membabarkan Dhamma dari daerah ke daerah; pada waktu itu tibalah Sang Buddha dan YA. Ananda di sebuah cetiya yang bernama Cetiya Capala, di dekat Vesali. Setelah Beliau membe-rikan nasehat dan khotbah Dhamma kepada YA. Ananda, dan YA. Ananda pergi me-ngundurkan diri, datanglah Mara mendekati Sang Buddha. Sambil berdiri di satu sisi, Mara berkata kepada Sang Buddha:”Sekarang, Yang Mulia, sudilah agar Sang Bhaga-va mengakhiri masa hidupnya; semoga Yang Terbahagia berkenan memasuki parinib-bana. Waktunya sesungguhnya telah tiba bagi Sang Bhagava parinibbana. Sebab, per-nah dulu Sang Bhagava berkata kepadaku demikian:’Aku tak akan mengakhiri hidup-Ku sebelum para bhikkhu dan bhikkhuni, upasaka dan upasika, benar-benar menjadi murid sejati, yaitu bijaksana, patuh kepada tata tertib, pandai dan terpelajar, pemeliha-ra Dhamma, hidup sesuai dengan Dhamma, memiliki tingkah laku yang patut, dan se-telah mendengar ajaran Sang Guru, sanggup untuk menerangkannya kembali, untuk mengkhotbahkannya, membabarkannya, membahasnya secara terperinci dan membu-atnya terang; dan kalau timbul pendapat yang berbeda, dapat memberikan bukti-bukti yang benar dan seksama, dan menguraikan dengan baik ajaranKu yang menyakinkan dan dapat membebaskan manusia’. Dan sekarang Yang Mulia, para bhikkhu dan bhik-khuni, upasaka dan upasika, sudah menjadi murid-murid Sang Bhagava seperti yang diharapkan. Karena itu, O, Yang Mulia, Sang Bhagava hendaknya mengakhiri masa hidupNya sekarang; semoga Yang Terbahagia berkenan memasuki parinibbana. Wak-tunya sesungguhnya telah tiba bagi Sang Bhagava parinibbana”.
“Selain itu, Yang Mulia, sebab pernah juga Sang Bhagava mengucapkan kata-kata ini kepadaku:’Aku tidak akan mengakhiri hidupKu, O, Mara yang jahat, sebelum penghidupan suci yang Aku ajarkan telah berhasil baik, makmur, terkenal, disukai oleh umum, dan berkembang; sebelum penghidupan suci ini dikenal baik oleh para de wa dan manusia’. Sang Bhagava, dan inipun sekarang telah menjadi kenyataan. Kare-na itu, O, Yang Mulia, Sang Bhagava hendaknya mengakhiri masa hidupNya seka-rang; semoga Yang Terbahagia berkenan memasuki parinibbana. Waktunya sesung-guhnya telah tiba bagi Sang Bhagava untuk parinibbana.
Sdr/i sekalian, demikian tadi permohonan Mara supaya Sang Buddha bersedia untuk mengakhiri hidupNya, yaitu bersedia supaya cepat-cepat parinibbana karena alasannya semua tugas dan keinginan Sang Buddha telah selesai dipenuhi. Sdr/i seka-lian, menghadapi hal tersebut, Sang Buddha lalu menjawab demikian:”Engkau tidak usah bersusah payah, orang jahat. Tidak lama lagi Sang Tathagata memang akan me-masuki parinibbana. Tiga bulan lagi Sang Tathagata akan mengakhiri hidupNya”. De-mikianlah Sdr/i, pernyataan dari Sang Buddha tersebut. Dan di Cetiya Capala, dengan penuh kesadaran dan pikiran terpusat, Sang Buddha mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupNya. Kemudian setelah Sang Buddha mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupNya, maka terjadilah gempa bumi yang hebat, menakutkan, mengeri kan, dan guntur gemuruh di langit. Sang Buddha memandang kejadian ini dengan pe-nuh pengertian dan kemudian Beliau mengucapkan syair seperti ini:
“Yang menjadi sebab kehidupan, kasar atau halus,
Yaitu proses tumimbal-lahir, telah dilepas oleh Sang Pertapa,
Dengan hati tenang dan gembira, seperti menembus pakaian dari rantai,
Ia mematahkan ‘sebab’ dari kehidupanNya sendiri”.
Sdr/i sekalian, demikianlah syair yang diucapkan oleh Sang Buddha, dan di da-lam batin YA. Ananda timbul pikiran yang demikian:”Mengagumkan benar dan ajaib sekali! Bumi menggetar hebat dan menakutkan! Sedangkan guntur bergemuruh de-ngan dahsyat dan mengerikan di langit! Apakah sebabnya? Apakah yang dapat menim bulkan gempa bumi sedahsyat ini?
Sdr/i sekalian yang berbahagia, YA. Ananda kemudian menghampiri Sang Bha gava, memberi hormat dengan khidmat, mengambil tempat duduk di satu sisi, dan ke-mudian bertanya kepada Sang Buddha:”Mengagumkan benar dan ajaib sekali, Bhan-te! Bumi menggetar hebat dan menakutkan! Sedangkan guntur bergemuruh dengan dahsyat dan mengerikan di langit! Apakah sebabnya? Apakah yang menimbulkan gempa bumi sedahsyat ini, Bhante?”
Sdr/i sekalian, Sang Buddha lalu menjawab:”Ananda, terdapat delapan alasan, delapan sebab, yang dapat menimbulkan gempa bumi yang hebat. Apakah kedelapan sebab tersebut?”
“Bumi ini, Ananda, tercipta karena ada zat cair; zat cair tercipta karena ada uda ra; dan udara tercipta karena ada ruang (akasa). Apabila Ananda, terjadi gangguan he-bat di udara, maka zat cair itu akan mendapat tekanan; dan zat cair yang mendapat te-kanan ini akan menimbulkan pergeseran dalam lapisan bumi. Ini adalah sebab perta-ma yang menimbulkan sebuah gempa bumi yang hebat.
Selain dari itu, Ananda, apabila ada seorang pertapa atau orang suci yang memi liki kekuatan besar dan dapat menguasai pikirannya, atau seorang dewa yang berkuasa dan berkemampuan besar mengembangkan pemusatan pikiran yang kuat terhadap si-fat yang terbatas dari unsur tanah dan terhadap sifat yang tak terbatas dari unsur cair; maka orang itu pun dapat menyebabkan bumi ini bergetar dan bergoyang. Ini adalah sebab kedua yang dapat menimbulkan sebuah gempa bumi yang hebat.
Selanjutnya, Ananda :
- Ketika Sang Bodhisatta turun dari surga Tusita dan masuk di rahim ibunya, dengan penuh kesadaran dan pikiran terpusat; (3)
- Dan ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibunya, dengan penuh kesadar-an dan pikiran terpusat; (4)
- Ketika Sang Tathagata merealisasi Penerangan Agung, Penerangan yang Sempurna dan tak ada bandingnya; (5)
- Ketika Sang Tathagata menggerakkan Roda Dhamma yang gilang gemilang; (6)
- Ketika Sang Tathagata mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupNya; (7)
- Dan ketika mencapai parinibbana, di mana tak ada lagi tertinggal unsur keme lekatan. (8)
Maka pada peristiwa-peristiwa tersebut tadi, bumi ini akan bergetar dan bergoyang. Ini semua, Ananda, adalah delapan alasan, delapan sebab, yang dapat menimbulkan gempa bumi”.
Sdr/i seDhamma sekalian, demikian tadi sabda Sang Bhagava tentang adanya delapan sebab atau delapan alasan terjadinya gempa bumi yang dijelaskan dalam Mahaparinibbana Sutta, Dighanikaya II, 16; mengenai hari-hari terakhir Sang Bud-dha. Dan bersama ini pula, kami akhiri pembahasan dan perenungan Dhamma kita pa-da hari ini yang bertemakan ‘Gempa Bumi’. Bila di antara Sdr/i ada yang ingin berta-nya tentang makalah ini, dapat kita diskusikan bersama-sama setelah selesainya kebak tian ini. Terimakasih.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
_____________________

Buku Acuan:
1. Riwayat Hidup Buddha Gotama, penyusun S. Widyadharma.
2. Berbagai media massa tentang masalah ‘gempa bumi’.

Dibacakan pada tanggal :
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: