Senin, 10 Maret 2008

IBU

IBU

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa (3x).
SUKHA MATTEYYATA LOKE.
Mempunyai ibu adalah kebahagiaan di dunia ini.
Khuddakanikaya Dhammapadagatha.

Sdr/i seDhamma sekalian yang berbahagia, setelah kita bersama-sama membaca Paritta dan bermeditasi, maka marilah sekarang kita mengisi kebaktian hari ini dengan mengadakan pembahas-an dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Ibu’. Sdr/i, pembahasan dan perenungan Dhamma yang berjudul ‘Ibu’ ini kami ketengahkan sehubngan dengan adanya peringatan Hari Ibu yang jatuh pada setiap tanggal 22 Desember; dan tentu kita semua yang ada di sini pasti juga sudah mengerti maknanya, yaitu bahwa hal tersebut bertujuan untuk mengingatkan kita semua terhadap adanya peranan dari seorang ibu yang sangat penting artinya bagi keberadaan kita di dunia ini.
Sdr/i seDhamma, seperti telah kita ketahui, bahwa ternyata tidak ada seorangpun di dunia ini yang tidak dilahirkan melalui ibu. Ibulah yang melahirkan kita dan sekaligus yang pertama sekali memberikan cinta kasih sejati kepada kita; yang mengasuh kita, dan mengorbankan segala-galanya bagi kita. Raja Dhamma sendiri, yaitu Sang Buddha, juga dilahirkan oleh ibunya, yaitu di tengah perjalanan ke kota Devadaha. Demikian pula dengan salah seorang siswa Sang Buddha yang berna-ma Sivali, yaitu yang mencapai Arahat pada waktu rambutnya dicukur, ia juga dilahirkan oleh ibu-nya yang telah menderita karena mengandungnya selama tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh hari. Sela-ma itulah dia mengandung anaknya. Selanjutnya, ada lagi siswa Sang Buddha yang bernama Angu-limala. Ia justru akan membunuh ibunya sendiri, tetapi ternyata perasaan ibunya tidaklah demikian. Mengapa? Karena, bagi ibunya, ia dilahirkan dengan rasa sayang yang sejati. Jadi Sdr/i sekalian yang berbahagia, jika kita mau merenungkan dengan pikiran jernih, tentu kita akan mengerti bahwa setiap orang pasti telah mendapatkan cinta kasih dan kasih sayang yang sejati dari ibunya, yang wa-laupun mungkin ada yang hanya sebentar saja merasakan hal tersebut. Ini sangat masuk akal Sdr/i, karena, sepertinya tiada orang lain selain ibu yang dapat memberikan permata cinta kasih yang me-lebihi itu. Maka, untuk hal-hal itulah Sdr/i, kita perlu merenungkan, kita perlu menghayati jasa-jasa seorang ibu yang tidak kecil artinya bagi kita semua ini.
Sdr/i seDhamma sekalian, demikian juga pada hari ini, dalam rangka memperingati Hari Ibu, dalam rangka mengenang jasa-jasa kebajikan ibu-ibu kita dalam peranannya membimbing kita, ma-ka marilah kita sekarang bersama-sama merenungkan sebuah kisah yang dipetik dari Sonadanda Ja-taka, yaitu kisah tentang Bodhisatta (calon Sammasambuddha) yang mengungkapkan kebajikan ibu, yang dibuat dalam bentuk sajak seperti yang kami uraikan berikut ini:
“Dengan penuh kasih sayang dia melindungi kita, dia membesarkan kita dengan air susunya. Seorang ibu adalah jalan ke surga, dan engkulah yang amat dikasihinya.
Ia mengasuh dan memelihara kita dengan penuh perhatian; ia dikaruniai dengan sifat-sifat mulia ini.
Seorang ibu adalah jalan ke surga, dan engkaulah yang amat dikasihinya. Karena mendambakan anak, maka dengan berlutut ia sembahyang di depan cetiya. Ia memperhati-kan perubahan musim dan mempelajari ilmu perbintangan. Akhirnya, ia merasa bahwa ke-inginannya yang halus terwujud; yaitu ia hamil. Dan segera bayi yang masih dalam kan-dungan itu mulai mengetahui kawan yang mencintainya tersebut. Selama setahun atau ku-rang, ia menjaga hartanya ini dengan hati-hati. Kemudian ia melahirkannya; dan sejak saat itu ia memakai sebutan ‘ibu’.
Dengan susu dan senandung ia menenangkan anaknya yang gelisah. Anaknya dibung kus dalam kehangatan pelukan tangan ibunya, sehingga kesusahannya segera lenyap. Ia menjaga bayi yang belum tahu apa-apa ini dari gangguan angin dan panas. Dengan membe-lai anaknya demikian, ibu dapat disebut sebagai kekasih perawatnya.
Barang apapun yang merupakan milik suami dan dirinya, ia simpankan untuk anak-nya dengan harapan ‘Semoga bisa untuk kebahagiaan anaknya’. Ia berpikir:’Anakku sa-yang, suatu saat semuanya ini akan menjadi milikmu’.
‘Hai, anakku sayang, lakukan ini dan itu’ kata ibu yang khawatir anaknya berbuat sa-lah. Dan setelah anaknya dewasa, sang ibu juga masih mengeluh dan bersedih hati. Ka-dang-kadang pada malam hari, dengan gegabah ia pergi mengganggu istri orang lain untuk menanyakan ke manakah anaknya. Ibunya yang khawatir dan sedih itu bertanya dalam hati: ‘Mengapa selarut malam ini anakku belum kembali?’
Jadi, berdasarkan fakta-fakta tadi, maka apabila ada seseorang sampai melupakan pen deritaan ibunya yang telah mengasuh dirinya dengan penuh kekhawatiran seperti itu, apala-gi sampai menipu ibunya, maka aku katakan, apakah yang akan diperolehnya selain daripa-da neraka? Dikatakan pula, bahwa mereka yang sangat mencintai kekayaannya, apabila ia sampai berbuat demikian, maka kekayaan mereka akan segera lenyap. Demikian pula, sese-orang yang melupakan ibunya, akan segera menyesali akibat yang pasti ditanggungnya.
Hadiah, kata-kata lemah lembut, jasa-jasa baik serta penghormatan, yang diperlihat-kan dengan batin tenang dan seimbang pada waktu dan tempat yang tepat; bagi dunia, mu-lia tersebut adalah bagaikan paku as pada roda kereta. Apabila tidak ada sifat-sifat mulia ter sebut, maka nama ibu akan terbawa-bawa oleh anaknya. Ibu adalah seperti raja yang dimah kotai dengan penghormatan. Para bijaksana memuji orang yang memiliki sifat mulia itu, se-hingga dalam dunia ini dan setelah mati, pasti ia akan memperoleh kebahagiaan”.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, itulah tadi syair dari kisah Jataka yang diungkapkan oleh Bodhisatta sendiri untuk mengagungkan seorang ibu. Para bijaksana menggunakan istilah ‘ibu seja-ti’ untuk menamakan kebajikan dan pengorbanannya yang sempurna, untuk melukiskan cinta kasih dan kasih sayangnya yang murni, yang daripadanya dapat terlahir para Bodhisatta. Dari berbagai ce-rita, kita telah mengetahui jasa-jasa yang telah diberikan oleh seorang ibu terhadap anaknya.
Sdr/i sekalian, ibu sejati, adalah ibu yang pertama kali mendidik dan mengajarkan Sila kepa-da putra-putrinya. Ibu yang menumbuhkan Hiri dan Ottappa kepada putra-putrinya, yaitu rasa malu terhadap perbuatan jahat dan rasa takut terhadap akibat dari perbuatan jahat. Jadi, ibu sejati dapat di-katakan merupakan pendukung masyarakat yang utama. Jika suatu keluarga diumpamakan sebagai suatu bangunan; maka dalam hal ini ayah dikatakan sebagai atap dari bangunan tersebut, yaitu yang menaungi semua yang ada di dalamnya. Sedangkan ibu, diumpamakan sebagai tiang bangunannya yang bisa menjiwai keluarga tersebut. Sebab, banyak sekali masyarakat tercela, keluarga tercerai be-rai, dan para remaja berhati kacau karena disebabkan oleh ibu yang tidak memberikan asuhan sejati. Dari data-data catatan statistik sering didapatkan bahwa generasi yang lahir dengan ditinggalkan oleh ibunya, misalnya karena adanya suatu peperangan, maka akan terlihat bahwa generasi tersebut akan menjadi generasi yang sering menumbuhkan kekacauan. Jadi, jelas terlihat bahwa asuhan ibu sejati sesungguhnya merupakan bagian utama bagi setiap anak dan merupakan suatu kemudi yang cerah bagi setiap remaja. Asuhan sejati merupakan permata utama bagi seorang ibu, karena setiap anak pasti membutuhkannya. Namun Sdr/i sekalian, kadang-kadang tidak setiap ibu sudi memberi-kan permata utama yang dimilikinya itu kepada putra-putrinya. Mengapa bisa demikian? Hal ini se-baiknya kita tanyakan saja langsung kepada para ibu yang ada di sini, kira-kira apa sebabnya kok ada ibu yang bisa bertindak demikian. Kok sampai tega bertindak demikian. Sebab, dalam hal ini Sdr/i, kami sendiri juga belum berpengalaman atau bahkan tidak pernah berpengalaman dalam hal menjadi ibu. Oleh sebab itu, dapat kita bahas bersama dengan ibu-ibu yang ada di sini nanti.
Sdr/i seDhamma sekalian, setelah kita dapat mengetahui betapa besar pengorbanan seorang ibu kepada anaknya, misalnya seperti yang diuraikan dalam kisah Jataka tadi, dan juga mungkin se-perti yang kita alami sendiri, maka apabila kita membandingkan, rasanya segala penghormatan kita dan cinta kasih yang kita berikan untuk ibu kita, jauh belum berarti bila dibandingkan dengan jasa beliau yang sejati tadi. Oleh sebab itu, melayani ibu dengan penuh kasih sayang, yang timbul dari rasa kita ingin membahagiakan ibu karena ibu adalah pembawa jasa utama bagi kita, barulah merupa kan kebahagiaan kecil untuk pengorbanan yang sejati itu.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, lalu bagaimanakan balas jasa kita supaya bisa memadai atau paling tidak seimbang dengan pengorbanan yang dilakukan oleh ibu kita itu? Sdr/i sekalian, da-lam hal ini kita dapat mencontoh dari perbuatan balas jasa yang dilakukan oleh Sang Buddha kepada ibunda Beliau. Sang Buddha sendirilah yang telah berhasil memberikan jasa tertinggi, yaitu jasa yang sangat mulia bagi ibunda Beliau. Hal tersebut merupakan balas budi terhadap orang tua yang tiada tara bandingannya dalam sejarah kehidupan makhluk-makhluk. Tujuh tahun sesudah Penerang an Sempurna, Beliau melewatkan tiga bulan masa vassa untuk tinggal menetap di surga Tavatimsa gana membalas jasa kebajikan ibunda Mahamaya yang pernah melahirkannya. Pada waktu itu ibun-da Mahamaya terlahir kembali sebagai putra dewa di alam surga Tusita, yaitu dua tingkat di atas alam surga Tavatimsa. Ini bukan berarti bahwa Sang Buddha Gotama salah menuju tempat. Beliau sengaja naik ke surga Tavatimsa karena alam ini merupakan tempat pertemuan para dewa dari per-bagai tingkat. Di alam Tavatimsa ini terdapat balai umum yang bernama Saddhammasala, yang di-pergunakan untuk mendengarkan dan memperbincangkan Dhamma. Ketika berjumpa dengan Raja Dewa Indraa, Sang Buddha memerintahkan untuk menjemput ibunda Mahamaya. Tatkala ibunda Mahamaya telah tiba, Sang Buddha duduk di singgasana Pandukambala dengan sangat agungnya dan memutuskan untuk mewejangkan Abhidhamma kepada ibundaNya yang didampingi oleh para dewa dalam jumlah yang sangat banyak, dan pewejangan ini berlangsung tanpa berhenti sekejappun. Di akhir pewejangan tersebut, sejumlah 800 juta (800 koti) dewa berhasil meraih kesucian tingkat Arahat. Sementara itu, ibunda Mahamaya sendiri meraih kesucian tingkat Sotapanna. Jadi, di sinilah dengan penuh cinta kasih, Sang Buddha memberikan Dhamma kebebasan kepada ibuNya sehingga akhirnya nanti ibuNya berhasil mencapai kebebasan, yaitu terpotongnya tumimbal lahir untuk sela-ma-lamanya. Inilah penghormatan dan cinta kasih Sang Buddha kepada ibuNya, dan merupakan ba-las budi terluhur dari segala-galanya. Sehari setelah habisnya musim hujan, yang berarti selesainya pewejangan Abhidhamma di surga Tavatimsa, Beliau dengan diiringi para dewa turun kembali ke bumi, tepatnya di daerah Sankassa. Peristiwa turunnya Sang Buddha Gotama ini sekarang diper-ingati oleh umat Buddha sebagai hari Devorohana.
Sdr/i sekalian yang berbahagia, jadi kita sekarang sudah dapat menghayati sendiri contoh per buatan Sang Buddha tadi, dan kita juga menyadari bahwa perbuatan seorang anak yang bagaimana-pun juga, belumlah dapat menyamai mempersembahkan Dhamma kebebasan kepada ibunya sebagai balas jasa untuk pengorbanan sejati seorang ibu kepada anak-anaknya. Sdr/i seDhamma, berbagai macam buah karma buruk telah sering kita dengar karena seorang anak mengingkari ibunya, demiki-an pula bermacam-macam cara berbuat jasa dan akhirnya jasa tertinggi yang seharusnya dipersem-bahkan oleh seorang anak kepada ibunya telah pula kita dengar. Mudah-mudahan pengertian terha-dap perenungan ini, akan membuat kita semakin giat dalam memahami dan menghayati Dhamma Sang Buddha demi kebebasan kita semua. Terimakasih!
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
___________________

Sumber Acuan:
1. Sang Buddha dan Ajaran-ajaranNya, oleh Ven. Narada.
2. Cermin Kehidupan, oleh Ven. Narada.
3. Abhidhamma, Sabda Murni Sang Buddha?, oleh Jan Sabjivaputta.
4. Ibu, oleh Samanera Tejavanto.

Dibacakan pada tanggal:
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: