Senin, 10 Maret 2008

KECIL BUKAN SEPELE

KECIL BUKAN BERARTI SEPELE

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
MÄVAMAÑÑETHA PÄPASSA - NA MAÇ TAÇ AGÄMÍSSATI.
Janganlah meremehkan kejahatan, walaupun itu kecil sekali.
Khuddakanikäya Dhammapadagäthä.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah membaca Paritta dan bermeditasi sejenak, marilah sekarang kita arahkan perhatian dan konsentrasi kita guna mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Kecil Bukan Berarti Sepele’. Sekali lagi Sdr/i, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Kecil Bukan Berarti Sepele’.
Sdr/i seDhamma sekalian, seperti yang sudah kita ketahui, bahwa pada umumnya, kalau ada sebuah benjolan kecil yang terdapat pada salah satu bagian dari tubuh kita, biasa-nya bisa merupakan suatu kanker ganas. Semua orang yang tahu hal itu, pasti tidak akan me-remehkan tumor kecil tersebut dan segera akan memeriksakan dirinya pada seorang dokter. Dalam hal ini, dokter tersebut akan memperlakukannya dengan serius, terkecuali setelah ke-mudian jelas terbukti bahwa tumor itu tidak ganas. Jadi, memang sesuatu yang kecil itu tidak seharusnya dianggap sepele. Hal ini juga seperti peribahasa yang mengatakan bahwa dengan nila setitik dapat merusak susu sebelanga.
Sdr/i seDhamma sekalian, demikian pula di dalam istilah umum masyarakat kita ini, manusia katanya mengenal adanya dosa kecil dan dosa besar. Dosa kecil hukumannya tentu ringan, dan dosa besar hukumannya pasti akan berat. Nah, karena hal tersebut, maka yang kecil dan ringan itu akhirnya dipandang ‘gampang dihapus’ dan ‘diabaikan’. Akhirnya, me-mang banyak orang yang takut untuk melakukan dosa besar, tetapi dengan demikian mereka malahan justru lebih banyak melakukan dosa-dosa kecil dengan dalih bahwa semua manusia pasti berdosa. Jadi bisa dimaklumi kalau hanya melakukan dosa-dosa yang kecil. Mengapa bisa terjadi pandangan demikian? Karena hal ini diakibatkan bahwa seringkali orang menu-tup mata terhadap segala bentuk kesalahan yang kecil, sehingga akhirnya mereka mengang-gap bahwa kesalahan kecil itu adalah hal yang sudah biasa dan tidak perlu diperhatikan lagi. Sdr/i sekallian, lalu bagaimanakah ajaran Sang Buddha dalam memandang hal tersebut? Apa kah juga demikian? Sdr/i sekalian, ternyata di dalam ajaran Sang Buddha kita malahan di-ingatkan bahwa kesalahan yang kecil itu bukanlah barang yang boleh dianggap sepele atau boleh diremehkan.
Sdr/i, di dalam kitab Dhammapada ayat 121 tadi dikatakan bahwa janganlah mere-mehkan kejahatan walau sekecil apapun, dengan beranggapan bahwa perbuatan buruk itu ti-dak akan membawa akibat. Tetapi sesungguhnya, bagaikan sebuah tempayan akan terisi pe-nuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula si dungu akan penuh de-ngan hasil kejahatan yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud kejahatan di sini yaitu tidak saja membunuh atau menyakiti orang lain, mencuri, asusila, berdusta, serta mabuk-mabukan, tetapi juga meliputi segala macam perbuatan yang berasal dari keserakah-an, kebencian, dan kebodohan batin dalam bentuknya yang lain seperti berjudi, berkata ka-sar, omong kosong atau membual, menfitnah, dan sebagainya.
Sdr/i seDhamma sekalian, ternyata peraturan larangan dan tata tertib (Vinaya) yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha, tidak saja membahas tentang perbuatan yang jahat, tetapi juga mencakup hal-hal kecil yang dapat memberikan peluang untuk timbulnya suatu perbuat-an yang tercela. Sebagai contoh, misalnya seorang bhikkhu yang pantang melakukan hu-bungan kelamin, maka sehubungan dengan hal itu pula, ia juga tidak boleh menyentuh wani-ta sekalipun hanya rambut atau tangannya saja. Juga, untuk mendukung hal tersebut, maka tidak dibenarkan bagi seorang bhikkhu untuk duduk bersama seorang wanita di suatu tempat yang tertutup tanpa ada orang lain yang melihatnya. Mengapa demikian? Apakah hal ini ti-dak terlalu berlebihan dan mengada-ada? Sdr/i sekalian, memang bagi kita mungkin berang-gapan bahwa menyentuh atau duduk berdua dengan orang lain yang berbeda jenis kelamin-nya adalah cuma soal kecil. Tetapi Sdr/i sekalian, ternyata hal itu tidak bisa dianggap remeh dalam kehidupan seorang bhikkhu. Mengapa? Karena hal tersebut dapat membawa akibat yang besar, terutama ketika mereka sedang melatih meditasi, yaitu bisa muncul kesan-kesan sewaktu sedang duduk berduaan tadi sehingga dapat mengganggu latihan meditasinya dan akhirnya bisa juga mengarah untuk melakukan suatu perbuatan yang tercela.
Sdr/i seDhamma sekalian, itu tadi adalah contoh dalam hidup kebhikkhuan, sedang-kan contoh lain, yang kiranya juga cukup aktual dalam kehidupan masyarakat kita, adalah “merokok”. Beberapa waktu yang lampau, dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasi onal, pemerintah Indonesia pernah mengajak masyarakat untuk tidak merokok sehari itu. Me rokok dipandang buruk karena asapnya berbahaya bagi kesehatan. Bahkan, orang-orang yang tidak merokok pun ikut pula terancam bahaya akibat pencemaran yang ditimbulkan-nya. Tetapi, hal yang demikian ini, yaitu bahwa hal tersebut juga membahayakan bagi orang lain, masih belum diperhatikan. Masih dianggap wajar dan bisa dimaklumi.
Sdr/i sekalian, asap rokok memang sering diremehkan karena masih dirasakan tidak begitu mengganggu seperti asap cerobong pabrik atau asap knalpot kendaraan. Sekarang ini, kalau ada pemilik pabrik yang mencemari lingkungannya, bisa digugat sebagai penjahat. Te-tapi, mereka yang merokok masih belum sampai dianggap demikian karena merokok itu ma-sih bisa diterima sebagai perbuatan buruk yang kecil yang masih bisa dianggap sebagai per-buatan wajar dalam masyarakat. Namun Sdr/i sekalian, sesungguhnya, seperti yang dikata-kan di dalam kitab Majjhima Nikäya bab I, bahwa perbuatan apapun, yang dilakukan dengan badan jasmani, ucapan, serta pikiran, bila membawa penderitaan untuk diri sendiri, orang lain, maupun kedua-duanya, maka perbuatan itu adalah buruk.
Sdr/i Dhamma sekalian, bila tadi telah dikatakan bahwa kesalahan yang kecil tidak boleh disepelekan, demikian pula sebaliknya, kebaikan yang kecil juga tidak bisa dianggap barang yang sepele. Di dalam kitab Dhammapada ayat 122 tadi dikatakan bahwa jangan me-remehkan kebajikan walaupun sekecil apapun, dengan beranggapan bahwa perbuatan baik itu tidak akan membawa berkah. Tetapi sesungguhnya, bagaikan sebuah tempayan yang akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksa-na akan dipenuhi dengan hasil kebaikan yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit.
Sdr/i sekalian, selain itu, ada juga peribahasa yang mengatakan bahwa bila akan mengerjakan sesuatu yang susah, hendaknya dilakukan ketika masih mudah; dan bila akan mengerjakan sesuatu yang besar, hendaknya dilakukan ketika masih kecil. Sdr/i sekalian, hal tersebut adalah suatu kata-kata pengalaman dari mereka yang telah sukses dan mengajarkan agar sesuatu yang kecil itu janganlah diremehkan, janganlah dianggap sepele.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, sebagai contoh, bila kita mau memperhatikan, na-mun ini hanya sebagai bahan perbandingan saja, maka sebuah sekrup kecil daru suatu mesin yang besar bukanlah barang yang dapat disepelekan. Ini juga berarti bahwa tanpa memperha-tikan hal-hal yang kecil, orang bisa tidak akan berhasil untuk menangani suatu pekerjaan yang besar. Banyak orang yang bisa menjadi kaya karena ia mau mengumpulkan penghasil-annya sedikit demi sedikit. Contoh lainnya lagi bahwa hal yang kecil ini tidak dapat diremeh kan misalnya pada uang kecil “limapuluh rupiahan”. Pada saat ini uang kecil tersebut masih sering dianggap tak ada artinya oleh banyak orang. Tetapi ternyata bagi seorang kasir yang melayani pekerjaan besar seperti pembayaran listrik, air minum, atau telepon, uang limapu-luh rupiahan ini tidak bisa dianggap sepele. Kasir tersebut pasti tidak akan mengabaikan uang limapuluh rupiah pun dari rekening yang dibayarkan kepadanya.
Sdr/i seDhamma sekalian, sebagai bahan perenungan selanjutnya, ada sebuah contoh cerita dari Jepang. Konon, ada seorang anak yang bernama Ikkyu yang memasuki kehidupan di suatu biara ketika ia masih kanak-kanak. Suatu ketika, ia menjadi sangat geram karena ada seorang samurai atau pejabat pemerintah yang memanggilnya dengan julukan “bhiksu kecil”. Bukankah ini berarti dia telah disepelekan? Kemudian Ikkyu lalu bertanya kepada orang yang memberinya julukan tersebut. Bila ada lobak yang sedang dicuci, apakah harus dinamai lobak kecil dan lobak besar? Bukankah lobak itu kecil atau besar adalah sama saja, namanya lobak? Maka demikian pula bhiksu adalah bhiksu. Tidak ada bhiksu besar dan bhiksu kecil. Jadi, mengapa ia harus dinamakan bhiksu kecil? Bukankah kalau seorang anak manusia ke-cil pun juga tidak bisa disepelekan dengan dianggap sebagai setengah manusia?
Sdr/i seDhamma sekalian, dari cerita tadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kita semua, terutama yang sudah lebih dewasa ini, hendaknya tetap tidak menganggap remeh pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak kecil. Bila ada seorang anak ke-cil yang berbuat tidak benar atau kurang pantas, maka sebaiknya kita cepat-cepat memberi-kan peringatan kepadanya. Janganlah hal itu didiamkan saja atau kita anggap remeh karena hanya anak kecil yang berbuat. Demikian pula bila ada seorang anak kecil yang berbuat ke-baikan, sebaiknya kita harus memberikan dukungan kepadanya supaya dia mau lebih me-ngembangkan lagi sifat-sifat baiknya tersebut. Janganlah hal itu diremehkan hanya karena ki-ta menganggap dia sebagai seorang anak kecil yang tidak perlu diperhatikan.
Sdr/i seDhamma sekalian, sebagai contoh yang masih berhubungan dengan hal terse-but, yaitu masih banyak kita lihat suatu peristiwa di mana banyak orang tua atau orang yang lebih tua, masih menganggap remeh kepada suatu perbuatan baik yang dilakukan oleh anak-anak kecil. Apakah itu? Yaitu bahwa mereka tidak mau membalas salam ucapan “Selamat pagi” atau “Selamat siang” atau bahkan mungkin “Selamat Waisak” atau “Selamat Tahun Baru” yang diucapkan oleh anak-anak mereka, dan juga anak-anak lain yang masih kecil. Hal ini hendaknya perlu juga untuk lebih kita perhatikan lagi di masa-masa yang akan datang.
Sdr/i seDhamma yang berbahagia, demikianlah perenungan dan pembahasan Dham-ma kita pada hari ini dan semoga kita dapat meresapinya dan mempraktikkannya dalam kehi-dupan kita sehari-hari. Serta, tidak ketinggalan pula, sehubungan dengan hal ini, dan dengan memohon maaf sebelumnya, kami pengurus Vihara Dhammacakkhu juga ingin menyampai-kan pesan kepada Sdr/i seDhamma sekalian, bahwa sebaiknya Sdr/i seDhamma semua, ber-sedia juga membantu mengatur kerapihan vihara kita dengan merapikan letak sandal maupun sepatunya di dalam Vihara Dhammacakkhu ini setiap kali datang ke vihara. Dahulu pesan ini juga sudah pernah kami sampaikan namun sekarang ketidakrapihan dalam meletakkan sandal atau sepatu ini sudah mulai terjadi lagi. Jadi, kami sangat memohon kepada Sdr/i semua un-tuk memperhatikan hal ini karena perbuatan mengatur atau merapikan sandal dan sepatu di dalam vihara adalah juga merupakan suatu perbuatan baik yang tidak bisa dianggap kecil, ri-ngan, atau sepele. Dan, hal ini kita lakukan juga demi kebaikan kita sendiri sebagai umat Vi-hara Dhammacakkhu Bogor. Sekian dan terima kasih atas perhatian Sdr/i semua!
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk hidup berbahagia!
Sädhu! Sädhu! Sädhu!
____________________

Dibacakan pada tanggal:
- sudah pernah.
-
-
-
-
-
-

Tidak ada komentar: