Senin, 10 Maret 2008

KEKUATAN DHAMMA

KEKUATAN DHAMMA

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammä Sambuddhassa (3x).
ATTÄ HI ATTANO NÄTHO.
Diri sendiri merupakan pelindung bagi diri sendiri.
Khuddakanikäya Dhammapadagäthä.

Sdr/i seDhamma yang berbahagia, setelah kita bersama-sama membaca Paritta dan juga bermeditasi sejenak, maka marilah sekarang kita arahkan perhatian kita guna mengadakan pembahasan dan perenungan Dhamma, yang pada hari ini berjudul ‘Kekuatan Dhamma’.
Jadi, sekali lagi, judul pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini yaitu ‘Kekuatan Dhamma’.
Sdr/i yang berbahagia, sekarang kita telah memasuki tahun 2000 atau yang sering disebut-sebut sebagai abad millennium yang ketiga. Padahal, sesungguhnya millennium yang ketiga baru akan dimulai pada tanggal 1 Januari tahun 2001. Tetapi, kapanpun millennium itu disepakati untuk dimulai, sesungguhnya, yang namanya perubahan-perubahan terus saja terjadi dan mengalir sejak saat ini, bahkan setiap saat.
Menurut Dhamma, kesunyataan atau kebenaran, sifat dari kehidupan bahkan sifat dari segala sesuatu adalah perubahan dan perubahan. Adalah sangat salah, jika kita berpikir bahwa perubahan itu baru akan mendadak terjadi setelah kita memasuki tahun 2000 atau bahkan pada tahun 2001. Perubahan tidak pernah berhenti, melainkan terus terjadi. Itulah sifat kehidupan kita.
Abad ini, yang ditandai dengan berbagai penemuan, penggunaan teknologi, juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, sangat sering pertanda ini digunakan untuk menandai kemajuan. Berkembangnya iptek secara luas, banyak dirasakan orang dengan ungkapan kemajuan, kemudahan, kenyamanan, bahkan keberhasilan.
Meskipun demikian, marilah kita merenung dengan pikiran yang jernih dan bersama-sama bertanya kepada diri kita, kemudian menjawab dengan jujur, apakah kemajuan, kemudahan, bahkan keberhasilan yang kita lihat sekarang di seantero pelosok dunia membuat kehidupan ini benar-benar lebih bahagia, kesulitan-kesulitan berkurang, penderitaan menjadi lebih sedikit, ketegangan, persoalan-persoalan kehidupan menjadi semakin ringan? Jawabnya hampir semua orang mengatakan “TIDAK”.
Hal itu memang tidak mengherankan, karena iptek, meskipun amat membantu, tetapi harus diingat, iptek dan peralatan yang dihasilkan dan kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada kita semata-mata hanya berhubungan dengan materi. Dalam kehidupan ini, Dhamma mengingatkan kita, bahwa kita memang membutuhkan materi untuk kelangsungan hidup kita, untuk keluarga kita, demikian juga untuk masyarakat, untuk bangsa dan negara ini. Tetapi, yang harus diingat adalah materi bukanlah segala-galanya. Pada saat-saat tertentu kita akan merasakan atau bahkan melihat materi tidak bisa berbuat banyak.
Dalam suasana yang sedemikian kempleks, persaingan yang demikian keras dan terbuka, persoalan-persoalan juga bergolak dengan lebih pelik. Menghadapi hal-hal dan persoalan yang mungkin muncul dengan seribu satu macam warna di masyarakat maupun di ke-luarga kita masing-masing, manusia acapkali merasa lelah, seolah-olah sudah tidak mampu lagi menghadapi, sudah kehabisan jalan, kehabisan semangat untuk bertahan karena persoalan-persoalan itu akan sangat membebani kita.
Hal tersebut tidak mengherankan, bisa kita maklumi bersama, karena semangat kita pada suatu saat akan sangat kuat dan di saat lain akan sangat lemah. Pada saat kita lemah kita memerlukan kekuatan, manusia memerlukan perlindungan untuk menghadapi persoalan-persoalan yang datang silih berganti. Dalam keadaan yang seperti itu, manusia mencari pertolongan, perlindungan, kekuatan, dan terus mencari di mana pun juga untuk bisa segera terlepas dari beban yang terasa menghimpit. Mereka mungkin pergi ke tempat-tempat keramat, ke tempat pemujaan yang dianggap ampuh, ke gunung-gunung yang besar, menuju kekuatan-kekuatan alam yang dianggap mampu memberikan kekuatan kepada dirinya untuk mengatasi dan menghadapi persoalan kehidupan yang berat itu.
Berkenaan dengan hal tersebut, umat Buddha sebenarnya sudah dibekali dengan per-lindungan, yaitu sejak awal seseorang mengenal ajaran agama Buddha dan kemudian menerimanya dengan kesadaran dan pengertian, maka sejak awal orang ini kemudian menyebut, menyatakan dengan kesungguhan, “Aku berlindung kepada Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha”.
Saat pertama kali seseorang mengucapkan aku berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha dengan sadar dan mengerti apa yang diucapkan, pada saat itulah ia sebagai seorang umat Buddha, ia sudah menjadi umat Buddha, sekalipun tanpa upacara yang resmi, tanpa penahbisan, pemercikan air, dan sebagainya. Perlindungan kepada Tiratana yang di-ucapkan dengan sadar dan mengerti artinya, membuatnya menjadi seorang umat Buddha.
Tetapi, benarkah kita sudah dilindungi atau bagaimanakah kita berlindung, dengan mengucapkan aku berlindung kepada Tiratana: Buddha, Dhamma, dan Sangha? Apakah su-dah benar aku dilindungi dari segala macam kesulitan, kesusahan, penderitaan, dan segala macamnya?
Jawabnya adalah “YA, untuk sementara”. Seseorang yang telah menyatakan berlin-dung kepada Tiratana secara kejiwaan (psikologis), berarti dia telah mempunyai perlindungan, yaitu perasaannya menjadi puas. Perlindungan seperti itulah yang mungkin boleh diistilahkan sebagai perlindungan emosional. Emosi yang mendapat perlindungan. Timbullah rasa mantap dan aman. Aman secara psikologis. Inilah yang disebutkan sebagai “YA” orang yang menyatakan berlindung kepada Tiratana, dia merasa mempunyai perlindungan sementara.
Tetapi, menyatakan berlindung kepada Tiratana saja, kemudian seseorang merasa mendapat perlindungan, bukanlah cara berlindung yang sesungguhnya dan bukan cara yang benar. Berlindung dengan cara seperti itu, hanya bisa memberikan kepuasan emosional, tidak menyelesaikan penderitaan, tidak mengurangi persoalan yang menghimpit, hanya melegakan emosi kita. Lalu, siapakah sesungguhnya Tiratana itu? Siapakah Buddha, Dhamma, dan Sangha?
Buddha, Dhamma, dan Sangha sesungguhnya mempunyai ‘inti’, yaitu kesadaran agung. Karena kesadaran agung, Bodhisatta Siddharta mencapai penerangan sempurna menjadi Buddha. Dhamma mengajarkan kesadaran agung yang harus kita latih dan pupuk untuk menyadari proses fenomena kehidupan kita, perasaan, pikiran, dan kehidupan kita ini. Sedangkan Sangha adalah batin mereka yang telah mencapai kesucian, kebebasan dari penderitaan secara total, karena telah mengembangkan kesadaran agung tersebut.
Pada suatu ketika, Bhikkhu Paññavaro memberikan sebuah buku kepada seorang pejabat tinggi. Buku tentang meditasi. Bhikkhu Paññavaro menjelaskan bahwa buku ini sangat baik.” Meskipun sudah lebih dari 20 tahun saya menjadi bhikkhu; saat membaca buku ini, saya mendapatkan pengetahuan yang sangat berharga” kata beliau. Kemudian pejabat ini bertanya kepada beliau,”Bhante, kalau boleh saya mengetahui, apakah yang menjadi kata kunci ajaran agama Buddha?”
Suatu pertanyaan yang sederhana, tetapi menantikan jawaban yang tidak sederhana. Kemudian Bhikkhu Paññavaro menjawab,”Kata kunci seluruh ajaran agama Buddha adalah pengertian yang benar serta lengkap. Itulah kata kunci ajaran agama Buddha”.
Kesulitan dan penderitaan menurut hukum alam yang universal, pasti muncul dan berkembang karena ada kondisi dan sebab-sebab yang mengakibatkan kesulitan, persoalan, ketegangan, bahkan penderitaan dan kesengsaraan dapat muncul dan menjadi beban kita.
“Tidak ada fenomena” demikianlah kalimat mudah yang muncul mendadak begitu saja, seolah-olah seperti hadiah atau hukuman dari langit. Sebenarnya tidak demikian, segala yang kita alami di dalam kehidupan ini muncul karena sebab-sebab, kondisi-kondisi, faktor-faktor yang mendahului, yang membuat, yang mengakibatkan semua fenomena, kejadian yang kita alami dalam kehidupan ini muncul dan kita rasakan.
Sekarang, jika kita menggunakan kesadaran kita, kewaspadaan, dan kejelian kita, mengamati gerak-gerik pikiran dan perasaan kita yang setiap hari dirangsang, ditarik-tarik, digoda-goda oleh nafsu, kenikmatan, kebencian, oleh hal-hal yang menarik, menjemukan, dan sebagainya. Kemudian perasaan dan pikiran kita bergerak; kita ingin demikian, kita ingin seperti itu, kita ingin begini dan begitu, Kita merencanakan, dan kemudian kita melakukannya. Itulah sesungguhnya awal munculnya segala macam persoalan kehidupan ini.
Adalah sangat benar, dalam khotbah-Nya yang pertama, sebelum Sang Buddha me-mulai pengabdian 45 tahun-Nya kepada dunia ini, Beliau menyampaikan dengan jelas dan terang sekali “Penderitaan ini disebabkan oleh nafsu keinginan”.
Dalam menganalisa penderitaan manusia, Sang Buddha tidak pernah melibatkan apalagi menarik-narik makhluk halus dan makhluk-makhluk lainnya dari atas langit sebagai pe-nyebab penderitaan. Tidak pernah. Penderitaan ini 100% disebabkan oleh nafsu keinginan kita. Tetapi, sekarang timbul pertanyaan, jika nafsu keinginan dapat mengakibatkan penderitaan; maka nafsu keinginan harus dikurangi. Dengan demikian, penderitaan tentu dapat berkurang.
Nah, Jika demikian, apakah kita tidak boleh mempunyai keinginan? Apakah kita tidak boleh maju? Karena, jika kita mempunyai keiniginan, maka kita akan menderita. Sdr/i, yang menjadi masalah sesungguhnya bukan keinginan, melainkan racun yang mengotori keinginan kita, yang membuat keinginan itu menumbuhkan dan mengakibatkan penderitaan, kesulitan, persoalan yang sambung menyambung, dan kesengsaraan yang tiada habisnya.
Kita tidak dilarang untuk mempunyai keinginan, tetapi marilah kita mewaspadai keinginan kita itu, kemudian kita panggil semua pengertian kita, lalu pertimbangkanlah semua keinginan itu dengan pengertian yang benar dan lengkap. Dengan demikian, keinginan itu tidak akan membuat kita tersiksa dan menderita pada saat timbul perasaan senang dan tidak senang, pada saat pikiran kita ingin demikian, ingin begini dan begitu.
Nanti dulu ….
Sekarang kita periksa keinginan itu dengan pengertian kita yang lengkap. Apakah keinginan itu benar-benar berguna atau bermanfaat? Memang benar bermanfaat! Tetapi apakah saya mempunyai kemampuan untuk melaksanakan keinginan itu? Sebab, meskipun keinginan itu benar dan bermanfaat, tetapi tidak adanya kemampuan yang cukup untuk melaksanakan keinginan itu, maka akan mengakibatkan kesulitan dan penderitaan juga.
Ada seseorang yang sudah tua, mungkin sudah berusia 60 lebih, rambutnya pun su-dah memutih. Namanya Pak Kardi, ia tinggal di desa, mungkin hanya lulusan sekolah dasar; menulis tidak pandai, usia sudah lanjut, pengetahuan tidak banyak. Ia bukan pemimpin partai, tidak aktif di partai. Tetapi karena rajin membaca koran dan menonton televisi, suatu ketika muncullah keinginan di dalam pikirannya.,”Akh, aku ingin ikut berbakti, mengabdi kepada negara ini, aku juga ingin jadi presiden. Nanti pada saat Sidang Umum MPR, aku akan pergi ke Senayan dan mencalonkan diri”.
Keinginan menjadi presiden memang baik, tidak salah. Motivasi pikirannya juga benar tetapi tentu Pak Kardi tidak mengukur kemampuan dirinya. Karena ia sudah pasti tidak mampu menjadi presiden, memimpin bangsa dan negara ini. Jika hal ini tidak disadari, dan dilaksanakan dengan membabi buta, maka akan mengakibatkan penderitaan. Ini adalah contoh yang ekstrim.
Contoh lain yang riil dalam kehidupan kita, suatu ketika timbullah keinginan untuk mempunyai rumah dan kendaraan yang lebih mewah. Memang, ini bukanlah tindak kejahatan, tetapi mampukah kita melaksanakannya sekarang? Dengan menempuh segala cara? Ingat, suatu keinginan yang tidak sesuai dengan kondisi atau kemampuan akan menjadi sumber/sebab penderitaan.
Anak-anak yang bersekolah, melihat dan belajar komputer, melihat temannya mengendarai motor. Kemudian mereka pulang ke rumah dan meminta kepada orang tuanya untuk dibelikan komputer dan sepeda motor. Memang sebagian orang mungkin mampu, tetapi sebagian keluarga kita di daerah-daerah tidak mempu meluluskan permintaan anak mereka.
Anak ini tidak pernah mendapat pelajaran mengendalikan diri. Bukan melepaskan te-tapi mengendalikan keinginan, mengendalikan diri. Tidak pernah. Yang ia tahu, ia marah karena orang tuanya tidak membelikan kemputer atau motor yang sudah ia rasakan kenyamanannya. Kemudian keinginannya ini mengakibatkan penderitaan. Bukankah begitu? Seseorang mungkin menginginkan pasangan yang cocok, tetapi ia tidak mendapatkannya. Ini adalah penderitaan. Jika mendapatkan pasangan yang sesuai, alangkah bahagianya, tetapi setelah 5 tahun, kebosanan mulai menghinggapi dan timbul keinginan mencari pasangan yang baru, kemungkinan pasangan yang tidak resmi. Keinginan ini jika dituruti akan menimbulkan penderitaan, kesulitan, dan masalah yang tidak ringan.
Bukankah demikian penderitaan dan kesulitan yang datang kepada kita? Oleh karena itu, marilah kita gunakan kesadaran, kewaspadaan, kejelian kita, untuk mengamati gerak-gerik keinginan kita. Jikalau timbul keinginan ini atau itu, sekalipun keinginan yang baik dan bermanfaat, marilah kita panggil segala pengertian kita, kemudian kita saring dan seleksi, apakah keinginan ini sesuai untuk saya?
Jika saudara menggunakan kesadaran dan pengertian yang lengkap maka keinginan yang timbul itu akan terseleksi dan terpilih sehingga tidak mengakibatkan penderitaan, ke-sengsaraan, kesulitan, tekanan mental yang datang tidak henti-hentinya.
Mengerti penderitaan, berakar atau timbul dari keinginan yang belebihan, keinginan yang berlanjut dan tidak benar. Kemudian kita mengerti dan menggunakan kesadaran kita serta mempertimbangkan semua keinginan dengan pengertian yang lengkap. Itulah berlindung yang benar kepada Tiratana.
Berlindung dengan cara demikian akan memberikan kekuatan Dhamma kepada kita. Kekuatan untuk mengurangi dan menyelesaikan penderitaan, kekuatan untuk tidak membuat penderitaan baru dengan mewaspadai, mengamati, dan menyadari gerak-gerik keinginan kita, kemudian kita panggil pengertian kita untuk memberi pertimbangan dan kemudian membuat keputusan. Dengan demikian, keinginan kita akan sesuai di Jalan Dhamma. Keinginan yang membawa kita maju, sejahtera, bahagia, tetapi bukan keinginan yang mengakibatkan penderitaan, beban mental, kesulitan, ketegangan, dan kesengsaraan yang tiada habis-habis-nya.
Sekali lagi, mari kita renungkan, bukan makhluk halus ataupun makhluk dari langit yang membuat kita menderita. Lalu dikatakan terkena cobaan atau hukuman, bukan itu, melainkan keinginan yang sembrono, yang tidak terkendali dan tidak dipertimbangkan karena tidak ada kesadaran dan kewaspadaan. Kemudian keinginan itu kita turuti, merambah, berkembang dan mengakibatkan penderitaan.
Mengerti hal ini dengan terang dan jelas adalah cara yang benar untuk menyelesaikan penderitaan. Inilah berlindung yang benar kepada Sang Tiratana. Oleh karena itu, tidak cukup kita menyatakan dengan sepenuh hati aku berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, tetapi menggunakan kesadaran, mengamat-amati, pikiran dan keinginan kita kemudian memanggil pengertian untuk memberikan pertimbangan dan keputusan, itulah cara untuk mengakhiri penderitaan, setidak-tidaknya untuk mengurangi penderitaan dan persoalan dalam kehidupan ini. Itulah jalan keluar dan kekuatan yang amat besar yang diberikan oleh Guru Agung kepada kita: berlindung yang benar kepada Tiratana, seseorang akan melihat penderitaan, penyebab derita, jalan untuk melenyapkan derita, dan dengan berlindung yang benar ini, semua penderitaan akan lenyap/terhenti.
Sdr/i, demikianlah pembahasan dan perenungan Dhamma kita pada hari ini, yaitu yang berjudul ‘Kekuatan Dhamma’. Jika di antara Sdr/i ada yang ingin bertanya tentang makalah ini, kami persilakan mendiskusikan bersama-sama setelah selesainya kebaktian ini. Teimakasih!
Sabbe sattä bhavantu sukhitattä, semoga semua makhluk berbahagia!
Sädhu! Sädhu! Sädhu!
____________________
Sumber Acuan:
Khotbah Bhikkhu Paññavaro.

Dibacakan pada tanggal:


Ayat Dhammapada.

Tidak ada komentar: