Rabu, 09 April 2008

SILAVANAGA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 72

SILAVANAGA-JATAKA

"Tidak berterima kasih kekurangan lebih banyak."... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika di hutan Bambu mengenai Devadatta. Para saudara duduk dalam Dhammasala, berkata, "Tuan-tuan, Devadatta adalah seorang yang tidak berterima kasih dan tidak mengenali kebajikan dari yang suci." Kembali ke dalam Dhammasala, Sang Guru menanyakan apa pokok pembicaraan yang mereka sedang diskusikan, dan diberi tahu. "Ini bukan yang pertama kali, saudara-saudara," kata beliau, "bahwa Devadatta telah buktikan seorang yang tidak berterima kasih, ia juga sama pada waktu yang lampau, dan ia tidak pernah mengetahui kebajikan Saya." Dan demikian katanya, atas permohonan mereka Beliau mengatakan cerita masa lalu ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, Sang Bodhisatta dikandung oleh seekor gajah dalam pegunungan Himalaya. Ketika dilahirkan, ia berwarna putih seluruhnya, bagai sejumlah besar perak. Matanya seperti bola-bola perak, bagaikan sebuah penjelmaan dari lima kecemerlangan, [1] mulutnya merah, seperti kain merah tua, seperti perak berbintik-bintik merah emas belalainya, dan keempat kakinya seperti dipoles dengan damar. Maka dirinya dihiasi dengan sepuluh kesempurnaan, adalah keindahan yang lengkap. Ketika ia dewasa, semua gajah-gajah di Himalaya serempak [320] mengikuti ia sebagai pemimpin mereka. Selagi ia berdiam di Himalaya dengan sebuah pengikut-pengikut dari 80.000 gajah-gajah, ia menyadari bahwa ada dosa dalam gerombolan itu. Demikian ia mengasingkan diri dari yang lain-lainnya, ia mendiami dalam hutan yang sunyi, dan kebaikan dari kehidupannya memenangkan ia nama raja Gajah yang baik.

Sekarang seorang ahli hutan datang ke Himalaya, dan melakukan perjalanannya ke dalam hutan dalam pencarian perlengkapan dari kapalnya ia tersesat dan kehilangan jalannya, ia berkelana kesana kemari merenggangkan tangannya putus asa dan menangis, dengan ketakutan dari kematian didepan matanya. Mendengar tangisan manusia, Sang Bodhisatta bergerak dengan rasa kasihan dan memutuskan untuk menolong dalam keperluan ia. Demikianlah ia menghampiri orang itu. Tetapi ketika melihat seekor gajah, ahli hutan itu berlari ketakutan. [2] melihat ia pergi lari, Sang Bodhisatta berdiam maju lagi, dan ahli hutan itu lagi-lagi lari, berhenti sekali lagi ketika Sang Bodhisatta berhenti. Kemudian keadaan sebenarnya disadari orang itu, bahwa gajah itu berdiam ketika ia sendiri berlari, dan hanya maju ketika ia berdiam diri. Akibatnya ia menyimpulkan bahwa itu tidak bermaksud untuk melukai, tapi untuk menolong ia. Jadi ia memberanikan diri berdiri diam di tempatnya kali ini. Dan Sang Bodhisatta datang mendekat dan berkata, "Kenapa, kawan manusia, kamu menggembara berkeliling di sini dan mengeluh?"

"Tuanku," jawab ahli hutan itu, "Saya telah tersesat dan kehilangan jalan Saya, dan takut pada bahaya." Kemudian gajah membawa orang itu ke tempat kediamannya, dan di sana menghibur ia untuk beberapa-beberapa hari, menyuguhkan ia dengan berbagai-bagai buah-buahan. Kemudian berkata, "Janganlah takut kawan, Saya akan membawa kamu kembali ke tempat kediaman orang-orang." Gajah itu menundukan ahli hutan itu di atas punggungnya dan membawa ia ke tempat kediaman orang-orang tinggal. Tetapi yang tak berterima kasih berpikir pada dirinya sendiri, bahwa, bila ditanyai, ia harus bisa menjelaskan segala sesuatunya. Maka itu, selagi ia berpergian sepanjang jalan di atas punggung gajah, ia memperhatikan tanda-tanda dari pohon-pohon dan bukit-bukit. Akhirnya gajah itu membawa ia keluar dari hutan itu dan menurunkan ia di jalan yang menuju ke Benares. berkata, "Disana terletak jalananmu, kawan orang, jangan beritahu orang, bilamana kamu ditanya atau tidak, tempat dimana Saya tinggal." Dan dengan perpisahan ini, Sang Bodhisatta balik kembali ke tempat tinggalnya.

Setibanya di Benares, orang itu datang, dalam keperluan perjalanannya melalui kota, ke Pasar tempat pekerja gading, dimana ia melihat gading-gading sedang dikerjakan menjadi bermacam-macam model dan bentuk. Dan ia bertanya pada pekerja itu [321] apakah mereka akan memberikan sesuatu untuk taring dari seekor gajah hidup.
"Apa yang membuatnya bertanya sebuah pertanyaan seperti itu?" adalah jawabannya. "Sebuah taring gajah hidup dihargakan sejumlah besar lebih dari pada sebuah dari yang telah mati." "Oh, kalau begitu, Saya akan bawakan kamu beberapa gading gajah," berkata ia, dan ia pergi bersiap-siap ke tempat tinggal Sang Bodhisatta, dengan perlengkapan untuk perjalanan, dan dengan sebuah gergaji yang tajam. Ketika ditanya apa yang membawa ia kembali, ia merengek-rengek bahwa ia sangat menyesal dan dalam keadaan sedih dan malang bahwa ia tidak dapat menuntut sebuah penghidupan. Maka itu, ia telah datang untuk meminta sedikit taring dari gajah yang baik untuk di jual buat sebuah penghidupan!. "Tentu, Saya akan berikan kamu semua taring." berkata Bodhisatta, "Bila kamu mempunyai sebuah gergaji untuk memotongnya." "Oh, Saya membawa sebuah gergaji, tuan." "Kalau begitu gergajilah taring Saya sampai putus, dan bawa mereka bersamamu," berkata Sang Bodhisatta. Dan ia membungkukan lututunya sampai ia terletak di atas Bumi seperti seekor lembu. Kemudian ahli hutan itu menggergaji putus kedua taring utama Sang Bodhisatta! Ketika taring-taring itu lepas, Sang Bodhisatta mengambilnya dengan belalainya dan menyerahkan kepada orang itu, "Jangan berpikir, kawan orang, bahwa Saya tidak menilai atau menghargai taring-taring ini yang Saya berikan kepada kamu. Tetapi seribu kali, seratus ribu kali, lebih berharga bagiku adalah taring-taring mahatahu yang dapat memahamkan segala hal-hal. Dan dengan itu pemberianku ini kepadamu menjadikan Saya tahu segala hal." Dengan kata-kata ini, ia memberikan sepasang taring itu kepada ahli hutan itu sebagai
harga dari tahu segala hal.

Dan orang itu mengambilnya, dan menjualnya. Dan ketika ia telah menggunakan uang itu, ia kembali kepada Sang Bodhisatta, mengatakan bahwa kedua taring hanya membawa ia cukup untuk membayar hutang-hutang lamanya, dan meminta untuk sisa dari pada gading gajah Bodhisatta. Sang Bodhisatta mengabulkan, dan memberikan sisa daripada gadingnya, setelah dipotong sebagaimana sebelumnya. Dan ahli hutan itu pergi dan menjual ini juga. kembali lagi, ia berkata, "Itu tidak berguna, tuanku, Saya bagaimana juga tidak bisa hidup maka berikan Saya tunggul dari taringmu."

"Begitu, lakukanlah," menjawab Sang Bodhisatta, dan ia berbaring di bawah seperti sebelumnya. Kemudian orang celaka yang keji, memijak ke atas belalai Sang Bodhisatta, bahwa belalai suci itu yang seperti tali perak, dan memanjat dengan susah di atas Kuil Buddha yang akan datang, yang sebagaimana puncak dari gunung kelasa, menendang pada akar-akar dari taring-taring sampai ia telah melepaskan dari dagingnya. Kemudian ia mengergaji keluar tunggulnya dan berlalu pergi. Tetapi belum cukup orang celaka itu berlalu dari pandangan Sang Bodhisatta, ketika bumi yang padat itu, tak dapat dipahamkan dan kebesarannya, [322] yang dapat menyokong berat yang maha hebat dari gunung Sineru dan puncak yang melingkarinya, dengan segala kekotoran dunia. Sekarang meletus terbelah dalam sebuah celah. Seperti layaknya tidak sanggup untuk memikul beban dari semua kejahatan-kejahatan! Dan langsung api dari neraka paling bawah membungkus si tak berterima kasih, menggulung ia seperti dalam sebuah pembungkus celaka, dan menggerek ia pergi. Dan selagi orang celaka itu ditelan ke dalam perut bumi, peri pohon yang menempati hutan itu membuat gema lingkungan dengan kata-kata ini : "Malah tidak saja pemberian dari kerajaan Seantero dunia dapat memuaskan si tak berterima kasih!" Dan dalam pantun berikut ini peri itu mengajarkan kebenaran.

Tak berterima kasih kekurangan lebih banyak, lebih banyak ia dapat,
Tidak semua dunia dapat memuaskan napsunya.

Dengan pelajaran seperti ini peri pohon itu membuat hutan bergema lagi. Sedangkan untuk Bodhisatta, ia hidup sampai ajalnya, akhirnya ia meninggal dunia sesuai dengan apa yang ditinggalkannya.

Berkata Sang Guru, "Ini bukan pertama kali, saudara-saudara, bahwa Devadatta telah membuktikan seorang yang tak berterima kasih, ia juga sama di waktu yang lampau." Pelajarannya berakhir, Beliau menyatukan kelahiran dengan berkata, "Devadatta adalah orang yang tak berterima kasih pada waktu itu, Sariputta peri pohon, dan Saya sendiri raja gajah yang baik."

Catatan: Cf.Milinda-pancho 202, 29.
[1] Ini mengenai mata seorang Bodhisatta dalam jataka vol. III 344.9.
[2] Seekor gajah menyendiri, atau berandalan sangat berbahaya untuk dijumpai.

Tidak ada komentar: