Rabu, 09 April 2008

PHALA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra
Diedit oleh a.c. untuk pertama kali.

No. 54

PHALA-JATAKA

"Ketika dekat sebuah kampung ..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai seorang bhikkhu yang akhli dalam pengetahuan tentang buah-buahan. Hal ini terjadi karena seorang tuan tanah dari Savatthi telah mengundang persaudaraan sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya, dan telah mempersilakan mereka duduk dalam kebun peristirahatannya, di mana mereka dijamu dengan bubur beras dan kue-kue. Setelah itu ia minta tukang kebunnya pergi berkeliling dengan para bhikkhu dan memberikan mangga dan buah-buahan lainnya kepada yang mereka hormati. Dalam mematuhi permintaan itu, orang itu berjalan sekitar lapangan bersama para bhikkhu dan dapat mengatakan dengan tengokkan sekilas ke atas pohon, apakah buah-buah itu masih hijau, mana yang hampir masak, dan mana yang sudah masak, dan seterusnya. Dan apa yang ia katakan selalu benar. Maka para bhikkhu datang pada sang Buddha, dan mengatakan bagaimana mahirnya si tukang kebun itu, dan bagaimana selagi ia berdiri di atas tanah, ia dapat mengatakan dengan tepat keadaan buah-buahan yang tergantung di atas. "Saudara-saudara," kata sang Guru, "Tukang kebun ini bukanlah satu-satunya yang mempunyai pengetahuan dari buah-buahan. Pengetahuan yang sama diperlihatkan oleh yang bijaksana dan baik pada waktu dulu juga." Dan demikian katanya, Beliau menceritakan kisah masa lampau ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, sang Bodhisatta di lahirkan sebagai seorang saudagar. Ketika ia dewasa dan sedang berdagang dengan lima ratus kereta, suatu hari ia sampai pada jalan menuju ... melalui sebuah hutan yang besar [271]. Berhenti pada bagian luar hutan, ia mengumpulkan kafilah dan mengarahkan mereka sebagai berikut :" Pohon-pohon beracun tumbuh dalam hutan ini. Perhatikanlah bahwa kamu jangan mencicipi daun-daun yang tidak dikenal, bunga-bunga, atau buah-buahan tanpa terlebih dahulu menanyakannya kepada saya." Semua dipesan supaya dilakukan dengan sangat hati-hati, dan perjalanan ke dalam hutan itu dimulai. Sekarang, tepat di batas hutan terdapat sebuah kampung, dan di sebelah luar kampung itu tumbuh sebatang pohon buah 'apa'. Pohon buah 'apa' persis menyerupai pohon mangga, batangnya, cabang, daun, bunga dan buah. dan tidak hanya bagian luarnya, tapi juga dalam rasa dan bau, buah itu masak atau belum masak meniru buah mangga. Bila dimakan, ia menjadi racun mematikan dan menyebabkan kematian dengan segera.

Sekarang, beberapa kawan yang tamak, yang pergi mendahului kafilah tiba pada pohon ini, mengambil itu sebagai sebuah mangga, makan buahnya. Tetapi yang lainnya berkata, "Marilah kita tanya pemimpin kita sebelum kita memakannya," dan sehubungan dengan itu mereka berhenti dekat pohon itu, buah dalam tangan, sampai sang pemimpin datang. Mengetahui bahwa itu bukan mangga, dia berkata: "Pohon ini adalah sebatang pohon buah 'Apa', jangan sentuh buahnya." Menyuruh mereka berhenti makan, sang Bodhisattta mengalihkan perhatiannya kepada yang telah memakannya, pertama ia memberi sejumlah tertentu obat yang membuat mereka muntah dan kemudian ia memberi mereka empat makanan manis untuk di makan, dan akhirnya mereka baik kembali.

Pada kejadian-kejadian sebelumnya, kafilah-kafilah telah berhenti di bawah pohon yang sama ini, dan telah mati karena memakan buah beracun itu yang mereka sudah ambil sebagai mangga. Keesokannya orang-orang kampung akan datang, dan melihat mereka terbaring mati di sana, akan melempar mereka dengan menyeret tumitnya ke dalam sebuah tempat yang dirahasiakan, menjarah semua yang dimiliki kafilah itu, kereta-kereta dan semuanya. Dan juga pada hari cerita kita, orang-orang kampung ini tergesa-gesa pada pagi harinya menuju ke pohon itu untuk yang mereka harapkan kehancuran kafilah itu. "Sapi-sapinya menjadi milik kita," kata beberapa dari mereka. "Dan kita akan memiliki kereta-kereta," kata yang lainnya. Sewaktu yang lainnya lagi menuntut barang-barang sebagai bagian mereka. Tapi ketika mereka tiba terengah-engah ke pohon itu, di sana seluruh kafilah hidup dan tidak kurang suatu apa.




"Bagaimana sampai kamu mengetahui ini bukan sebuah pohon mangga ?" tuntut orang-orang kampung yang kecewa itu. "Kami tidak tahu," berkata orang-orang kafilah, "Pemimpin kamilah yang mengetahui.". Maka orang-orang kampung datang kepada sang Bodhisatta dan berkata, "Orang bijaksana, apa yang anda lakukan untuk mendapatkan bahwa pohon ini bukan mangga ?"

"Dua hal mengatakan saya," jawab sang Bodhisatta, dan ia mengulangi syair ini. [272]
Bilamana dekat sebuah kampung tumbuh pohon
Tidak sukar untuk dipanjat, jelas bagi saya
Tidak juga perlu, saya membuktian lebih jauh untuk mengetahui,
Tak ada buah menyehatkan di atas sana dapat tumbuh.

Dan setelah mengajarkan kebenaran pada banyak orang-orang yang berkumpul, dia menyelesaikan Perjalanan dengan selamat. "Itulah saudara-saudara," berkata sang guru, "Dalam waktu lampau, yang bijaksana dan baik ahli dalam buah-buahan.” Pelajaran berakhir, beliau menunjukan hubungan dan mengakurkan kelahiran dengan berkata, “Pengikut-pengikut buddha adalah orang-orang dari kafilah, dan saya sendiri adalah pemimpin mereka.”

Tidak ada komentar: