Rabu, 09 April 2008

RUKKHADHAMMA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 74

RUKKHADHAMMA-JATAKA

"Bersatu, seperti hutan."... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika di Jetavana, mengenai sebuah pertikaian karena air yang telah membawa bencana kepada kaum kerabatnya. Mengetahui ini, Beliau lewat melalui udara, duduk bersilang kaki di atas sungai rohini, dan memancarkan sinar-sinar kegelapan, yang mengejutkan kaum kerabatnya. Kemudian menurun dari tengah udara, Beliau duduk di tepi sungai dan mengatakan cerita ini yang bertalian dengan pertikaian. Hanya ringkasan diberikan disini, perincian yang detail akan berhubungan dalam kunala-jataka [1] tetapi pada kejadian ini Sang Guru mengarahkan kaum kerabatnya, [328] berkata, “Itulah pertemuan, tuanku, bahwa kaum kerabat akan tinggal bersama dalam kerukunan dan persatuan. Karena, bila kaum kerabat bersatu, musuh-musuh tidak mendapatkan kesempatan. Tidak berbicara dari manusia, malah pohon-pohon yang kurang perasaanpun harus berdiri bersama-sama. Karena pada waktu yang lalu di pegunungan himalaya sebuah badai menghantam sebuah hutan sal, namun karena pohon-pohon, membelukar, menyemak, dan menjalarnya dari hutan itu saling menjalin satu dengan yang lainnya, badai itu tidak dapat melemparkan sebatang pohonpun tetapi lewat tanpa mencelakakan di atasnya. Tetapi sendiri di sebuah lapangan berdiri sebuah pohon yang besar, dan walaupun itu mempunyai banyak batang-batang dan cabang-cabang, namun karena itu tidak bersatu dengan pohon-pohon lain, badai mencabutnya dan merobohkannya. Karena itu, adalah pertemuan yang kamu juga harus tinggal bersama dalam kerukunan dan persatuan." Dan demikian katanya pada permintaan mereka Beliau mengatakan cerita masa lampau ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, raja pertama Vessavana [2] wafat, dan dan Sakka mengirimkan seorang raja baru untuk memerintah sebagai penggantinya. Setelah pergantian, raja baru Vessavana berpesan kepada semua pohon-pohon dan belukar dan semak-semak dan tanaman-tanaman, meminta pada peri-peri pohon masing-masing memilih untuk tempat tinggal yang mereka paling sukai. Pada waktu itu Sang Bodhisatta telah hidup sebagai seorang peri pohon di dalam sebuah hutan sal di pegunungan himalaya. Nasehatnya kepada kaum kerabatnya dalam memilih kependudukan mereka adalah untuk menghindari pohon yang berdiri sendiri di udara terbuka, dan untuk mengambil tempat tinggalnya semua disekitar tempat tinggal yang ia telah pilih di dalam hutan sal. Disini para peri pohon yang bijaksana, mengikuti nasehat Bodhisatta, membawa suku mereka disekitar pohon-pohonnya. Tetapi seorang yang bodoh berkata, "Kenapa kita akan bertempat tinggal di dalam hutan? Marilah kita agak mencari tempat di luar tempat tinggal orang-orang, dan mengambil tempat kita di luar kampung-kampung, kota-kota, atau di Ibu kota. Karena peri-peri yang tinggal di tempat seperti itu menerima persembahan yang kaya dan pemujaan yang terbesar." Maka mereka berpisah ke tempat tinggal dari orang-orang, dan mengambil tempat tinggal mereka dalam pohon yang besar tertentu yang tumbuh di udara terbuka.

Sekarang terjadi pada suatu hari sebuah badai yang hebat menyapu seluruh negeri. Tidak ada gunanya pohon-pohon yang menyendiri yang bertahun-tahun telah berakar dalam di tanah dan bahwa mereka adalah pohon-pohon yang tumbuh terbesar. Cabang-cabangnya, tangkai-tangkai pohon hancur, dan pohon itu sendiri terbongkar dan terlempar ke bumi oleh badai itu. Tetapi ketika badai itu memecah ke hutan sal, yang pohon-pohonnya saling terjalin, amukannya adalah sia-sia, karena, itu boleh diserang, tidak sebuah pohonpun dapat dilemparkan.

Peri-peri yang putus asa yang tempat tinggalnya dihancurkan, membawa anak-anak mereka di tangannya dan melakukan perjalanan ke himalaya. Disana mereka mengatakan kesedihan mereka kepada peri-peri dari hutan sal, [329] yang berikutnya mengatakan kepada Sang Bodhisatta dari kembalian mereka yang sedih. "Itu disebabkan karena mereka tidak mendengar kepada kata-kata yang bijaksana, yang telah membawa mereka kepada kejadian ini," berkata ia, dan ia membabarkan kebenaran dalam pantun ini :

Bersatu, bagai hutan, akan menegakkan kaum kerabat,
Badai melemparkan pohon yang menyendiri.

Demikianlah Sang Bodhisatta berkata, dan ketika kehidupan telah dilalui, ia meninggal dunia sesuai dengan apa yang ditinggalkannya. Dan Sang Guru terus berkata, "Itulah, tuanku, menggambarkan bagaimana itu bertemu bahwa kaum kerabat pada setiap golongan harus bersatu, dan tinggal saling mengasihi bersama dalam keselarasan dan persatuan." Pelajarannya berakhir, Sang Guru menyatukan kelahiran dengan berkata, "Pengikut-pengikut Buddha adalah peri-peri pada waktu itu, dan saya sendiri peri yang bijaksana."
[1] No.536.
[2] Sebuah nama dari Kuvera.

Tidak ada komentar: