Rabu, 09 April 2008

VISAVANTA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 69

VISAVANTA-JATAKA

"Menjadi malu."- ... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika di Jetavana mengenai Sariputta, kapten dari kebenaran. Tradisi mengatakan bahwa pada hari-hari ketika Thera itu biasa memakan kue-kue, orang-orang datang ke Biara dengan sejumlah kue-kue itu untuk persaudaraan. Setelah para saudara makan sampai kenyang, masih banyak yang tersisa, dan para pemberi mengatakan, "Tuan-tuan, ambilkan beberapa juga untuk siapa yang pergi ke luar kampung." Kebetulan seorang pemuda yang menjadi kawan tinggalnya Thera itu, sedang pergi dari kampung. Untuk ia sebuah bagaian telah diambilkan, tetapi, karena ia tidak kembali, dan rasanya hari telah menjadi siang, [1] Bagian ini diberikan kepada Thera itu. Ketika bagian ini telah dimakan oleh Sang Thera, pemuda itu masuk. Sehubungan itu, Thera menjelaskan kejadian ini kepadanya, "Tuan, Saya telah memakan kue yang disediakan untukmu." "Ah!" adalah jawabannya, "Kita semua mempunyai sebuah gigi yang manis." Thera yang Agung itu banyak mendapatkan kesulitan.

"Mulai dari hari ini selanjutnya," ia berkata, "Saya ikarkan tidak akan memakan kue lagi." Dan dari hari itu selanjutnya, maka tradisi mengatakan, Thera Sariputta tidak pernah menyentuh kue lagi! Pantangan ini menjadi hal pengetahuan yang umum dalam persaudaraan, dan para saudara-saudara duduk membicarakan tentang itu di dalam Dhammasala. Berkata Sang Guru, "Apa yang kamu bicarakan, saudara-saudara, selagi kamu duduk di sini?" Ketika mereka telah menceritakan Beliau, dan Beliau berkata, "Saudara-saudara, bilamana Sariputta sekali telah memberikan apa-apa, ia tidak pernah kembali lagi untuk itu, malah walaupun kehidupannya menjadi taruhannya." Dan demikian katanya, Beliau mengatakan cerita dari masa lalu ini.

Pada suatu waktu Brahmadatta sedang memerintah di Benares, Sang Bodhisatta dilahirkan di dalam sebuah keluarga Tabib yang ahli dalam pengobatan dari gigitan ular-ular dan ketika ia dewasa, ia berpraktek untuk kehidupannya. Sekarang itu terjadi bahwa seorang warga kota digigit oleh seekor ular, dan tanpa ayal keluarganya cepat-cepat memanggil Tabib itu. Berkata Sang Bodhisatta, "Akankah Saya menarik bisa itu dengan obat yang biasa, atau harus menangkap ular itu dan membuat ia menghisap bisanya sendiri dari luka itu?" "Harus menangkap ular itu dan membuatnya menghisap racun itu keluar."

Maka ia telah menagkap ular itu, dan menanyakan makhluk itu, katanya, "Apakah kamu menggigit orang ini?" "Ya, betul," adalah jawabannya. [311] "Kalau begitu, hisaplah racunmu sendiri keluar dari luka itu lagi." "Apa?, mengambil kembali racun yang Saya sudah sebarkan!" teriak ular itu, "Saya tidak akan melakukan, dan Saya tidak akan bersedia." Kemudian Tabib itu membuat api dengan kayu, dan berkata kepada ular itu, "Apakah kamu hisap racun itu keluar, ataukah ke dalam api kamu pergi." "Walaupun api itu yang menjadi kematianku, Saya tidak akan mengambil kembali racun yang pernah Saya sebarkan," kata ular itu, dan mengulangi pantun yang berikut ini:-

Menjadi malu pada racun yang, pernah Saya sebarkan,
Untuk menyelamatkan hidupku, menelannya kembali!
Lebih baik menyambut kematian dari pada hidup oleh kelemahan yang dibeli!

Dengan kata-kata ini, ular itu bergerak maju ke api! Tetapi tabib itu menghalangi jalannya, dan mendorong keluar racun itu dengan mudah dan jampian-jampian, maka orang itu baik kembali. Kemudian ia membabarkan Dhamma kepada ular itu, dan membebaskannya, berkata, "Dari sekarang jangan mencelakai siapa-siapa."

Dan Sang Guru meneruskan berkata.- "Saudara-saudara, bilamana Sariputta sekali telah memberikan sesuatu, ia tidak pernah mengambil itu kembali, malah meskipun hidupya menjadi taruhan." Pelajarannya berakhir, Beliau memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Sariputta adalah ular pada waktu itu dan Saya Tabib itu."
[1] Ialah tengah hari, setelah mana makanan tidak patut di makan lihat catatan, hal... ?

Tidak ada komentar: