Rabu, 09 April 2008

KABCANAKKHANDA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra
Diedit oleh a.c. untuk pertama kali.

No. 56

KABCANAKKHANDA-JATAKA

"Bila kegembiraan ..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Savatthi, mengenai seorang bhikkhu tertentu. Tradisi mengatakan melalui mendengar Sang Guru berkotbah tentang seorang anak muda dari Savathi jatuh hati pada kebenaran yang sangat berharga [1] dan menjadi seorang bhikkhu. Pembimbingnya dan guru-gurunya mulai mengajarnya dalam sepuluh sila, berturut-turut, menguraikan kepadanya, yang singkat, sedang, dan sila yang panjang [2] memberitahukan sila yang tertinggal di dalam pertahanan diri menurut Patumokkha [3] sila yang tinggal di dalam pertahanan diri sebagai pikiran, sila yang tinggal pada sebuah ketidaksalahan perjalanan hidup, sila yang berhubungan pada jalan seorang bhikkhu bisa menggunakan keperluan itu. Berpikir si pemula yang muda itu, "Banyak sekali sila ini, dan saya tak ragu lagi akan gagal untuk memenuhi semua yang telah saya ikrarkan. Kalau begitu apa bagusnya untuk menjadi bhikkhu kalau seseorang tidak dapat menjaga sila ? Arah saya yang terbaik adalah kembali kepada keduniawian, mengambil seorang isteri dan mendidik anak-anak, hidup dalam suatu penghidupan dengan menderma dan lain-lain pekerjaan baik."

Maka ia mengatakan kepada atasannya apa yang dipikirkannya, berkata bahwa ia mengusulkan untuk kembali pada keadaan yang lebih rendah sebagai umat biasa, dan bermaksud untuk mengembalikan mangkok dan jubahnya. "Yah, kalau kamu mau begitu," kata mereka, "Setidaknya permisilah kepada sang Buddha sebelum kamu pergi," dan mereka membawa orang muda itu ke hadapan Sang Guru, "Kenapa kamu membawa saudara ini bertentangan dengan kehendaknya ?" "Guru, ia berkata bahwa ada sila yang lebih banyak daripada apa yang ia bisa perhatikan, dan bermaksud untuk mengembalikan jubah dan mangkoknya. Jadi kami ajak ia dan membawanya kepada Guru." "Tetapi kenapa, para bhikkhu," tanya Sang Guru, "Apakah kamu membebankan ia sedemikian banyak sila ? Ia dapat kerjakan apa yang ia sanggup, tidak lebih dari itu. Jangan melakukan kesalahan lagi, dan tinggalkan saya untuk memutuskan apa yang akan dilakukan dalam kasus ini."

Kemudian, kembali kepada saudara yang muda ini, Sang Guru berkata, "Marilah, bhikkhu, kekuatiran apa yang kamu dapat dengan sila secara keseluruhan ? Apakah kamu pikir kamu dapat mengikuti hanya tiga peraturan sila ?" "Oh, ya Guru." "Nah sekarang, perhatikan dan juga tiga garis besar, dari perkataan, pikiran, dan badan, jangan berbuat kejahatan, baik dalam kata-kata, pikiran, atau perbuatan. Jangan berhenti menjadi seorang bhikkhu, tapi teruslah dari sekarang dan ikuti hanya tiga peraturan ini."

"Ya, tentu saja, Guru, saya akan menjaga mereka," ucap anak muda yang gembira itu, dan ia kembali dengan gurunya lagi. Dan sebagaimana ia terus menjaga tiga peraturannya, ia berpikir pada dirinya sendiri, "Saya telah diberitahu semua sila oleh pembimbing saya, yapi karena mereka bukan Buddha, mereka malah tidak dapat membuat saya memegang sedemikian banyak. Sebagaimana (277) Yang Maha Sadar, dengan akal budi Kebuddhaanya, dan karena ia penguasa kebenaran, telah mengemukakan begitu banyak sila hanya dalam tiga aturan berhubungan dengan garis besar, dan telah menjadikan saya mengerti dengan jelas. Sesungguhnyalah Sang Guru telah memberikan suatu pertolongan yang segera kepada saya." Dan ia memenangkan pengertian, dan dalam beberapa hari mencapai kearahatan. Ketika berita ini sampai ke telinga para bhikkhu, mereka membicarakan hal ini pada waktu berkumpul di dalam Dhammasala (Gedung Kebenaran), mengatakan bagaimana bhikkhu itu, yang akan balik kembali ke kehidupan duniawi karena ia tidak berharap untuk dapat memenuhi sila, telah dilengkapi oleh Sang Guru dengan tiga aturan yang mengandung semua sila, dan telah membantunya memegang tiga aturan itu, dan kemudian telah dibuat sanggup oleh Sang Guru untuk memenangkan kearahatan. Alangkah luar biasa, kata mereka tentang Sang Buddha itu. Memasuki gedung pada saat ini, dan mendengar pertanyaan dari pokok pembicaraan mereka, Sang Guru berkata, "Para bhikkhu, biarpun sebuah beban yang berat, akan menjadi ringan, bila dibawa sedikit demi sedikit, dan seperti itu 'Yang bijaksana dan baik' pada waktu yang lampau, sewaktu mendapatkan sebongkah besar emas, terlalu berat untuk diangkat, pertama-tama memecahkan dan kemudian memungkinkan mereka untuk membawa harta sepotong demi sepotong." Demikian kata-nya, Beliau menceritakan kisah masa lampau ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, sang Bodhisatta terlahir sebagai seorang petani dalam sebuah kampung, dan suatu hari sedang membajak di ladang yang dulunya berdiri sebuah kampung. Pada waktu yang lalu, seorang saudagar kaya yang telah meninggal meninggalkan timbunan dalam lubang ini sebongkah besar emas, setebal lingkaran paha rang dan empat 'cubit' panjangnya. Dan bajak sang Bodhisatta membentur bongkahan itu, dan menempel dengan kuat. Mengira itu sebagai akar pohon yang menyebar, ia menggalinya, tapi mendapatkan benda yang sebenarnya, ia membersihkan kotoran penutup emas itu. Pekerjaan hari itu telah di kerjakan, pada waktu matahari terbenam ia meletakkan disamping bajak dan alat-alatnya, dan mencoba untuk memikul hartanya dan berjalan dengan itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak untuk mengangkatnya, ia duduk di depannya dan mendapat sebuah pikiran. Untuk apa saya gunakan emas ini. Saya akan punya begitu banyak untuk hidup, begitu banyak untuk ditimbun sebagai harta, begitu banyak untuk berdagang. "Saya akan punya begitu banyak untuk hidup, begitu banyak untuk ditimbun sebagai harta, begitu banyak untuk berdagang, dan begitu banyak untuk kedermawanan dan pekerjaan-pekerjaan baik," ia berpikir pada dirinya, dan sehubungan dengan itu ia memotong emas itu menjadi empat. Pembagian itu menjadikan bebannya mudah dibawa, dan ia membawa pulang bongkahan-bongkahan emas. Setelah penghidupan dari kedermawanan dan pekerjaan-pekerjaan baik lainnya, ia meninggal dunia dengan apa yang ditinggalkannya.

Pelajarannya berakhir, Sang Guru, sebagai Buddha, mengucapkan syair ini: [278]

Bila kegembiraan mengisi hati dan mengisi pikiran,
Bila keadilan dilaksanakan memenangkan keduniawian,
Siapa yang menjalankannya menghasilkan kemenangan.
Dan semua belenggu sungguh-sungguh dihancurkan.

Ketika Sang Guru telah mengarahkan ajarannya untuk mencapai kearahatan sebagai puncaknya, Beliau memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Pada waktu itu saya sendiri adalah orang yang mendapatkan bongkah emas itu."
[1] Atau barangkali ratanasasanam artinya ‘Kepercayaan dihubungkan dengan tiga permata’ yaitu, Buddha, Dhamma dan Sangha.
[2] Ini semua diterjemahkan dalam Rhys Davids “Buddhist Suttas.” Hal. 189 - 200
[3] Patimokkha diterjemahkan dan dibahas dalam Pt.I dari terjemahan dari vinaya oleh Rhys Davids dan Oldenberg (S.B.E.Vol.13)

Tidak ada komentar: