Rabu, 09 April 2008

SACCAMKIRA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No 73

SACCAMKIRA-JATAKA

"Mereka mengetahui dunia."... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika di hutan Bambu, tentang maksud akan membunuh. Ketika, duduk di dalam Dhammasala, para bhikkhu sedang membicarakan kejahatan Devadatta, katanya, "Tuan-tuan, Devadatta tidak mengetahui kebajikannya Guru, ia sebenarnya bermaksud untuk membunuh Beliau!" Di sini Sang Guru memasuki Dhammasala dan menanyakan apa yang sedang didiskusikan mereka. [323] Setelah diberitahu, Beliau berkata," Ini bukan yang pertama kali, para bhikkhu, bahwa Devadatta akan membunuh Saya, ia melakukan hal yang sama di waktu yang lampau juga." Dan demikian katanya, Beliau mengatakan cerita masa lampau ini.

Pada suatu waktu Raja Brahmadatta sedang memerintah di Benares. Ia mempunyai seorang anak lelaki bernama Pangeran Jahat ia galak dan kejam, seperti seekor ular, ia bicara tidak pada seorangpun tanpa kata-kata kasar dan makian. Seperti ada kerikil di matanya pangeran ini terhadap semua rakyat baik yang ada di dalam ataupun di luar istana, atau seperti seorang raksasa kelaparan, ia begitu sangat ditakuti.

Suatu hari ia ingin bersenang-senang di sungai, ia pergi dengan sejumlah besar pengiring ke tepi air. Dan sebuah badai besar datang, dan kegelapan yang sangat terjadi. "Hai di sana!", ia berteriak kepada pembantu-pembantunya, "bawa Saya ke tengah sungai, mandikan Saya di sana, dan kemudian bawa kembali Saya lagi." Maka mereka membawanya ke dalam sungai dan di sana mengambil keputusan bersama, berkata, "Apa yang raja kerjakan kepada kita-kita? Marilah sekarang kita bunuh orang celaka yang jahat ini di sini! Begitulah kamu pergi, binatang yang merugikan!" mereka berteriak, selagi mereka melemparkannya ke dalam air. Ketika mereka melakukan perjalanan mendarat, mereka ditanyakan, dimana adanya pangeran itu, dan menjawab, "Kami tidak melihat ia, mendapatkan datang badai, ia seharusnya telah keluar dari sungai dan pulang mendahului kami."

Orang-orang istana pergi ke dalam tempat raja, dan raja bertanya dimana anak-anaknya." Kami tidak tahu, tuanku," kata mereka, "Sebuah badai datang, dan kami percaya bahwa ia semestinya telah pergi disebelah depan." Segera raja membuka gerbang, pergi ke tepi sungai dan memerintahkan pencarian yang dilakukan ke atas dan ke bawah untuk mencari pangeran yang hilang. Tetapi jejaknya tidak ditemukan karena dalam kegelapan badai, ia telah disapu pergi oleh arus, dan datang menyilang sebuah batang pohon, ia telah menaiki di atasnya, dan demikian terapung di bawah aliran air, berteriak meratap dalam kesengsaraan dari ketakutannya terbenam.

Sekarang di sana ada seorang saudagar kaya hidup pada waktu itu di Benares, yang telah meninggal, meniggalkan empat puluh Crores yang di kubur di tepi sungai yang sama. Oleh karena keinginannya akan kekayaan, ia dilahirkan kembali sebagai seekor ular pada tempat di bawah mana terletak harta karunnya tercinta. Dan juga pada tempat yang sama seorang yang lain telah menyembunyikan tiga puluh Crores, dan karena keinginanannya untuk kaya ia terlahir kembali sebagai seekor tikus pada tempat yang sama. Dalam arus air yang deras ke dalam tempat tinggal mereka, dan kedua makhluk itu, menyelamatakan diri dengan cara mengikuti aliran deras air itu, yang membuat jalan mereka melintangi sungai itu, ketika kesempatan mereka ke atas batang pohon dimana pangeran itu sedang berpegangan [324]. Sang ular menaiki pada satu ujungnya, dan sang tikus pada ujung yang lainnya, dan dengan demikian keduanya mendapat sebuah tempat berpijak dengan pangeran itu di atas batang.

Juga di sana tumbuh ditepi sungai sebuah pohon kapas sutera, di dalamnya tinggal seekor burung kakatua muda, dan pohon ini telah terbongkar oleh air bahkan, jatuh ke dalam sungai itu. Hujan yang lebat memukul jatuh burung kakatua ketika ia mencoba terbang, dan burung itu hinggap waktu ia terbang jatuh di atas batang pohon yang sama. Dan demikian di sana sekarang ada empat makhluk terapung di sungai itu bersamaan di atas pohon itu.



Sekarang Sang Bodhisatta telah dilahirkan kembali pada waktu itu sebagai seorang Brahmana dalam sebelah barat laut negeri. Meniggalkan keduniawian untuk penghidupan pertapa pada masa dewasanya, ia telah membuat sendiri sebuah pertapaan didekat sebuah belokan dari sungai itu, dan disanalah sekarang ia tinggal. Dan selagi ia jalan mondar-mandir, pada tengah malam, ia mendengar teriakan keras dari pangeran itu, dan berpikir ini dalam dirinya sendiri: "Kawan makhluk ini pasti tidak berbahaya di hadapan mata dari seorang pertapa pemurah dan berbelas kasihan seperti Saya. Saya akan menyelamatakan ia dari air, dan menyelamatkan jiwanya." kemudian ia berteriak dengan girang, "Jangan takut!" jangan takut!" dan mencebur melintasi sungai, memegang batang pohon pada ujungnya, dan dengan kekuatan sebagai seekor gajah, mendorongnya ke tepi dengan sebuah tarikan panjang, dan menyelamatkan pangeran itu dan menempatkannya dengan baik di tepian. Kemudian menyadarkan sang ular dan tikus dan burung kakatua, ia membawa mereka ke tempat pertapaannya, dan di sana ia menghidupkan api, memanaskan binatang-binatang lebih dahulu, sebagai yang lebih lemah, dan kemudian pangeran itu, setelah dilakukan, ia membawa bermacam-macam buah-buahan dan menjadikan mereka sebagai tamunya, memelihara binatang-binatang itu terlebih dahulu dan pangeran kemudian. Ini menimbulkan kemarahan pangeran muda, yang berkata dalam hatinya sendiri, "Pertapa bajingan ini tidak menaruh hormat pada kelahiran kerajaanku, tapi benar-benar memberikan binatang-binatang buas ini mendahului Saya." Dan ia mengandung kebencian terhadap Sang Bodhisatta!

Beberapa hari kemudian, ketika keempatnya mendapatkan kembali kekuatan mereka dan air sudah surut, sang ular memohon diri kepada pertapa dengan kata-kata ini, "Bapak, telah memberikan pelajaran besar pada Saya. Saya tidaklah miskin, karena Saya mempunyai empat puluh Crores Emas yang di sembunyikan pada sebuah tempat tertentu. Bilamana Bapak menginginkan uang, semua timbunan Saya akan menjadi milikmu. Bapak hanya perlu datang ke tempat itu dan memanggil 'Ular'". Selanjutnya sang tikus memohon dirinya dengan sebuah janji yang sama kepada pertapa itu sebagaimana dengan harta karunnya, meminta pertapa datang dan memanggil "Tikus" [325] Kemudian burung kakatua mohon berpisah, berkata, "Bapak, perak dan emas Saya tidak punya tapi kalau anda menginginkan pilihan untuk beras, datanglah dimana Saya tinggal dan memanggil "Kakatua" dan Saya dengan bantuan kerabat Saya akan memberikan anda berkereta-kereta muatan dari beras." Akhirnya datanglah pangeran. Hatinya dipenuhi dengan rasa tidak berterima kasih dan dengan satu keputusan untuk meletakan orang dermawannya kepada kematian, bilamana Sang Bodhisatta akan datang mengunjungi ia. Tetapi, ia menyembunyikan keinginannya, ia berkata, "Datanglah Bapak, kepada Saya bilamana Saya sudah jadi raja, dan Saya akan anugerahi anda empat kebutuhan." Demikianlah katanya, ia melakukan perpisahan, dan tidak lama kemudian ia naik tahta.

Keinginan datang pada Sang Bodhisatta untuk mencoba pernyataan-pernyataan mereka, dan pertama-tama ia pergi kepada sang ular dan berdiri didekat tempat yang dikatakannya, memanggil "Ular". Mendengar perkataan ular melintas ke muka dan dengan perilaku hormat ia berkata, "Bapak, di tempat ini ada empat puluh Crores emas. Galilah dan ambil semua!" "Baiklah," berkata Sang Bodhisatta, "Bilamana Saya memerlukannya, Saya tidak akan lupa." Kemudian mengucapkan selamat berpisah pada ular, ia meneruskan pergi ke tempat tikus tinggal, dan memanggil "Tikus". Dan sang tikus melakukan sebagaimana ular telah lakukan. Selanjutnya pergi ke tempat burung kakatua, dan memanggil "Kakatua", burung itu dengan segera terbang turun dari puncak pohon, dan dengan hormatnya menanyakan apakah itu keinginan Sang Bodhisatta, ia dengan pertolongan kerabatnya akan mengumpulkan padi untuk Sang Bodhisatta dari daerah sekitar pegunungan Himalaya. Sang Bodhisatta berpisah dengan burung kakatua, juga dengan janji bahwa, jika datang keperluan, ia tidak akan lupa tawaran sang burung. Akhirnya, ia teringat untuk pada gilirannya mengunjungi raja, Sang Bodhisatta datang ke tempat peristirahatan kerajaan, dan pada hari setelah kedatangannya melakukan perjalanan, dengan hati-hati ia berpakaian, masuk ke dalam kota dalam perjalanan kelilingnya untuk minta sedekah. Bertepatan pada waktu itu, raja yang tak berterima kasih, duduk dalam segala kebesaran raja di atas gajah kerajaan, sedang melewati dengan prosesei upacara berkeliling kota diikuti dengan pengikut yang besar. Melihat Sang Bodhisatta dari jauh, ia berpikir pada dirinya sendiri, "Inilah pertapa bajingan itu datang untuk minta tempat tinggal dan makanan kepada Saya. Saya harus mencopot kepalanya sebelum ia dapat mengungkapkannya pelayanan yang ia berikan kepada Saya." Dengan keinginan ini, ia memberi tanda pada pembantu-pembantu, dan pada pertanyaan mereka apa kesenangannya, berkata, "Saya pikir di sana ada pertapa bajingan yang ke sini untuk mengganggu Saya. Lihatlah binatang yang merugikan itu tidak datang mendekati orangku, tetapi tangkap dan ikat ia [326] Cambuk ia pada setiap sudut jalan, dan kemudian bawa ia keluar kota, pancung kepalanya pada tempat penghukuman, dan ikat badannya di atas sebuah pancang."
Mematuhi perintah raja mereka, para pembantunya meletakan makhluk agung yang tak bersalah dalam ikatan dan mencambuk ia pada pada setiap sudut jalan dalam perjalanan ke tempat penghukuman. Tetapi semua cambukan mereka gagal untuk menggerakkan Bodhisatta atau menguncangkan ia suatu teriakan dari "Oh, Ibu dan Ayahku!". Semua yang ia perbuat adalah mengulangi pantun ini :

Mereka mengetahui dunia, yang membentuk perumpamaan ini betul-betul,
"Sebuah balok membalas penyelamatan lebih baik dari pada beberapa orang"

Baris-baris ini ia ulangi setiap kali ia di cambuk, sampai akhirnya yang bijaksana diantara yang hadir menanyakan si pertapa pelayanan apa yang ia telah berikan kepada raja mereka. Kemudian Bodhisatta menceritakan seluruh ceritanya, diakhiri kata-kata. "Demikianlah kejadiannya bahwa dengan menyelamatakan ia dari arus sungai yang deras Saya membawa semua sengsara ini pada diriku. Dan ketika Saya berpikir bagaimana Saya telah lalai meninggalkan kata-kata dari orang-orang tua bijaksana, Saya berteriak sebagaimana yang kamu telah dengarkan." Dipenuhi dengan rasa berang pada riwayatnya itu, orang-orang brahmana dan semua golongan dengan satu persetujuan berteriak, "Raja yang tidak berterima kasih ini tidak dapat mengenali sekalipun kebaikan dari orang baik ini yang telah menyelamatkan jiwa yang mulia, bagaimana kita dapat suatu keuntungan dari raja ini? Jatuhkan raja yang lalim!" Dan dalam kemarahan mereka menyerbu raja dari setiap sudut, dan membunuh ia di sana dan kemudian, sebagaimana ia mengendarai di atas gajahnya, dengan anak-anak panah dan lembing-lembing dan batu-batu dan pemukul-pemukul dan senjata apa saja yang dapat dipegang. Mayatnya mereka seret pada tumitnya dan melemparkannya ke dalam parit. Kemudian mereka mengangkat Bodhisatta sebagai raja dan mempersiapkan ia untuk memerintah mereka.

Selagi ia sedang memerintah dalam keadilan, suatu hari [327] keinginan datang pada ia lagi untuk mencoba ular dan tikus dan burung kakak tua, dan diikuti oleh sejumlah besar pengiring, ia datang dimana sang ular berdiam. Pada panggilan "Ular", keluarlah sang ular dari lubangnya dan dengan menghormat berkata, "Di sini, tuanku, adalah harta karun anda, ambilah." Kemudian raja mengirimkan empat puluh Crores emas itu kepada pembantu-pembantunya, dan terus maju kemana sang tikus berdiam, memanggil, "Tikus". Keluarlah sang tikus dan menghormati raja, dan menyerahkan tiga puluh Croresnya. Menempatkan harta ini juga ke dalam tangan-tangan dari pembantu-pembantunya, raja terus pergi kemana sang burung kakaktua tinggal, dan memanggil, "Kakaktua". Dan dengan cara yang sama burung itu datang berlutut pada kaki raja menanyakan apakah akan mengumpulkan beras untuk tuanku. "Kami tidak akan menyusahkan kamu," berkata raja, "Sampai beras yang diperlukan. Sekarang marilah kita pergi." Maka dengan tujuh puluh Crores emas, dan dengan tikus, ular, dan begitu juga kakaktua, sang raja pergi kembali ke kota. Di sini, dalam sebuah istana yang mulia, menurut cerita, kerajaan yang ia pasang, ia menjadikan harta itu ditaruh dan dijaga, ia mempunyai sebuah tabung emas dibuat untuk tempat tinggal ular, sebuah kotak kristal untuk rumah tikus, dan sebuah sangkar emas untuk kakaktua. Setiap hari juga atas perintah raja makanan disediakan untuk ketiga makhluk dalam bejana dari emas. Jagung kering manis untuk kakaktua dan ular, dan beras wangi untuk tikus. Dan raja diliputi dalam kedermawanan dan semua pekerjaan-pekerjaan baik. Jadi dengan keserasian dan kemauan baik satu sama lain, empat kawan ini menjalin kehidupan mereka, dan ketika akhir mereka tiba, mereka meninggal sesuai dengan apa yang mereka tinggalkan.

Berkata Sang Guru, "Ini bukanlah yang pertama kali, saudara-saudara, bahwa Devadatta bermaksud untuk membunuh Saya, ia melakukan hal yang sama dimasa yang lampau." Pelajarannya berakhir, Beliau memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Devadatta adalah raja jahat pada waktu itu, Sariputta ular, Mogallana tikus, Ananda kakaktua, dan Saya sendiri raja yang adil yang memenangkan sebuah kerajaan."

Tidak ada komentar: