Rabu, 09 April 2008

UCCHANGA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 67

UCCHANGA-JATAKA

"Seorang anak lelaki satu yang mudah didapat."-... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika di Jetavana, tentang seorang perempuan negeri tertentu. Untuk suatu kejadian di kosala tiga orang laki-laki sedang berjalan dengan susah payah di bagian luar dari sebuah hutan tertentu, dan perampok-perampok itu menjarah di dalam hutan itu dan mereka mengadakan pelariannya. [307] Korban-korban datang, dalam arah tujuan dari suatu pencarian bajingan-bajingan itu yang sia-sia, kemana ketiga orang laki-laki itu sedang berjalan. "Disinilah perampok-perampok hutan itu, menyamar sebagai petani-petani," mereka berteriak, dan menarik ketiganya sebagai tawanan dari raja Kosala. Sekarang dari waktu ke waktu di sana seorang perempuan datang ke istana raja yang dengan ratapan yang keras meminta untuk "Dengan mana untuk dilindungi." Mendengar tangisannya, raja memerintahkan memberikan sebuah pakaian untuk diberikan kepadanya, tapi ia menolak itu, berkata ini adalah bukan yang dimaksudnya. Maka pembantu raja kembali kepada yang mulia dan berkata bahwa apa yang perempuan itu inginkan bukanlah pakaian-pakaian tetapi seorang suami [1] Kemudian raja telah membawa perempuan itu ke hadapannya dan menanyakan ia apakah yang ia betul-betul maksudkan seorang suami.

"Ya, tuanku," ia menjawab, "Karena seorang suami adalah betul-betul seorang pelindung perempuan, dan ia yang kehilangan seorang suami, malah walaupun perempuan itu memakai dalam pakaian berharga seribu keping pergi tanpa apa-apa dan betul-betul telanjang." Dan untuk menyakinkan kebenaran ini, sutta berikut ini akan dinyanyikan disini:-

Bagai kerajaan tanpa raja, bagai sebuah sungai kering,
Begitu tanpa apa-apa dan telanjang seorang perempuan tampaknya,
Yang, mempunyai sepuluh saudara-saudara, namun kehilangan seorang pasangan.

Mereka senang dengan jawaban perempuan itu, raja menanyakan hubungan ketiga tawanan itu denganya. Dan ia menjawab bahwa satu adalah suaminya, satu saudaranya, dan satu anaknya. "Kalau begitu, untuk menandakan anugerah Saya," berkata raja, "Saya berikan kamu satu dari tiga, yang mana akan kau ambil?" "Tuanku," jawabnya, "Kalau Saya hidup, Saya bisa mendapat suami yang lain dan anak lelaki yang lain, tetapi karena orang tuaku sudah mati, Saya tidak akan pernah mendapatkan saudara yang lain. Jadi berikan saja saudara Saya, tuanku." Merasa senang dengan perempuan itu, raja memerdekakan ke tiganya, dan itulah seorang perempuan ini adalah alat untuk menyelamtakan kejadian ini diketahui oleh persaudaraan, mereka sedang memuji perempuan itu di dalam Dhammasala, ketika Sang Guru masuk. Mendengar pada apa yang menjadi pokok pembicaraan mereka, Beliau berkata, "Ini bukan pertama kali, saudara-saudara, bahwa perempuan ini telah menyelamatkan ketiganya dari bahaya, ia melakukan yang sama pada waktu yang lalu." Dan demikian katanya, Beliau menceritakan masa lalu ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, tiga orang laki-laki sedang berjalan dengan susah payah pada bagian luar dari sebuah hutan, dan segala sesuatunya berjalan seperti di atas. Ketika ditanya oleh raja yang mana dari ketiganya itu yang ia akan ambil, perempuan itu berkata, "Tidak bisakah yang mulia memberi saya semua ketiganya?" "Tidak," berkata raja, "Saya tidak bisa." [308] "Yah, kalau Saya tidak bisa mendapat semua ketiganya, berikan Saya saudaraku." "Ambillah suamimu atau anakmu," kata raja. "Seperti halnya seorang saudara?" "Dua yang terdahulu Saya bisa siap menggantinya." menjawab perempuan itu, "Tetapi seorang saudara tidak pernah!" Dan demikian katanya, ia mengulangi pantun ini:-

Seorang anak sesuatu yang mudah didapat, suami juga.
Sebuah pilihan yang luas mengerumuni cara-cara umum.
Tapi dimana akan semua usaha-usahaku mendapatkan saudara yang lain?

"Ia betul sekali," berkata raja itu, sangat senang. Dan ia memerintahkan semua ketiga orang itu diambil dari penjara dan diberikan kepada perempuan itu. Ia mengambil mereka semua ketiganya dan berlalu pergi.

"Demikianlah, kamu lihat, saudara-saudara," berkata Sang Guru, "Bahwa perempuan yang sama ini satu kali sebelumnya menyelamatkan ketiga orang yang sama dari bahaya." Pelajarannya berakhir, Beliau membuat hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Perempuan itu dan tiga laki-laki itu sekarang adalah juga permpuan dan orang-orang dari waktu yang lampau, dan saya adalah raja itu."

Catatan Cf. Untuk ide dari sajak Herodotus III-118-120, Sophocles Antigone 902-912, dan lihat karangan ini didiskusikan dalam India Antiquary, untuk Desember 1881.
[1] Cf. ‘femme couverte.’

TAYODHAMMA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra
Diedit oleh a.c. untuk pertama kali.

No. 58

TAYODHAMMA-JATAKA

Barangsiapa seperti kamu ..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veluvana (Hutan Bambu) juga atas pokok pembicaraan tentang maksud untuk membunuh.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, Devadatta terlahir lagi sebagai seekor kera, dan berdiam di dekat pegunungan Himalaya sebagai penguasa suku kera yang semuanya keturunannya sendiri. Di pengaruhi oleh ramalan buruk bahwa keturunan laki-lakinya yang menjadi dewasa akan menyingkirkannya dari kepimpinannya, ia biasa mengebiri [281] mereka dengan gigitannya. Sekarang sang Bodhisatta telah diperanakkan oleh kera yang sama ini, dan ibunya, dalam usaha menyelamatkan keturunannya, minggat ke hutan di kaki gunung, di mana pada waktu yang sesuai ia melahirkan sang Bodhisatta. Dan ketika ia sudah dewasa dan tiba pada tahun-tahun pengertian, ia di anugerahkan dengan kekuatan yang luar biasa.

"Di mana ayah saya ?", suatu hari ia bertanya kepada ibunya. "Ia bertempat di kaki gunung tertentu, anakku," ibunya menjawab, "Dan ia adalah raja dari suku kera.". "Bawalah saya untuk melihat ia, Ibu.". "Jangan begitu, anakku, karena ayahmu begitu takutnya digantikan oleh anak-anaknya maka ia mengebiri mereka semua dengan giginya.". "Tidak apa-apa, bawalah saya ke sana, ibu," kata Sang Bodhisatta. "Saya akan mengetahui apa yang akan di kerjakan.". Kemudian ibunya membawanya kepada kera tua. Pada saat ia melihat anaknya, kera tua itu merasa yakin bahwa sang Bodhisatta akan menjadi dewasa dan memecatnya. Ia memutuskan, dengan sebuah pelukan pura-pura untuk menghancurkan kehidupan Sang Bodhisatta, “Ah Anakku!” dia berteriak, “Kemana kamu sepanjang Waktu ini?” Dan, melakukan sebuah gerakan untuk memeluk Sang Bodhisatta, ia mendekapnya seperti sebuah catok.Tetapi sang Bodhisatta, yang sekuat seekor gajah, membalas pelukan itu dengan kuat sampai tulang rusuk ayahnya seolah-olah mau patah.

Kemudian kera tua itu berpikir, "Anak lelaki saya ini bila dewasa akan betul-betul membunuh saya.". Memikirkan bagaimana ia membunuh Sang Bodhisatta terlebih dahulu, ia terpikir tentang sebuah danau yang dekat, di mana tinggal seorang raksasa yang bisa memakannya. Demikianlah ia berkata kepada sang Bodhisatta, "Saya sudah tua sekarang, anakku, dan akan menyerahkan pimpinan suku kepadamu, hari ini kamu akan di jadikan raja. Di dalam sebuah danau yang dekat, tumbuh dua macam bunga lily air, tiga macam bunga teratai biru, dan lima macam bunga teratai putih. Pergilah dan petik beberapa untuk saya."

"Baik, ayah," jawab Sang Bodhisatta, dan ia berangkat pergi. Mendekati danau itu dengan hati-hati, ia mempelajari jejak kaki pada pinggirannya dan menandai bagaimana semuanya menuju ke dalam air, tapi tidak ada jejak yang kembali. Menyadari bahwa danau itu dihuni oleh seorang raksasa, ia menduga ayahnya tidak sanggup untuk membunuhnya sendiri, berharap ia dibunuh [282] oleh raksasa itu. "Tetapi saya akan mendapatkan bunga-bunga teratai itu," katanya, "tanpa sama sekali masuk ke dalam air." Maka ia pergi ke tempat yang kering, dan berlari melompat dari pinggir danau. Dalam lompatannya, ia berada di atas air, ia memetik dua bunga yang tumbuh di atas air, dan turun bersama bunga-bunga itu di tepi yang lain. Pada jalan kembalinya, ia memetik dua lagi dengan cara yang sama, sebagaimana dia melompat, dan dengan demikian membuat sebuah timbunan pada ke dua sisi dari danau itu. Tapi selalu menjaga di luar air tempat tinggal raksasa itu. Ketika ia telah mengumpulkan itu semua di atas pinggir danau, raksasa itu berteriak kagum, "Saya telah hidup lama di danau ini, tapi saya tidak pernah melihat walaupun seorang manusia begitu pintar ! Inilah kera yang telah memetik semua bunga-bunga yang ia kehendaki, namun tetap selamat di luar jangkauan kekuasaan saya."Dan memisahkan air terbelah, Raksasa itu ke luar dari danau menuju tempat sang Bodhisatta berdiri, dan mengarahkan ini kepadanya, "Oh raja kera, ia yang memiliki tiga persyaratan akan mengungguli lawan-lawannya, dan kamu, saya pikir mempunyai ketiga-tiganya." dan demikian katanya, ia mengulangi syair ini yang memuji Sang Bodhisatta:
Barang siapa seperti anda, Oh raja Kera, digabungkan
Ketangkasan dan keberanian dan akal.
Akan melihat jalan musuhnya berbalik dan lenyap.
Pujiannya berakhir, raksasa itu menanyakan sang Bodhisatta kenapa ia mengumpulkan bunga-bunga. "Ayahku bermaksud untuk menjadikan saya raja dari sukunya," kata Sang Bodhisatta, "dan itulah mengapa saya mengumpulkannya." "Tetapi seorang yang tak ada taranya seperti anda tidak harus membawa bunga-bunga," kata raksasa itu, "saya akan bawakan bunga-bunga itu untuk anda." dan demikian katanya, ia memetik bunga-bunga itu dan mengikuti di belakang Sang Bodhisatta.

Melihat kejadian ini dari kejauhan, ayah Sang Bodhisatta mengetahui rencana jahatnya telah gagal. "Saya kirimkan anak lelaki saya untuk mangsa raksasa, dan di sini ia kembali selamat dan sehat, bersama raksasa itu yang dengan rendah hati membawakan bunga-bunga itu untuknya ! Saya gagal !" teriak kera tua itu, dan hatinya merekah pecah [283] menjadi tujuh keping, dengan demikian ia mati di sana. Dan semua kera-kera yang lain berkumpul bersama dan memilih Sang Bodhisatta menjadi raja mereka.

Pelajaran berakhir, Sang Guru memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Devadatta adalah raja dari kera-kera itu, dan saya anaknya."

VANARINDA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra
Diedit oleh a.c. untuk pertama kali.

No. 57

VANARINDA-JATAKA

"Barangsiapa, Oh Raja Kera ..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika Beliau berdiam di Veluvana, tentang maksud Devadatta untuk membunuhnya. Mengetahui keinginan Devadatta untuk membunuhnya, Sang Guru berkata, "Ini bukan pertama kali, para bhikkhu bahwa Devadatta telah berusaha untuk membunuh saya, ia melakukan hal yang sama pada waktu yang lampau, tapi maksud jahatnya gagal." dan demikian katanya, Beliau menceritakan kisah masa lampau ini. Pada suatu waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Sang Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera. Ketika dewasa, ia sebesar seekor anak kuda dan kuat luar biasa. Ia hidup sendiri di tepi sungai, di tengah sungai ada pulau, di sana tumbuh mangga dan sukun, dan pohon buah-buahan lainnya. Dan di tengah aliran air di separuh jarak antara pulau dan tepi sungai sebuah batu karang tunggal mencuat keluar dari dalam air. Kuat bagaikan seekor gajah, sang Bodhisatta biasa untuk meloncat dari tepi sungai ke atas batu karang ini dan dari sini ke pulau itu. Di sini ia makan buah-buahan yang tumbuh di pulau itu sampai kenyang, pada sore hari kembali lagi dengan cara sebagaimana ia datang. Dan beginilah penghidupannya sehari-hari.

Pada waktu itu di sungai itu hidup seekor buaya dan pasangannya yang sedang hamil, yang melihat sang Bodhisatta bepergian bolak balik, berangan-angan [279] untuk makan hati kera. Maka ia memohon suaminya untuk menangkap kera itu untuknya. Berjanji bahwa ia akan memenuhi angan-angannya, buaya itu pergi dan berdiam di atas batu itu, maksudnya untuk menangkap kera itu pada perjalanan pulang sore harinya. Setelah menjelajahi sekeliling pulau itu sepanjang hari, sang Bodhisatta pada sore harinya melihat ke arah batu itu dan merasa heran mengapa batu itu begitu tinggi keluar dari air. Menurut cerita, sang Bodhisatta selalu menandai tinggi yang pasti dari muka air sungai itu, dan dari batu ke dalam air. Ia memperkirakan bahwa seekor buaya mungkin sedang mengintai untuk menangkapnya. Dan dengan maksud untuk mendapatkan kenyataan dari kejadian ini, ia berteriak, yang ditujukan kepada batu itu, "Hey ! Batu !" Dan tidak ada jawaban kembali. Ia berteriak tiga kali, "Hey ! Batu !" dan karena batu itu diam saja, kera itu mengatakan, "Bagaimana ini, kawan batu, bahwa kamu tidak mau menjawab saya hari ini ?"

"Oh !" pikir buaya itu, "Kalau begitu batu ini mempunyai kebiasaan untuk menjawab kera itu. Saya harus menjawab untuk batu itu hari ini."Sehubungan dengan itu, ia menyahuti, "Ya, kera, ada apa ?". "Siapakah kamu ?" tanya Sang Bodhisatta. "Saya seekor buaya.". "Untuk apa kamu duduk di atas batu itu ?". "Untuk menangkap dan memakan hatimu.". Karena tidak ada jalan kembali yang lain, hanya satu yang harus di lakukan, yaitu mengakali buaya itu. Kemudian sang Bodhisatta berteriak, "Karena tidak ada pertolongan untuk itu kecuali saya menyerahkan diri saya padamu. Bukalah mulutmu dan tangkap saya ketika saya melompat."

Kita ketahui bahwa waktu buaya membuka mulut mereka mata mereka terhalang [1] . Kemudian, ketika buaya ini membuka mulutnya tanpa curiga, matanya terhalang. Dan di sana ia menunggu dengan mata terhalang dan rahang terbuka ! Melihat ini, kera yang banyak muslihatnya ini melakukan lompatan ke atas kepala buaya, dan dari sana dengan sebuah lompatan seperti kilat mencapai tepi sungai. Ketika kecerdikan perbuatan ini menjadi jelas bagi si buaya, ia berkata, "Kera, dalam dunia ini [280] memiliki empat kebajikan mengalahkan musuh-musuhnya. Dan kamu saya pikir, memiliki keempat-empatnya." Dan demikian katanya, ia mengulangi syair ini.

Barangsiapa, Oh raja kera, seperti kamu, digabung
Kebenaran, pandangan ke depan, keputusan pasti, dan keberanian,
akan melihat jalan musuhnya berbalik dan lenyap.

Dan dengan pujian ini pada sang Bodhisatta, buaya itu balik kembali ke tempatnya sendiri.

Berkata Sang Guru, "Ini bukanlah pertama kali, ia telah mencoba untuk membunuh saya, ia melakukan hal yang sama juga pada masa lalu." Dan, setelah mengakhiri pelajarannya, Sang Guru memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Devadatta adalah buaya pada waktu itu, anak perempuan brahmana itu Cinca [2] adalah isteri buaya, dan saya sendiri raja kera."

[Catatan: Cf. No. 224 (Kumpulan jataka). Sebuah versi Tionghoa diberikan oleh Beal dalam 'Romantic legend' Hal. 231 dan sebuah versi Jepang dalam 'Fairy Tales from Japan' nya Grifffin]
[1] Pernyataan ini tidaklah sesuai dengan kenyataan dari sejarah alam.
[2] Jati dirinya di sini sebagai isteri buaya jahat sesuai dengan kenyataan bahwa Cinca, yang adalah seorang "Pertapa perempuan dari kecantikan yang langka," di suap oleh musuh-musuh Gotama untuk pura-pura hamil dan menuntut tanggung jawabnya sebagai ayah. Bagaimana penipuan ini di jalankan, di katakan dalam Dhammapada, hl. 338-340

KABCANAKKHANDA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra
Diedit oleh a.c. untuk pertama kali.

No. 56

KABCANAKKHANDA-JATAKA

"Bila kegembiraan ..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Savatthi, mengenai seorang bhikkhu tertentu. Tradisi mengatakan melalui mendengar Sang Guru berkotbah tentang seorang anak muda dari Savathi jatuh hati pada kebenaran yang sangat berharga [1] dan menjadi seorang bhikkhu. Pembimbingnya dan guru-gurunya mulai mengajarnya dalam sepuluh sila, berturut-turut, menguraikan kepadanya, yang singkat, sedang, dan sila yang panjang [2] memberitahukan sila yang tertinggal di dalam pertahanan diri menurut Patumokkha [3] sila yang tinggal di dalam pertahanan diri sebagai pikiran, sila yang tinggal pada sebuah ketidaksalahan perjalanan hidup, sila yang berhubungan pada jalan seorang bhikkhu bisa menggunakan keperluan itu. Berpikir si pemula yang muda itu, "Banyak sekali sila ini, dan saya tak ragu lagi akan gagal untuk memenuhi semua yang telah saya ikrarkan. Kalau begitu apa bagusnya untuk menjadi bhikkhu kalau seseorang tidak dapat menjaga sila ? Arah saya yang terbaik adalah kembali kepada keduniawian, mengambil seorang isteri dan mendidik anak-anak, hidup dalam suatu penghidupan dengan menderma dan lain-lain pekerjaan baik."

Maka ia mengatakan kepada atasannya apa yang dipikirkannya, berkata bahwa ia mengusulkan untuk kembali pada keadaan yang lebih rendah sebagai umat biasa, dan bermaksud untuk mengembalikan mangkok dan jubahnya. "Yah, kalau kamu mau begitu," kata mereka, "Setidaknya permisilah kepada sang Buddha sebelum kamu pergi," dan mereka membawa orang muda itu ke hadapan Sang Guru, "Kenapa kamu membawa saudara ini bertentangan dengan kehendaknya ?" "Guru, ia berkata bahwa ada sila yang lebih banyak daripada apa yang ia bisa perhatikan, dan bermaksud untuk mengembalikan jubah dan mangkoknya. Jadi kami ajak ia dan membawanya kepada Guru." "Tetapi kenapa, para bhikkhu," tanya Sang Guru, "Apakah kamu membebankan ia sedemikian banyak sila ? Ia dapat kerjakan apa yang ia sanggup, tidak lebih dari itu. Jangan melakukan kesalahan lagi, dan tinggalkan saya untuk memutuskan apa yang akan dilakukan dalam kasus ini."

Kemudian, kembali kepada saudara yang muda ini, Sang Guru berkata, "Marilah, bhikkhu, kekuatiran apa yang kamu dapat dengan sila secara keseluruhan ? Apakah kamu pikir kamu dapat mengikuti hanya tiga peraturan sila ?" "Oh, ya Guru." "Nah sekarang, perhatikan dan juga tiga garis besar, dari perkataan, pikiran, dan badan, jangan berbuat kejahatan, baik dalam kata-kata, pikiran, atau perbuatan. Jangan berhenti menjadi seorang bhikkhu, tapi teruslah dari sekarang dan ikuti hanya tiga peraturan ini."

"Ya, tentu saja, Guru, saya akan menjaga mereka," ucap anak muda yang gembira itu, dan ia kembali dengan gurunya lagi. Dan sebagaimana ia terus menjaga tiga peraturannya, ia berpikir pada dirinya sendiri, "Saya telah diberitahu semua sila oleh pembimbing saya, yapi karena mereka bukan Buddha, mereka malah tidak dapat membuat saya memegang sedemikian banyak. Sebagaimana (277) Yang Maha Sadar, dengan akal budi Kebuddhaanya, dan karena ia penguasa kebenaran, telah mengemukakan begitu banyak sila hanya dalam tiga aturan berhubungan dengan garis besar, dan telah menjadikan saya mengerti dengan jelas. Sesungguhnyalah Sang Guru telah memberikan suatu pertolongan yang segera kepada saya." Dan ia memenangkan pengertian, dan dalam beberapa hari mencapai kearahatan. Ketika berita ini sampai ke telinga para bhikkhu, mereka membicarakan hal ini pada waktu berkumpul di dalam Dhammasala (Gedung Kebenaran), mengatakan bagaimana bhikkhu itu, yang akan balik kembali ke kehidupan duniawi karena ia tidak berharap untuk dapat memenuhi sila, telah dilengkapi oleh Sang Guru dengan tiga aturan yang mengandung semua sila, dan telah membantunya memegang tiga aturan itu, dan kemudian telah dibuat sanggup oleh Sang Guru untuk memenangkan kearahatan. Alangkah luar biasa, kata mereka tentang Sang Buddha itu. Memasuki gedung pada saat ini, dan mendengar pertanyaan dari pokok pembicaraan mereka, Sang Guru berkata, "Para bhikkhu, biarpun sebuah beban yang berat, akan menjadi ringan, bila dibawa sedikit demi sedikit, dan seperti itu 'Yang bijaksana dan baik' pada waktu yang lampau, sewaktu mendapatkan sebongkah besar emas, terlalu berat untuk diangkat, pertama-tama memecahkan dan kemudian memungkinkan mereka untuk membawa harta sepotong demi sepotong." Demikian kata-nya, Beliau menceritakan kisah masa lampau ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, sang Bodhisatta terlahir sebagai seorang petani dalam sebuah kampung, dan suatu hari sedang membajak di ladang yang dulunya berdiri sebuah kampung. Pada waktu yang lalu, seorang saudagar kaya yang telah meninggal meninggalkan timbunan dalam lubang ini sebongkah besar emas, setebal lingkaran paha rang dan empat 'cubit' panjangnya. Dan bajak sang Bodhisatta membentur bongkahan itu, dan menempel dengan kuat. Mengira itu sebagai akar pohon yang menyebar, ia menggalinya, tapi mendapatkan benda yang sebenarnya, ia membersihkan kotoran penutup emas itu. Pekerjaan hari itu telah di kerjakan, pada waktu matahari terbenam ia meletakkan disamping bajak dan alat-alatnya, dan mencoba untuk memikul hartanya dan berjalan dengan itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak untuk mengangkatnya, ia duduk di depannya dan mendapat sebuah pikiran. Untuk apa saya gunakan emas ini. Saya akan punya begitu banyak untuk hidup, begitu banyak untuk ditimbun sebagai harta, begitu banyak untuk berdagang. "Saya akan punya begitu banyak untuk hidup, begitu banyak untuk ditimbun sebagai harta, begitu banyak untuk berdagang, dan begitu banyak untuk kedermawanan dan pekerjaan-pekerjaan baik," ia berpikir pada dirinya, dan sehubungan dengan itu ia memotong emas itu menjadi empat. Pembagian itu menjadikan bebannya mudah dibawa, dan ia membawa pulang bongkahan-bongkahan emas. Setelah penghidupan dari kedermawanan dan pekerjaan-pekerjaan baik lainnya, ia meninggal dunia dengan apa yang ditinggalkannya.

Pelajarannya berakhir, Sang Guru, sebagai Buddha, mengucapkan syair ini: [278]

Bila kegembiraan mengisi hati dan mengisi pikiran,
Bila keadilan dilaksanakan memenangkan keduniawian,
Siapa yang menjalankannya menghasilkan kemenangan.
Dan semua belenggu sungguh-sungguh dihancurkan.

Ketika Sang Guru telah mengarahkan ajarannya untuk mencapai kearahatan sebagai puncaknya, Beliau memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Pada waktu itu saya sendiri adalah orang yang mendapatkan bongkah emas itu."
[1] Atau barangkali ratanasasanam artinya ‘Kepercayaan dihubungkan dengan tiga permata’ yaitu, Buddha, Dhamma dan Sangha.
[2] Ini semua diterjemahkan dalam Rhys Davids “Buddhist Suttas.” Hal. 189 - 200
[3] Patimokkha diterjemahkan dan dibahas dalam Pt.I dari terjemahan dari vinaya oleh Rhys Davids dan Oldenberg (S.B.E.Vol.13)

PHALA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra
Diedit oleh a.c. untuk pertama kali.

No. 54

PHALA-JATAKA

"Ketika dekat sebuah kampung ..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai seorang bhikkhu yang akhli dalam pengetahuan tentang buah-buahan. Hal ini terjadi karena seorang tuan tanah dari Savatthi telah mengundang persaudaraan sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya, dan telah mempersilakan mereka duduk dalam kebun peristirahatannya, di mana mereka dijamu dengan bubur beras dan kue-kue. Setelah itu ia minta tukang kebunnya pergi berkeliling dengan para bhikkhu dan memberikan mangga dan buah-buahan lainnya kepada yang mereka hormati. Dalam mematuhi permintaan itu, orang itu berjalan sekitar lapangan bersama para bhikkhu dan dapat mengatakan dengan tengokkan sekilas ke atas pohon, apakah buah-buah itu masih hijau, mana yang hampir masak, dan mana yang sudah masak, dan seterusnya. Dan apa yang ia katakan selalu benar. Maka para bhikkhu datang pada sang Buddha, dan mengatakan bagaimana mahirnya si tukang kebun itu, dan bagaimana selagi ia berdiri di atas tanah, ia dapat mengatakan dengan tepat keadaan buah-buahan yang tergantung di atas. "Saudara-saudara," kata sang Guru, "Tukang kebun ini bukanlah satu-satunya yang mempunyai pengetahuan dari buah-buahan. Pengetahuan yang sama diperlihatkan oleh yang bijaksana dan baik pada waktu dulu juga." Dan demikian katanya, Beliau menceritakan kisah masa lampau ini.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, sang Bodhisatta di lahirkan sebagai seorang saudagar. Ketika ia dewasa dan sedang berdagang dengan lima ratus kereta, suatu hari ia sampai pada jalan menuju ... melalui sebuah hutan yang besar [271]. Berhenti pada bagian luar hutan, ia mengumpulkan kafilah dan mengarahkan mereka sebagai berikut :" Pohon-pohon beracun tumbuh dalam hutan ini. Perhatikanlah bahwa kamu jangan mencicipi daun-daun yang tidak dikenal, bunga-bunga, atau buah-buahan tanpa terlebih dahulu menanyakannya kepada saya." Semua dipesan supaya dilakukan dengan sangat hati-hati, dan perjalanan ke dalam hutan itu dimulai. Sekarang, tepat di batas hutan terdapat sebuah kampung, dan di sebelah luar kampung itu tumbuh sebatang pohon buah 'apa'. Pohon buah 'apa' persis menyerupai pohon mangga, batangnya, cabang, daun, bunga dan buah. dan tidak hanya bagian luarnya, tapi juga dalam rasa dan bau, buah itu masak atau belum masak meniru buah mangga. Bila dimakan, ia menjadi racun mematikan dan menyebabkan kematian dengan segera.

Sekarang, beberapa kawan yang tamak, yang pergi mendahului kafilah tiba pada pohon ini, mengambil itu sebagai sebuah mangga, makan buahnya. Tetapi yang lainnya berkata, "Marilah kita tanya pemimpin kita sebelum kita memakannya," dan sehubungan dengan itu mereka berhenti dekat pohon itu, buah dalam tangan, sampai sang pemimpin datang. Mengetahui bahwa itu bukan mangga, dia berkata: "Pohon ini adalah sebatang pohon buah 'Apa', jangan sentuh buahnya." Menyuruh mereka berhenti makan, sang Bodhisattta mengalihkan perhatiannya kepada yang telah memakannya, pertama ia memberi sejumlah tertentu obat yang membuat mereka muntah dan kemudian ia memberi mereka empat makanan manis untuk di makan, dan akhirnya mereka baik kembali.

Pada kejadian-kejadian sebelumnya, kafilah-kafilah telah berhenti di bawah pohon yang sama ini, dan telah mati karena memakan buah beracun itu yang mereka sudah ambil sebagai mangga. Keesokannya orang-orang kampung akan datang, dan melihat mereka terbaring mati di sana, akan melempar mereka dengan menyeret tumitnya ke dalam sebuah tempat yang dirahasiakan, menjarah semua yang dimiliki kafilah itu, kereta-kereta dan semuanya. Dan juga pada hari cerita kita, orang-orang kampung ini tergesa-gesa pada pagi harinya menuju ke pohon itu untuk yang mereka harapkan kehancuran kafilah itu. "Sapi-sapinya menjadi milik kita," kata beberapa dari mereka. "Dan kita akan memiliki kereta-kereta," kata yang lainnya. Sewaktu yang lainnya lagi menuntut barang-barang sebagai bagian mereka. Tapi ketika mereka tiba terengah-engah ke pohon itu, di sana seluruh kafilah hidup dan tidak kurang suatu apa.




"Bagaimana sampai kamu mengetahui ini bukan sebuah pohon mangga ?" tuntut orang-orang kampung yang kecewa itu. "Kami tidak tahu," berkata orang-orang kafilah, "Pemimpin kamilah yang mengetahui.". Maka orang-orang kampung datang kepada sang Bodhisatta dan berkata, "Orang bijaksana, apa yang anda lakukan untuk mendapatkan bahwa pohon ini bukan mangga ?"

"Dua hal mengatakan saya," jawab sang Bodhisatta, dan ia mengulangi syair ini. [272]
Bilamana dekat sebuah kampung tumbuh pohon
Tidak sukar untuk dipanjat, jelas bagi saya
Tidak juga perlu, saya membuktian lebih jauh untuk mengetahui,
Tak ada buah menyehatkan di atas sana dapat tumbuh.

Dan setelah mengajarkan kebenaran pada banyak orang-orang yang berkumpul, dia menyelesaikan Perjalanan dengan selamat. "Itulah saudara-saudara," berkata sang guru, "Dalam waktu lampau, yang bijaksana dan baik ahli dalam buah-buahan.” Pelajaran berakhir, beliau menunjukan hubungan dan mengakurkan kelahiran dengan berkata, “Pengikut-pengikut buddha adalah orang-orang dari kafilah, dan saya sendiri adalah pemimpin mereka.”

DURAJANA JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 64

DURAJANA-JATAKA

"Kamu pikir..."Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai seorang upasaka. Tradisi mengatakan bahwa di Savatthi tinggal seorang umat biasa, yang telah di kukuhkan dalam Tisarana dan Pancasila, seorang berbakti yang mencintai Buddha, Dhamma dan Sangha. Tetapi istrinya adalah seorang yang berdosa dan perempuan yang jahat. Pada hari-hari istri itu berbuat salah, dia patuh seperti seorang budak perempuan yang dibeli dengan seratus keping, sedangkan pada hari-hari dia tidak berbuat salah, dia berlaku seperti nyonyaku, menggairahkan dan lalim. Suaminya tidak bisa merubahnya. Suaminya sangat mengkawatirkannya sampai dia tidak bisa melayani Buddha.

Suatu hari dia pergi dengan wewangian dan bunga-bunga, dan telah mengambil tempat duduknya setelah memberi hormat, ketika Sang Guru berkata kepadanya:- "Mohon bagaimana datang, Saudara biasa, bahwa tujuh atau delapan hari telah berlalu tanpa kedatanganmu untuk melayani Buddha?" "Istri Saya, Tuan, hari seperti seorang budak perempuan yang dibeli seharga seratus keping, sementara itu hari yang lain mendapatkan dia sebagai seorang yang menggairahkan dan nyonya yang lalim. Saya tidak bisa merubahnya, dan itulah karena ia Saya kawatir sampai Saya tidak melayani Sang Buddha."

Sekarang, ketika beliau mendengar kata-kata ini, Sang guru berkata, "Kenapa, umat biasa, kamu telah diberitahukan oleh yang bijaksana pada waktu yang lalu bahwa adalah sukar untuk mengerti keadaan alam perempuan-perempuan." Dan beliau terus menambahkan, "Tetapi keberadaannya yang lebih dulu telah membingungkan pikirannya, jadi dia tidak mengingatnya." Dan demikian katanya, beliau menceritakan masa lampau itu.

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, Sang Bodhisatta datang sebagai seorang Guru yang terkenal di Dunia, dengan lima ratus Brahmana muda belajar kepadanya. [300] Satu dari murid-muridnya ini seorang Brahmana muda dari Negeri Asing, yang jatuh cinta dengan seorang perempuan dan menjadikan ia sebagai istrinya. Meskipun dia terus tinggal di Benares, dia gagal dua atau tiga kali dalam kehadirannya kepada Sang Guru. Karena kamu harus ketahui, istrinya adalah seorang yang berdosa dan perempuan jahat, yang penurut sebagai seorang budak pada hari-hari bila dia berbuat salah, tapi pada hari-hari ketika ia tidak berbuat salah, memainkan seperti nyonyaku, menggairahkan dan kejam. Suaminya sama sekali tidak dapat merubahnya, sangat kawatir dan diganggu olehnya karena istrinyalah dia tidak bisa hadir untuk melayani Sang Guru, setelah tujuh atau delapan hari kemudian ia hadir kembali, dan ditanya oleh Sang Bodhisatta kenapa ia telah kelihatan begitu lama.

"Guru, istriku penyebabnya," berkata dia. Dan ia menceritakan Sang Bodhisatta bagaimana dia patuh suatu hari seperti seorang budak perempuan, dan kejam hari lainnya, bagaimana ia tidak bisa merubahnya, dan bagaimana ia telah kawatir dan diganggu oleh perasaan hatinya yang berganti-ganti yang membuatnya dia pergi.

"Tepat demikian, Brahmana muda," berkata Sang Bodhisatta, "Pada hari-hari ketika mereka berbuat salah, perempuan-perempuan merendahkan hati mereka didepan suami-suaminya dan menjadi penurut dan lembut sebagai seorang budak perempuan, tapi pada hari-hari ketika mereka tidak berbuat salah, kemudian mereka menjadi bersitegang leher dan mendurhakai tuannya, setelah kejadian-kejadian ini perempuan-perempuan adalah berdosa dan jahat, dan alam mereka sukar untuk diketahui. Tak ada perhatian yang akan dilakukan baik pada kesukaan atau ketidaksukaan mereka." Dan untuk memperbaiki moral murid-muridnya Sang Bodhisatta mengulangi pantun ini :-

Kamu pikir seorang perempuan mencintaimu?" jangan gembira.
Kamu pikir ia tidak mencintaimu? bersabarlah pada kesedihan.
Tidak diketahui, tak tentu bagai jalan
Dari ikan-ikan dalam air, perempuan membuktikannya.

[301] Seperti itu perintah Sang Bodhisatta kepada murid-muridnya, yang sejak itu tidak menaruh perhatian kepada tingkah istrinya. Dan perempuan itu, mendengar bahwa kelakukan buruknya telah didengar oleh Sang Bodhisatta, berhenti dari waktu itu seterusnya dari kenakalannya. Begitu juga istri umat biasa itu berkata pada dirinya sendiri, "Sang Buddha yang sempurna dengan sendirinya mengetahui, mereka mengatakannya pada Saya, dari pada kelakuan burukku," dan sejak itu dia tidak lagi melakukan dosa. Pelajarannya berakhir, Sang Guru mengkotbahkan kebenaran, pada penutupan di mana upasika memenangkan buah dari jalan pertama. Kemudian Sang Guru memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata. "Suami istri, ini adalah juga suami istri pada waktu lalu, dan Saya sendiri Guru sebagai Brahmana itu."

ANABHIRATI JATAKA

Diterjemahkan oleh Jimmy Chandra

No. 65

ANAHBHIRATI-JATAKA

"Seperti jalan raya."- ... Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang upasaka lainnya lagi seperti itu sebagai yang terakhir. Orang ini ketika bertanya ia yakin pada dirinya dari kelakuan buruk istrinya, bertengkar dengannya, dan hasilanya kacau balau dan bingung hingga untuk tujuh atau delapan hari gagal dalam kehadirannya. Suatu hari ia datang ke Biara membungkuk pada yang suci dan menempati tempat duduknya. Ketika ditanyakan kenapa ia telah tidak hadir untuk tujuh atau delapan hari, ia menjawab, "tuan, istri Saya telah berkelakukan buruk, dan Saya telah menjadi sangat kesal mengenai ia, itulah Saya tidak datang." "Upasika," kata Sang Guru, "Dahulu kala yang bijaksana dan baik memberitahukan kamu jangan marah pada kenakalan yang didapat pada perempuan-perempuan, tapi untuk melindungi ketetapan hati ini, bagaimanapun juga, kamu telah melupakannya, disebabkan kelahiran kembali telah menyembunyikan itu dari kamu." Dan demikian katanya, Beliau mengatakan atas permintaan upasika itu cerita pada masa lalu ini.-

Pada suatu waktu ketika Brahmadatta sedang memerintahkan di Benares, Sang Bodhisatta adalah seorang Guru dengan reputasi yang melebar Dunia, sebagaimana kisah sebelumnya. Dan seorang muridnya, mendapatkan istrinya tidak setia, sangat sedih dengan pertemuan ini yang menyebabkan ia berdiam untuk beberapa hari, tapi suatu hari ditanya oleh gurunya apa sebabnya dari ketidak hadirannya, ia membuat suatu cerita kesalahannya yang jelas, kemudian berkata kepada gurunya, "Anakku, tdak ada milik pribadi dalam perempuan, mereka adalah umum bagi semua. [302] Dan pada saat itu orang-orang bijaksana mengetahui kelamahan mereka, tidak bergairah untuk marah menentang mereka." Dan untuk memperbaiki moral muridnya ia mengulangi pantun ini:-

Seperti jalan-jalan raya, sungai-sungai, lapangan-lapangan, penginapan-penginapan.
Atau kedai minuman, yang meluas seperti itu.
Adalah keperempuanan, dan laki-laki bijaksana tidak akan tunduk
Pada kemarahan dari kelemahan dalam sebuah perkelaminan yang begitu tersesat.

Seperti itulah perintah yang diberikan oleh Sang Bodhisatta kepada murid-muridnya pada saat itu, dan selanjutnya menjadi tidak acuh kepada apa yang dilakukan oleh perempuan-perempuan itu. Dan sebagaimana pada istrinya ia begitu berubah karena mendengar bahwa Guru itu mengetahui bagaimana keadaan mereka, bahwa ia telah menghentikan kenakalannya sejak saat itu. Demikian juga istri upasika itu, ketika ia mendengar bahwa Sang Guru mengetahui seperti apa ia, menghentikan kenakalannya sejak itu buah Pelajaran berachir, sang guru mengkotbahkan kebenaran, pada penutupan dimana upasika itu memenangkan buah dari jalan pertama. Dan Sang Guru memperlihatkan hubungan dan menyatukan kelahiran dengan berkata, "Suami istri ini adalah suami istri pada kehidupan masa yang lampau dan Saya Guru Brahmana itu."